Tarif Parkir di Jogja Melangit, Ini 7 Kemungkinan Penyebabnya - Jurnal Darul Azis

Tarif Parkir di Jogja Melangit, Ini 7 Kemungkinan Penyebabnya

Tarif Parkir di Jogja Melangit, Ini 7 Kemungkinan Penyebabnya

Tarif Parkir di Jogja Mahal

Dalam beberapa hari ini, banyak sekali netizen yang mengeluhkan mahalnya tarif parkir di Jogja. Hal ini lantaran tarif parkir sepeda motor pada beberapa tempat strategis di Kota Jogja mencapai Rp3000-Rp5000. Para pengunjung PMP Sekaten misalnya, harus membayar tarif parkir sebesar Rp5000 per motor.

Begitu juga dengan pengunjung Malioboro dan Titik Nol, mereka dikenakan tarif parkir sebesar Rp3000 per motor. We.. ee.  ee..eee.

Lantas, berapa sebenarnya tarif retribusi parkir di Kota Jogja, berdasarkan peraturan yang ada?

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum telah menetapkan besaran tarif retribusi parkir di Jogja, yakni Rp1000 untuk sepeda motor dan Rp2000 untuk mobil pribadi. Tarif tersebut adalah tarif yang berlaku untuk lokasi parkir tepi jalan umum, yakni tempat yang berada di tepi jalan umum tertentu dan telah ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat parkir kendaraan. Tarif di atas akan berbeda dengan besaran tarif parkir di ruang parkir tidak tetap atau parkir yang dilaksanakan pada tempat dan waktu yang tidak tetap. Besaran tarif parkir tidak tetap adalah Rp2000 untuk sepeda motor dan Rp3000 untuk mobil pribadi. Parkir tidak tetap ini biasanya dikelola oleh masyarakat / komunitas setempat.

Jika demikian, mengapa banyak oknum juru parkir yang 'berani' memungut tarif hingga Rp3000-Rp5000 rupiah untuk sepeda motor dan Rp10.000-Rp20.000 untuk mobil pribadi?

Untuk menjawab pertanyaan itulah saya menulis ini. Berikut ini saya rangkum kemungkinan-kemungkinan mengapa tarif parkir di Jogja bisa semahal itu. Tolong disimak dengan saksama (dan ingat, ini hanya kemungkinan loh ya).

1. Tarif parkir terlalu murah

Hal ini sebagaimana diakui salah seorang juru parkir seperti diberitakan Tribun Jogja. Besaran tarif parkir yang hanya Rp1000, dirasa kurang sebanding mengingat besarnya risiko yang harus ditanggung oleh juru parkir. Berdasarkan peraturan yang ada, apabila terjadi kehilangan atau kerusakan kendaraan pada saat parkir di tempat parkir tepi jalan umum, maka hal tersebut akan menjadi tanggungjawab juru parkir. Adapun ganti rugi yang menjadi tanggungjawab juru parkir adalah sebesar 50%. Inilah barangkali yang menjadi pertimbangan juru parkir 'nekat' untuk menaikkan tarif retribusi parkir. Alasan lain mengapa besaran tarif parkir tersebut dinilai terlalu kecil dan sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang dapat Anda baca dalam poin selanjutnya.

Tapi ya jangan Rp5000 juga kali Mas, kasihan anak kos
  
2. Momentum

Besaran tarif retribusi parkir yang 'ditetapkan' oleh juru parkir bisa juga karena momentum liburan panjang akhir tahun ini. Mari kita ingat tarif parkir di hari-hari biasa, paling-paling hanya Rp1000-Rp2000. Fenomena ini akan sama dengan yang dilakukan oleh tempat-tempat wisata yang juga menetapkan tarif lebih tinggi dari hari biasa. Atau sama dengan yang dilakukan oleh hotel/penginapan di Jogja yang menetapkan tarif lebih tinggi di musim liburan ini. Namanya juga musim liburan. Hal itu tidak bisa kita hindari sebagaimana dikatakan hukum ekonomi : permintaah meningkat, harga pun naik.

Maka saya sepakat jika seandainya pemerintah memberlakukan tarif khusus untuk hari libur panjang seperti idul fitri, natal, tahun baru, daripada seperti sekarang ini; Rp1000 terlalu kecil, Rp5000 terlalu mahal, kan nggak asyik Dab.  Dalam Perda yang ada sekarang ini, memang belum diatur secara khusus tentang tarif parkir di hari libur panjang seperti akhir tahun ini.

Tapi ya jangan Rp5000 juga kali Mas, kasihan anak kos
  
3. Nilai uang kita semakin rendah

Bisa Anda rasakan sendiri, sekarang ini uang Rp1000an sudah semakin langka. Kebanyakan adalah Rp2000. Jujur, saya pun merasakannya. Uang Rp1000 seperti sudah sangat kecil nilainya. Maka tak mengherankan jika sekarang ini tarif parkir di daerah lain/tempat wisata rata-rata Rp2000. Kalau kita sudi menengok kembali prinsip dan sasaran dalam penetapan besaran tarif retribusi parkir di Jogja nih ya, dua di antaranya adalah kemampuan masyarakat (daya beli jasa) dan aspek keadilan (pengguna dan penyedia jasa parkir). Ini artinya juru parkir yang telah 'berinisiatif menetapkan tarif parkir' tersebut telah memahami adanya prinsip tersebut. Mereka paham bahwa kemampuan masyarakat Jogja berikut wisatawannya, juga cukup tinggi. Tapi ya jangan Rp5000 juga kali Mas, kasihan anak kos. Hanya saja memang, jika hal tersebut diterapkan tanpa adanya dasar/aturan dari pemerintah, 'inisiatif' juru parkir tersebut akan dianggap ilegal dan nakal. Dengan demikian, pemerintah perlu meninjau kembali perda yang ada sekarang ini.

4. Posisi tawar

Ini cukup pelik dan cenderung akan disangkal, namun demikianlah yang sebenarnya terjadi. Saya sempat membaca curhatan seorang netizen di media sosial ketika mengeluhkan mahalnya tarif parkir, sang juru parkir menjawab "Kalau tidak mau cari saja tempat lain Mbak". Dari situ terlihat betapa tingginya posisi tawar tempat dan juru parkir. Kalau pun misalnya Mbak-mbak tersebut mau cari tempat lain, dan toh sama juga, ya pasti akan tetap memilih parkir di situ. Atau ada yang murah misalnya, tapi jauh, ya pasti akan memilih parkir di situ. Iya kan?

Demikianlah di Jogja yang tercinta ini, posisi tawar tempat parkir dan juru parkir begitu tinggi. Dan kita paham bahwa posisi tawar yang tinggi tersebut akan berdampak pada tingginya harga yang harus dibayarkan. Tetapi sebenarnya konteksnya bukan di situ (tempat dan juru parkir), melainkan lebih kepada Jogjanya. Saat ini, saya rasa, posisi tawar Jogja memang semakin mahal karena berbagai citranya yang dimilikinya itu.

Tapi ya jangan Rp5000 juga kali Mas, kasihan anak kos.

5. Minimnya pengawasan dan penindakan

Sepertinya kok kurang pantas ya jika kita beranggapan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap juru parkir itu minim. Maksudnya, kok rasanya tidak mungkin kalau pemerintah itu tidak tahu adanya juru parkir yang menetapkan tarif sebesar itu. Pemerintah sebenarnya tahu, hanya saja kurang tegas, atau nggak enak sama juru parkirnya, tapi anuuu... atau... atau.. ah sudahlah, jangan berburuk sangka.

Anggaplah memang begitu. Sehingga kita bisa memberikan saran normatif kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan pengawasan dan --ini yang lebih penting sebenarnya-- penindakan terhadap aksi juru parkir yang 'nakal' itu.

6. Tertular virus #PapaMintaSaham (Sebuah pengingat untuk yang sudah lupa). 

Poin keenam ini sudah saya bahas dalam postingan di blog sebelah. Silakan dibaca di sana. Oh iya, masih ingat kasus #Papamintasaham kan?

7. Sinyal dan Sindiran

Bisa jadi, mahalnya tarif parkir tersebut sebenarnya merupakan isyarat atau sinyal dari Jogja agar kita mulai beralih menggunakan transportasi publik atau bahkan menggunakan sepeda saja. Dengan begitu, Jogja tidak macet, tidak berpolusi, dan kita bisa lebih berhemat. Lumayan kan, bisa buat beli gorengan di angkringan. Tapi..bagaimana dengan nasib juru parkir itu? Mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan dong. Bagaimana pula dengan PAD dari retribusi parkir? Tenang, kan mereka masih bisa menjadi juru parkir sepeda, ya walaupun cuma Rp200 rupiah sih. Tapi nanti mungkin bisalah dinaikkan menjadi Rp500. Sedangkan PAD retribusi parkir akan digantikan dengan PAD dari Trans Jogja, atau moda transportasi lain yang mungkin bisa disediakan oleh Pemerintah Jogja.
Sesederhana itu? Tidak, sesederhana Rumah Makan Padang.      

Terakhir, kalau misalnya saya membandingkan tarif parkir di jalan dengan tarif parkir di mall, apakah Anda akan marah? Tarif parkir di mall saja Rp2000-Rp3000 dan Anda merasa tidak keberatan untuk membayarkannya.
   
   Itu kan di mall, beda dong.
   Iya, memang beda.
   Lha terus, relevansinya?
   Ya nggak ada. Cuma sama-sama bayar parkir aja sih.
   
Demikianlah tujuh kemungkinan penyebab tarif parkir di Jogja naik drastis di musim liburan akhir tahun ini. Dan agaknya, ini masih akan berlanjut sampai awal tahun depan. Selamat berlibur, selamat piknik, siapkan uang yang banyak.

Ingat, di era semua harus dimakan, semua harus dihabiskan, dan semua harus dibeli ini, uang memang bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya butuh uang.

Kecuali untuk masuk surga dan pindah agama.

Tapi ya jangan Rp5000 juga kali Mas, kasihan anak kos
Please write your comments