Jangan Mengkambing Hitamkan Cinta, Saudaraku (Sebuah Pesan Untuk Kelompok LGBT) - Jurnal Darul Azis

Jangan Mengkambing Hitamkan Cinta, Saudaraku (Sebuah Pesan Untuk Kelompok LGBT)

Jangan Mengkambing Hitamkan Cinta, Saudaraku (Sebuah Pesan Untuk Kelompok LGBT)

 
Dalam forum-forum diskusi formal dan non formal,  para aktivis/kelompok LGBT selalu mengutarakan bahwa orientasi dan perilaku seks yang kini tengah (maaf) dideritanya itu bukanlah sebuah penyakit. Sebab pada kenyataannya, mereka tidak pernah merasa menderita/merasa sakit karenanya. Sebaliknya, mereka justru merasa sehat dan bahagia.

Lebih jauh, mereka juga mengatakan bahwa yang mendasari perilaku maupun orientasi seksnya itu tak lain adalah cinta. Ya.. terhadap sesama jenisnya itu, mereka juga merasakan cinta. Cinta yang penuh kasih dan sayang. Dan mereka merasa tidak bisa mengelak rasa itu. Sebab biar bagaimana pun, cinta merupakan sebuah anugerah dari Tuhan. Meski ada sebagian kelompok lain yang juga merasa menderita karena "rasa cinta" itu. 

Pertama-tama, saya memang membenarkan alasan tersebut, juga memakluminya. Sehingga saya kemudian dapat menerima kehadiran mereka sebagai bagian dari sisi lain kehidupan manusia. Namun setelah banyak melakukan perenungan-perenungan, soal cinta tadi saya menjadi berbeda pendapat. Berikut ulasannya, silakan dibaca dengan hati-hati dan sepenuh hati.

Kamu melakukan sesuatu hal secara berulang-ulang, terus-menerus dalam beberapa kurun waktu hingga kamu sangat mencintai hal tersebut. Kemudian, kamu menganggap bahwa apa yang kamu lakukan itu adalah bagian dari hidupmu. Ia adalah hidup matimu. Kepada orang-orang di sekitarmu, kamu menamainya passion. Karena kamu sangat mencintainya.

Setiap hari kamu berada di lingkungan yang nyaman, asri, tenang, dan membuat hidupmu tenteram. Kamu bertemu orang-orang yang ramah, bersahabat, saling menolong, tenggang rasa, dan gemar berbagi, lalu kamu pun menjadi demikian. Kamu lantas menjadi sangat mencintai lingkungan itu. Bagimu, lingkungan tempatmu tinggal sekarang adalah hidup matimu. Kamu akan menghabiskan sisa hidupmu di dunia ini, hanya di lingkungan itu. Bukan yang lain. Bahkan ketika kamu meninggal pun, kamu ingin dikuburkan di sana. Lingkungan yang sangat kamu cintai itu.

Kamu terlahir di keluarga yang sangat menyayangimu. Ayahmu sangat bertanggungjawab dan melindungi keluarganya dengan baik. Ibumu juga telah ikhlas berkorban banyak demi kesenanganmu. Begitu juga dengan saudara-saudaramu, mereka sangat menyayangimu. Begitu juga sebaliknya, kamu sangat menyayangi mereka, mencintai mereka. Kamu akan bersedih jika melihat Ayahmu sakit. Kamu akan bersusah hati jika melihat ibumu bersedih. Dan kamu akan sangat merasa kehilangan jika di antara mereka ada yang pergi meninggalkanmu, selamanya.

Di rumah, kamu punya kucing atau anjing peliharaan. Hampir setiap hari kamu bersamanya. Kamu memberinya makan dengan makanan yang baik. Kamu menempatkannya di tempat yang baik. Saat ia sakit, kamu mengobatinya. Jika kamu lama tidak melihatnya, kamu juga akan merindukannya. Kamu sangat menyayanginya. Begitu juga dengan anjing atau kucing peliharaanmu itu, ia senantiasa setia dan patuh padamu.

Demikianlah cinta. Ia adalah sebuah hasil dari suatu kebiasaan. Dalam pepatah Jawa disebutkan, witing tresna jalaran saka kulina (Timbulnya rasa cinta berawal dari sebuah kebiasaan). Cinta, dalam arti luas memang sebuah anugerah dari Tuhan. Ya.. karena cinta adalah rasa. Dan setiap manusia sudah pasti dianugerahi rasa-rasa itu. Secara alamiah, kita telah dianugerahi rasa cinta, rasa sedih, rasa senang, rasa haru, dan rasa-rasa lainnya. Kita juga telah dianugerahi rasa cinta dan senang terhadap benda-benda, terhadap alam sekitar, terhadap binatang, terhadap sesama manusia, dan terhadap Tuhannya. Namun semua rasa itu, hanyalah sedikit kadarnya. Ia hanya serupa benih. Karena pada akhirnya, rasa cinta yang dianugerahkan itu membutuhkan pembiasaan-pembiasaan. Atau kaitannya dengan benih tadi, ia masih membutuhkan perawatan. 

Rasa cinta kita terhadap binatang misalnya, baru akan tumbuh dan bertambah semakin banyak jika kita mengasahnya. Yakni dengan sering berinteraksi dengan binatang tersebut atau dengan memelihara binatang tersebut. Begitu juga dengan rasa cinta kita terhadap alam sekitar, ia baru akan tumbuh dan bertambah menjadi lebih banyak jika kita terbiasa berinteraksi, bersama, dan merasakan keberadaannya. Atau rasa cinta kita terhadap Tuhan, ia baru akan semakin besar jika kita sering berinteraksi, menyadari keberadaannya, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Jadi....benih cinta memanglah anugerah, dan pertumbuhannya akan benih tersebut akan bergantung pada proses pembiasaan-pembiasaan.

Apakah hanya berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Benih cinta, meskipun sudah dipupuk ia baru akan sempurna jika ditambah dengan adanya kesadaran untuk melibatkan perasaan di dalamnya--yang dalam istilah kekiniannya disebut Baper (Bawa perasaan). Karena jika tidak, maka ia hanya akan menjadi cinta yang biasa kadarnya. Salah satu contohnya misalnya, di lingkungan sekolah, kampus, atau tempat kerja, kamu punya banyak teman, kalian biasa melakukan kegiatan secara bersama. Dengan kondisi seperti itu, dua syarat sebenarnya sudah terpenuhi, yakni benih cinta dan kebiasaan. Namun selama dirimu tidak melibatkan terlalu banyak perasaan pribadi misalnya, maka cinta yang kamu rasakan ya hanya sebatas cinta yang biasa kadarnya. Cinta yang manusiwi, cinta yang normal. Bukan cinta yang disertai dengan gejolak asmara.

Karena itulah saudara-saudaraku, yang saat ini mungkin sedang terjebak dalam cinta yang terlarang, cinta yang tidak biasa bagi kebanyakan orang, cinta yang (maaf) sering disebut tidak normal, kita tidak bisa serta-merta mengatakan itu cinta atau merasa tidak berdaya atas "cinta" tersebut dengan alasan toh rasa itu merupakan anugerah dari Tuhan. Tidak bisa saudaraku. Karena sejatinya yang dianugerahkan Tuhan hanyalah benih cinta. Sementara untuk menjadikannya cinta yang sempurna dan paripurna, selalu ada pembiasaan-pembiasaan yang menyertainya. Tak hanya itu, selama dalam proses pembiasaan itu pun, juga ada kesadaran dari kita untuk melibatkan rasa. Tolong, jangan mengkambinghitamkan cinta Saudaraku. Sebab ia terlampau suci untuk kita jadikan alasan atas semua nafsu-nafsu kita.

Saudara-saudaraku, jika kamu ingin terlepas dari "rasa terlarang" itu, pertama-tama kembalikan dan pasrahkanlah kepada Yang Maha Memberikan Rasa. Setelah itu, sebisa mungkin, tepislah dan enyahkanlah "rasa-rasa" itu ketika kamu berhubungan dengan mereka. Kemudian, tinggalkanlah kebiasaan-kebiasaan yang selama ini justru membuat "rasa itu" semakin membesar. Tinggalkanlah. Atas izin Tuhan, niscaya "rasa itu" akan segera sirna dari dalam hatimu. 

Selamat berjuang saudara-saudaraku. Tuhan memberkatimu.

*Kredit Gambar oleh : Colourbox
Please write your comments