Dari Frustrasi, Status Sosial, hingga Kemajuan Pariwisata - Jurnal Darul Azis

Dari Frustrasi, Status Sosial, hingga Kemajuan Pariwisata

Dari Frustrasi, Status Sosial, hingga Kemajuan Pariwisata


Setiap pagi,  saya punya ritual peribadatan khusus. Sebagai anak kos, ritual ini sama wajibnya dengan shalat subuh.  Selain takut dosa jika berani meninggalkan, ini lantaran saya telah merasakan manfaat yang luar biasa besar karenanya. Ritual apakah itu? Hanya ngopi sih sebenarnya, bukan yang lain.  Alasannya jelas, kopi (menurut perutku) bisa menahan rasa lapar hingga siang hari.

Sembari menyeduh kopi itulah, biasanya pikiran saya mengembara ke mana-mana. Inilah salah satu kebiasaan buruk saya : suka mengumbar pikiran pagi-pagi. Mulai dari yang buruk, agak buruk, sangat buruk, yang baik, agak baik, dan sangat baik, semua bisa saja melintas dengan liar dalam pikiran saya. Saya tak merekomendasikan ini diterapkan orang lain, terutama mahasiswa.

Namun ndilalahnya, pagi ini pikiran saya cukup lurus dan kritis. Pikiran saya teruju pada foto-foto tempat wisata yang saya lihat semalam, setelah sebelumnya menghayati foto-foto Ralin Syah., si bidadari yang nyasar ke Indonesia itu. Foto-foto yang rata-rata di-publish di blog mahasiswa/i, pelajar, dan semua orang yang doyan travelling itu, saya akui memang bagus-bagus.

Entah karena si empunya cukup pandai dalam mengambil gambar, atau karena memang obyeknya yang bagus. Kebanyakan pula, tempat wisata yang mereka eksporasi belum terlalu familiar di telinga saya (untuk masalah ini mungkin karena saya kurang gaul !).

Sekarang ini, agaknya memang sudah menjadi tren dan kepuasan tersendiri untuk  menuliskan pengalaman pribadi di blog, apalagi yang berkaitan dengan travelling dan kuliner. Ya, menulis, travelling, dan kuliner saat ini menjadi aktivitas yang semakin digemari masyarakat luas. Ibaratnya, sudah menjadi semacam kebutuhan.

Mengingat foto-foto semalam, pikiran saya sungguh terganggu. Ada satu hal yang entah kenapa kok ya sempat-sempatnya mengganggu pikiran, hadir dalam mimpi, dan seolah membuntuti saya. Tapi sumpah, ini bukan tentang mantan yang tiba-tiba sms nanyain kabar dan ngajakin makan bareng di tempat makan yang dulu sering kami kunjungi lalu merusak misi mupon yang telah mati-matian diperjuangkan itu. Sumpah, bukan !

Jadi begini, melihat foto-foto yang saya bilang tadi saya mulai mendapati gaya hidup baru kaum modern. Agaknya, ini cukup melampaui ekspektasi pencetus era globalisasi. Saya yakin, Nyonya Meme dan Nyonya Rika pun tak pernah memperkirakan ada perubahan sedemikian mendasar terhadap gaya hidup manusia di abad 21 ini.  Adalah frustrasi, status sosial, kamera, internet, gedjet, like, dan komentar, yang menjadi faktor pendorong terbesar di balik perubahan budaya masyarakat sekarang.  Saya akan mengurai satu per satu peran mereka.

 
Frustrasi          

Sebetulnya, virus ini telah lama hadir menghinggapi makhluk bernama manusia. Namun rasanya, baru booming baru-baru ini dan parahnya tak banyak orang yang (mau) menyadari keberadaannya. Kemajuan zaman telah memperluas ruang geraknya, membangun kekuatan untuk menghancurkan manusia.            

Sekarang ini, dengan sangat mudah kita temui orang-orang yang frustrasi. Sarjana yang tak kunjung mendapat kerja, mantan yang tak kunjung hengkang dari ingatan, karyawan yang tak kunjung naik gaji ataupun, mahasiswa semester tua yang tak kunjung mupon dari proposal skripsi, guru yang terus bersaing dengan acara televisi dalam mendidik generasi, mereka hanyalah segelintir makhluk yang rentan terjangkiti virus frustasi.


Efek dari virus ini, manusia membutuhkan semacam tempat rekreasi. Entah itu pantai, gunung, sawah-sawah, kebun, desa wisata, komplek wisata, kota wisata, jembatan, dan seabrek obyek wisata lainnya. Tempat wisata semacam itu harus didapat, mau gimana lagi coba, daripada minum  oplosan (haram, dosa, dan bisa digrebek polisi), nyabu (walah, mahal njutmalah bisa dipolisikan), nyelingkuhin istri/suami orang (ya kalau mau digorok lehernya ya nggak apa-apa), judi (ah, itu meracuni keimanan kata Bang Haji). Tak ada pilihan memang, tempat wisata adalah obat paling mujarab, safety, ramah kantong dan lingkungan dan halal untuk semua umat.

Seakan sangat peka terhadap penyebaran virus frustrasi ini,  pemerintah (negara, provinsi, kabupaten/kota, desa, RT) semakin gencar memodifikasi, mempromosikan, dan mengelola obyek wisata. Di tingkatan negara, kita bisa melihat jargon Wonderful Indonesia. Di tingkatan provinsi, kita seringkali membaca jargon Visit Jateng, Visit Jabar, Visit Lampung, Visit Bali, Visit Papua, Visit Sumsel, Visit Sulawesi, dan visit-visit lainnya. Pun di tingkatan kabupaten, apapun yang bisa dijadikan obyek wisata, akan diolah sedemikian hingga agar dapat mendatangkan uang pengunjung.

Di zaman yang kian edyan  ini, siapa sih yang memungkiri rasa frustrasi dalam dirinya? Harga-harga kebutuhan pokok terus melejit, diikuti harga rokok, sempak, sabun, sampo, odol, dan lain sebagainya. Siapa yang ndak stres coba?

(Anehnya, harga-harga hape, kartu perdana, mobil, motor, dan barang-barang elektronik, yang dulu kita anggap sebagai kebutuhan mewah, malah menurun terus menerus seperti celana kendor yang sudah dipakai dalam kurun waktu delapan turunan.)

Solusinya : mari kita berwisata, agar tak menjadi gila!


Status Sosial

Siapa yang tak senang jika status sosialnya naik sedemikian tinggi. Selama ia bukan sufi, nabi, dan manusia anti-duniawi, pastilah status sosial akan menjadi perhatian utamanya. Di Indonesia, virus ini gencar disebarkan di era penjajahan. Kaum penjajah dengan seenak pusarnya sendiri membagi kasta penduduk pribumi. Hingga sekarang, pembagian kasta ini juga masih dipelihara pemerintah : golongan atas, menengah, bawah.

Karena kesenangan dengan status sosial inilah, maka manusia akan berusaha mati-matian  untuk menaikkannya. Contoh : berfoto di suatu tempat, kemudian meng-upload-nya ke media sosial. Foto di taman kota dengan foto di mall, tentu akan sangat berbeda daya dongkraknya terhadap status sosial seseorang. Foto di hotel tentu akan sangat berbeda daya dongkraknya terhadap daya like dan comment seseorang. Begitulah seterusnya.


(Lensa) Kamera

Kamera, bagi manusia modern adalah alat yang dapat mengabadikan momen terindah. Ini lantaran manusia menganggap bahwa masa lalu adalah yang paling berharga di dunia ini. Yang abadi adalah kenangan. Demikian kita sering menemukannya dalam sajak-sajak. Kaum gagal move on agaknya sangat fanatik dengan faham ini. Sebab dengan mengingat masa lalu, kita akan tahu seberapa telanjangnya dirimu. Demikian belanya.

Terlepas dari semua itu, kini kamera telah menjadi kebutuhan primer umat manusia. Bahkan, ekstremnya, banyak orang yang tak mau pergi jalan-jalan kalau tak bawa kamera. Karena gambar-gambar itulah yang kelak lihai bercerita yang menjelma sebagai display picture BBM, PP FB, Ava Twitter, Status FB, Post IG dan lain sebagainya.

Kepemilikan atas foto-foto tersebut sangat berkait erat dengan virus ke dua, yakni status sosial. Orang yang telah merasa menaklukkan gunung tertinggi misalnya, akan naik status sosialnya setelah fotonya di-post di media sosial. Orang yang menginap di hotel berbintang lima, juga akan naik status sosialnya ketika fotonya di-post di media sosial. Orang yang sudah berkunjung di obyek wisata yang sangat bagus pemandangannya, juga akan naik status sosialnya.

Konklusi : Bahagia itu sederhana, shoot, choose, and upload to social media.

Internet, Getjet, Like, dan Komentar.

Ini tidak terlepas dari peran internet, gedjet, like, dan komentar. Keempat virus tersebut  adalah yang paling besar pengaruhnya. Sekarang ini, banyak kita temui mahasiswa yang mati kutu kalau tak ada koneksi internet. Mati gaya kalau tak punya gedjet. Aib kalau status dan fotonya tak ada yang ngelike dan menjadi sangat miris kalau tak ada komentar. Sebaliknya, jika telah mendapatkan semuanya, amat puaslah mereka. Melebihi puasnya ahlul mbribik yang cintanya diterima tanpa syarat.


Kemajuan Pariwisata

Inilah kabar yang cukup menggembirakan kita. Sekarang ini, mana sih obyek wisata (yang kalau dikelola secara serius) tidak mendatangkan wisatawan/ti? Sadar atau tidak, perilaku manusia modern yang suka narsis di media sosial (melalui foto-fotonya tentu) telah membawa dampak yang amat luar biasa bagi perkembangan obyek wisata. Lihatlah Gunungkidul, salah kabupaten tertinggal dan miskin di DIY lima-sepuluh tahun yang lalu. Kini, siapa sih yang kalau ke Jogja tak mau ke Gunungkidul?

Ini yang seharusnya diperhatikan pemerintah daerah dan masyarakat yang wilayahnya sangat potensial untuk menjadi obyek wisata. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa masyarakatnya banyak yang stres, frustasi, dan depresi (karena berbagai persoalan hidup yang kian bangsat ini), sehingga diperlukanlah ketersediaan obyek wisata yang terjangkau baik dari segi jarak maupun harga. Karena selain dapat menghilangkan rasa-rasa mematikan itu, obyek wisata juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk berfoto ria, sehingga mereka dapat nge-post di media sosial, di-like, dikomentari, dan secara perlahan akan naik status sosialnya. Dampak jangka panjangnya, akan semakin majulah tempat-tempat wisata di Indonesia.

“Zis zis, bangun. Sudah jam 7, subuhan!” Teriak seorang teman membangunkan tidur nyenyak saya.
           
Please write your comments