Surat dan Tanda Tangan Palsu dan Kisah Asmara yang Kandas - Jurnal Darul Azis

Surat dan Tanda Tangan Palsu dan Kisah Asmara yang Kandas

Surat dan Tanda Tangan Palsu dan Kisah Asmara yang Kandas


Oleh : Darul Azis

Ilustrasi
Beberapa hari ini, di beranda Facebook saya banyak berseliweran foto presensi anggota Partai Golkar dalam rapat paripurna awal pekan lalu. Dalam foto tersebut, tampak sebuah tanda tangan dibubuhkan di kolom presensi milik Setya Novanto. Loh, memangnya kenapa? Jadi yang membuat ramai adalah karena di saat yang sama Setya tidak hadir dalam rapat tersebut, ia sedang berada di Sulawesi Utara untuk urusan partainya.

Oke, skip. Saya tidak ingin ngomongin Setyo Novanto lagi. Biarlah dia tenang di alam sana. Saya mau ngomongin diri sendiri saja.

*****
Ngomong-ngomong soal tanda tangan palsu, saya punya cerita. Kisah ini saya alami ketika masih SMP. Awal-awal masuk SMP, saya sangat rajin berangkat ke sekolah. Selain karena masuk di sekolah baru, saat itu saya juga sedang jatuh cinta dengan salah seorang teman sekelas saya. Sebut saja namanya Siti. Siti adalah siswi yang sangat manis menurut saya. Kulitnya kuning langsat, giginya kecil-kecil seperti biji buah mentimun, dan satu hal yang membuat saya semakin keranjingan adalah ia punya lesung pipit dan tahi lalat di pelipis. Tanda cewek pintar nih, pikir saya kala itu.

Karena saking rajinnya saya berangkat sekolah, lantas saya pun sering dititipi surat izin oleh teman-teman saya. Mereka percaya, surat izinnya pasti akan sampai di meja guru karena tidak mungkin saya bolos atau tidak menyampaikan amanat itu, meski sepenuhnya saya tahu itu cuma surat bohongan. Ya.. mereka tidak benar-benar sakit, jika itu surat izin sakit. Tidak pula sedang bepergian, jika surat izin itu dilayangkan karena alasan bepergian.

Aksi titip surat itu kemudian menyulap saya menjadi sesosok kurir surat nan shidiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Sayang, dulu saya tidak kepikiran untuk menetapkan tarif seperti yang dilakukan jasa pengiriman macam JNE, TIKI, POS, dan kanca-kancanya itu. Kalau saya menetapkan tarif, saya yakin setiap hari saya bisa makan lontong sayur di kantinnya Yuk Ani.

Namun ternyata tak cuma sampai di situ, lama-kelamaan aksi teman-teman saya semakin runyam. Dengan berbagai alasan, mereka juga minta tolong kepada saya agar mau menuliskan surat izin, serta membubuhkan tanda tangan palsu dirinya sendiri dan orang tua/walinya. Weladalah, lulus jadi kurir surat yang amanah, saya pun naik kelas jadi penulis surat.

Tentu saja saya mengiyakan, sebab saya tahu kalau sudah urusan tulis-menulis surat, mereka bakalan lebih mengerti kondisi saya. Ehmm, maksudnya ya mereka tahulah kalau saya ini jarang bawa sangu. Jadi, atas kesadaran diri mereka dan juga kemelasan wajah saya, saya pun jadi bisa makan lontong sayur gratis di kantinnya Yuk Ani, cukup dengan mencatut nama si pemesan surat.

Sejak saat itu, saya makin sering mendapatkan order surat. Bagaimana tidak, teman seangkatan saya ketika itu berjumlah 120 orang, yang terbagi menjadi tiga kelas. Sebagian besar mereka mengenal saya, dan lantaran sifat nabi telah melekat dalam diri saya, terutama jika soal surat menyurat, mereka pun akhirnya banyak yang memercayai saya. Setiap hari ada saja yang memesan surat. Tak cuma surat izin, bahkan surat cinta, surat ucapan ulang tahun, surat valentine, surat putus, dan surat ngajak balikan pun, sayalah yang membuatkan.

(Duh dek........... semua ini abang lakukan demi sesuap nasi, mengertilah)

Tapi kejayaan itu berbanding terbalik dengan entah nasib asmara saya. Bolehlah orang bilang kalau saya jago menulis surat. Tapi begitu berada di hadapan Siti, saya selalu gagu, mati kutu, dan sama sekali tidak pandai nyepik. Sampai akhir semester 2 pun, saya masih belum bisa mendapatkan hati Siti. Gimana mau dapet kalau mbribik dan nyepik saja saya tidak bisa, iya kan?

Walhasil, kisah asmara saya pun tak jauh berbeda dengan lagunya Ungu yang Cinta Dalam Hati itu. Malah kemudian terdengar kabar, Siti telah jatuh ke tangan seorang cowok macho, yang belakangan saya ketahui bernama Brian. Pertama-tama saya tak langsung percaya dengan gosip itu, hingga mendorong saya untuk melakukan penyidikan kecil-kecilan. Setelah saya selidiki, ternyata memang benar adanya. Sitiku yang ayu dan sering datang ke mimpiku itu jatuh di tangan Brian.

Hati saya remuk seremuk-remuknya.
****
Saya ingat benar, hari itu adalah hari Senin. Saya duduk di depan kelas seorang diri, karena memang saya datangnya kepagian. Waktu SMP saya gak mau kalau sampai telat upacara. Bukan, saya gak mau telat bukan karena saya ini orang yang nasionalis. Yang nasionalis itu bapak saya, karena saking kagumnya beliau dengan Pak Karno. Jadi, sebagai anaknya saya tidak boleh melewatkan upacara bendera yang cuma seminggu sekali digelar itu. Duh pak, ngagumin orang kok bawa-bawa anak segala.

Ketika duduk-duduk itulah, seorang laki-laki bertubuh tegap dan kekar menghampiri saya. Husssh... dia bukan homo! LGBT terus yang ada di pikiranmu.

Kedatangannya itu justru menunjukkan betapa heteronya dia. Ya..tanpa saya duga keahlian saya dalam menulis surat sudah menyebar di telinga banyak siswa, termasuk laki-laki yang mengaku sebagai kakak kelas saya itu, tanpa menyebut nama.

Pagi itu, dia minta tolong kepada saya agar menuliskan sepucuk surat pernyataan cinta untuk seorang cewek yang sedang ia taksir, lengkap dengan tanda tangan ciptaan saya yang oleh mereka dipercaya dapat membawa keberuntungan. Belum sempat saya berkata 'sanggup', dua lembar uang seribuan keburu mendarat di kantong saya. Alhasil, demi menjaga harkat dan martabat saya dalam dunia persuratan, dan juga uang dua ribu rupiah itu, saya pun menyanggupi permintaan tolong itu serta memberikan jaminan bahwa sang cewek pasti akan takluk padanya.

Di dalam surat itu, ia meminta agar nama sang cewek ditulis dengan nama Cinderella. Waktu itu lagu Cinderellanya Radja memang sedang tenar-tenarnya.

*****

Seminggu kemudian, bersamaan dengan remuknya hati saya, saya baru tahu laki-laki itu bernama Brian, dengan Siti yang telah menjadi Cinderellanya.

Sejak saat itu, saya tak bersumpah tidak akan menulis surat atau menciptakan tanda tangan yang hanya membawa keberuntungan bagi orang lain, tapi membawa kemalangan bagi saya sendiri. Saya benar-benar kapok.


Sungguh kampang seribu kampang!


Please write your comments