Apakah Indonesia Kita Memang (Benar-benar) Akan Dijual, Pak Presiden? - Jurnal Darul Azis

Apakah Indonesia Kita Memang (Benar-benar) Akan Dijual, Pak Presiden?

Apakah Indonesia Kita Memang (Benar-benar) Akan Dijual, Pak Presiden?

Indonesia Tidak Dijual/Ilustrasi www.flickr.com

Pak Presiden Republik Indonesia yang saya hormati;

Akhir pekan ini seharusnya saya bisa istirahat lebih tenang setelah selama sepekan bergelut dengan aktivitas dunia yang sangat menyita tenaga dan pikiran itu. Namun kali ini tampaknya saya harus mengamini kata-kata Pak SBY, State Never Sleep. Negara tidak pernah tidur, Yang artinya, sebagai warga negara yang baik dan benar,  tidak selayaknya saya malah enak-enakan tidur sementara negara dan (misalnya) pemerintahnya tidak pernah tidur dan terus bekerja. Warga negara macam apa saya kalau sampai setega itu? Sungguh! saya tak ingin seperti itu Pak Presiden. 

Adalah kebijakan Kementerian Dalam Negeri Pak--yang akan mencabut tiga ribuan perda lebih karena dianggap menghambat investasi dan pembangunan-- yang membuat pikiran saya tak tenang dan tak bisa tidur, karena di dalamnya ada perda pelarangan miras yang juga terancam akan dicabut. Kebijakan tersebut, kalau ditelusuri sebenarnya atas perintah Bapak juga waktu membuka acara Konferensi Nasional Forum Rektor Indonesia di UNY akhir Januari lalu. Bahkan, sebagaimana diberitakan Antara dan dikutip Humas Kemendagri, Bapak bilang nggak usah pake dikaji lagi, karena bapak maunya cepat-cepatan.

Pak Presiden Jokowi yang baik hati;

Dulu waktu kampanye, Bapak dan Pak JK mengunggulkan sembilan agenda prioritas yang Bapak sebut Nawa Cita. Program itu, kata Bapak, digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana diamanatkan founding father kita, Bung Karno. 

Bagaimana mau berdaulat secara politik Pak, jika negara kita terus-menerus Bapak ‘jual’ ke negara-negara lain atas nama investasi? Padahal Bapak tentu tahu, para investor itu akan besar sekali pengaruhnya dan turut menentukan arah politik bangsa kita agar usahanya di Indonesia dapat terus aman dan langgeng. Bapak harus ingat, saat ini Bapak adalah kepala negara. Kepala pemerintahan. Bukan Gubernur Jakarta, Walikota Solo, apalagi pengusaha. Okelah, latar belakang memang akan memengaruhi sikap seseorang, tapi untuk kali ini, sekali lagi karena sekarang Bapak adalah spresiden republik ini, tolonglah Bapak menjadi orang lain dulu. Maksud saya, tolong tinggalkan dulu diri bapak yang pengusaha dan senang berjualan itu dan fokuslah menjadi kepala negara. Terlalu mendewakan dan mendominasikan sektor swasta sebagai penyelamat perekonomian negara kita sama dengan bunuh diri Pak dan itu justru semakin menjauhkan Indonesia dari Tri Sakti. Ingat Pak, ada masyarakat dan pemerintah yang seharusnya punya daya tawar yang sama tingginya dengan sektor swasta. Sebagai kepala negara, Bapak punya tugas berat itu; menyeimbangkan kekuatan tiga stakeholder tersebut sebagai wujud pengamalan pancasila dan UUD 1945. (Walah tambah panjang kan Pak?)  

Berkaitan dengan investasi, yang menurut Bapak banyak dihambat oleh peraturan-peraturan di daerah sehingga Bapak berniat mencabutnya melalui tangan Kemendagri, saya melihat itu merupakan wujud kearogansian pemerintah pusat terhadap pemerintah (dan masyarakat) daerah serta tidak mencerminkan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Perizinan yang terlalu berbelit memang tak baik Pak dan tak sesuai dengan cita-cita reformasi birokrasi. Tapi bukan lantas terlalu dipermudah juga, karena bisa-bisa justru menimbulkan eksploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam di daerah.

Tentu itu akan sangat tidak adil, terutama bagi masyarakat di daerah karena ujung-ujungnya merekalah yang akan menerima dampaknya; hanya menikmati limbahnya, sementara yang banyak menikmati hasilnya adalah orang luar. Bapak ingat kan, kebakaran hutan tahunan di Sumatera dan Kalimantan yang akhirnya sangat merepotkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal? Ya itulah pak, salah satu dampak investasi yang terlalu dimudahkan, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah sendiri—yang tak jarang juga diselingi perilaku KKN dan transaksi politik oleh para aktornya. Dan lagi-lagi, rakyatlah yang selalu menjadi korban.

Hal yang sama pasti juga akan berlaku jika Perda pelarangan dan pengendalian peredaran miras Bapak cabut. Baiklah kalau tampaknya kita harus sekuler-sekuleran. Kita buang jauh dulu agama kita. Kita bicara soal investasi saja misalnya. Katakanlah dari minuman keras negara mendapatkan uang tiga T, namun berapa T uang yang kemudian harus negara keluarkan untuk menanggung dampak dari bebasnya peredaran miras itu, Pak? Kita tidak bisa menepis kenyataan bahwa bebasnya penjualan miras itu akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat kita loh, Pak, utamanya bagi generasi muda. Ada banyak sekali generasi penerus bangsa kita yang telah meninggal sia-sia gara-gara miras, baik karena overdosis, kecelakaan, maupun karena terlibat dalam tindak kejahatan lain. Apakah itu tidak pernah terpikirkan oleh Bapak?

Sebagai rakyat yang baik dan cinta terhadap pemimpinnya, saya ingin mengingatkan Bapak  kembali perihal Nawa Cita yang sepertinya mulai Bapak lupakan. Satu hal saja, investasi terpenting yang kita harapkan adalah investasi sumber daya manusia, Pak. Bukan investasi dengan di bidang industri. Toh lagipula --kalau nggak salah-- Bapak juga ingin memperkuat jati diri sebagai negara maritim dan agraris kan? Bukan negara industri.

Atau, memang Indonesia kita ini sedang akan dijual ya, Pak Presiden? Kalau iya, saya juga mau ikut jadi salesnya! Sebagai anak bangsa yang baik dan benar, yang ingin turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan, saya akan dengan senang hati menawarkan negara saya ke investor-investor itu. Tunjukkan, bagian mana yang harus saya jual, Pak.


Salam,

Rakyatmu
Please write your comments