Sistem Pengupahan Berbasis Kinerja - Jurnal Darul Azis

Sistem Pengupahan Berbasis Kinerja

Sistem Pengupahan Berbasis Kinerja




Di tengah ramainya tuntutan kenaikan upah minimum buruh di Indonesia, ada kegelisahan besar yang menghantui para pengusaha, yakni tidak diimbanginya kenaikan produktivitas buruh terhadap perusahaan.

Pemenuhan hak-hak buruh telah lama menjadi perhatian dunia karena menyangkut permenuhan kebutuhan dasar manusia. Pandangan ini mengacu pada HAM, yakni setiap manusia lahir dalam keadaan merdeka dan harus mendapatkan jaminan dan perlindungan atas hak hidup, bebas dari perbudakan, hak bekerja, hak atas upah yang layak serta hak untuk bergabung dengan serikat buruh dan hak atas standar hidup yang layak.

Belakangan ini, para buruh menuntut pemerintah agar dapat menaikkan UMP di masing-masing wilayah. Sedangkan bagi pemerintah, menentukan besaran upah minimum bagi buruh bukanlah perkara mudah dan dapat dilakukan secara instan, ada proses panjang yang harus dicapai serta didukung oleh analisa yang tajam, mengingat dampaknya sangat besar terhadap laju perekonomian baik di tingkat wilayah tersebut maupun perekonomian nasional.

Pemerintah tidak dapat seenaknya menetapkan UMP/UMK secara sepihak dengan dalih membela kepentingan rakyat kecil, diperlukan negoisasi yang tepat dan perhitungan yang matang antara pemerintah dan sektor swasta agar perekonomian tidak terguncang hanya karena sistem pengupahan buruh yang merugikan dunia usaha.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah memiliki pengertian hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan  bagi pekerja/buruk dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Berdasarkan pengertian, penulis berpendapat sistem pengupahan buruh di Indonesia belum mengacu pada kinerja buruh terhadap perusahaan. Upah yang dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangan merupakan bentuk legal formal saja, artinya belum ada ketentuan khusus yang diatur pemerintah bahwa dalam penentuan besaran upah juga ditentukan oleh kinerja buruh terhadap perusahaan. Jika hal ini tidak segera diatur, maka perusahaan mengalami kesulitan dalam mengukur apakah upah yang diberikan kepada pekerja/buruh sudah sesuai dengan kinerja yang diberikan kepada perusahaan. Pun bagi buruh akan kesulitan mengukur apakah upah yang diterima sudah sesuai dengan kinerja yang didedikasikan untuk perusahaan.

Oleh sebab itu, penulis rasa di sinilah sumber masalah tidak ditemukannya kesepakatan besaran upah antara pemerintah, buruh/pekerja dan pelaku usaha selama ini.


Upaya legal formal seperti kesepakatan, perjanjian kerja dan peraturan perundangan tidak akan menemukan kesepakatan sampai kapanpun, namun jika di dalamnya ditentukan pula kriteria kinerja yang harus dicapai oleh buruh dan besaran upah yang diterima atas kinerja tersebut, barulah ada keseimbangan yang diperoleh oleh keduanya.

Pada tahun 2012 lalu, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pernah menggodok sistem pengupahan berbasis produktivitas. Rencana kebijakan tersebut menuai banyak protes dari para buruh, pun penulis tidak setuju karena pengupahan berbasis produktivitas ini sama saja artinya dengan ekplorasi tenaga kerja secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

Sistem ini hanya melihat pada produksi yang dihasilkan tanpa memperhatikan aspek pendukung seperti kedisiplinan, loyalitas, kejujuran, dan kepuasan kerja. Buruh yang produktif belum tentu memiliki kejujuran, tanggungjawab, rasa memiliki dan loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan.

Berbeda dengan penetapan upah berbasis kinerja, selain mampu mengoptimalkan produksi, sistem ini juga dapat menumbuhkan kepuasan kerja, kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, rasa kepemilikan buruh terhadap perusahaan semakin besar karena sisi kemanusiaan mereka telah terjamin.

Dalam penerapan sistem ini pemerintah berperan sebagai fasilitator, secara tekstual menetapkan hubungan langsung sistem pengupahan dengan kinerja dalam peraturan perundangan sehingga perusahaan mempunyai acuan formal untuk melaksanakannya, sedangkan dalam pelaksanaannya buruh/pekerja akan bernegoisasi dengan perusahaan terkait kriteria kinerja dan kriteria upah yang akan sama-sama didapatkan oleh keduanya. Dengan demikian penetapan sistem pengupahan buruh didasarkan pada kinerja yang telah didedikasikan secara nyata oleh perusahaan.

Penetapan sistem pengupahan berbasis kinerja ini akan lebih memanusiakan buruh, karena buruh akan dibayar sesuai dengan kinerjanya masing-masing.

Dengan cara ini perusahaan tidak akan bisa memperkerjakan buruh seperti mesin namun tetap mendapatkan hasil maksimal, serta persaingan dalam mencapai kinerja dilakukan secara team, bukan individu. Di sinilah aspek manusiawi terhadap buruh/pekerja berada,  sesuai dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar bekerja secara kolektif (gotong royong) dan tanggungjawab buruh/pekerja terhadap perusahaan akan semakin besar. Kenapa selama ini selalu muncul konflik antara perusahaan dengan buruh/pekerjanya? Tak lain adalah tidak adanya rasa memiliki serta rendahnya tanggungjawab buruh/pekerja terhadap pekerjaan sebagai kesatuan sistem yang sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Selama ini sistem ketenagakerjaan kita telah menggiring buruh/pekerja  untuk beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan semata-mata hanya untuk perusahaan, buruh/pekerja hanya menjadi alat  untuk mencapai tujuan perusahaan. Melalui sistem pengupahan berbasis kinerja ini, mentalitas buruh/pekerja akan diarahkan pada pemikiran bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah untuk dirinya sendiri (workself) dan perusahaan berperan sebagai fasilitator terpenuhinya tujuan buruh/pekerja disamping tercapainya tujuan perusahaan. Ada kerja sama yang harmonis antara buruh dan perusahaan.

Alangkah indahnya suasana kerja yang seperti ini, buruh tidak perlu ribut-ribut di jalan melakukan aksi demontrasi dan perusahaan tidak merasa khawatir upah yang diberikan kepada buruh tidak sesuai dengan kinerja yang diberikan kepada perusahaan.

Please write your comments