Tentang Hidup Bahagia di Hari Tua : Mungkinkah Dapat Terwujud Tanpa Kita Menyicilnya Sedari Muda? - Jurnal Darul Azis

Tentang Hidup Bahagia di Hari Tua : Mungkinkah Dapat Terwujud Tanpa Kita Menyicilnya Sedari Muda?

Tentang Hidup Bahagia di Hari Tua : Mungkinkah Dapat Terwujud Tanpa Kita Menyicilnya Sedari Muda?

Bulan Januari lalu, tepatnya pada hari ke-26 selepas Magrib, menjadi momentum titik balik saya sebagai seorang anak. Bermula dari bertukar kabar, bincang-bincang ringan, dan bercanda dengan orangtua di rumah melalui telepon, saya akhirnya memperoleh sebuah kabar ‘lain dan baru’ -untuk tidak saya katakan buruk atau kurang menyenangkan. 

Mulanya, kepada saya, Bapak dan Ibu di rumah berkabar dalam keadaan sehat. Pun demikian dengan saya, berkabar kepada mereka bahwa kondisi saya di Jogja (berkat doa mereka) juga dalam keadaan sehat. Obrolan berlanjut dan saya mengutarakan rencana untuk mengajak saudara-saudara kandung di kampung arisan hewan qurban pada lebaran Idul Adha tahun ini. Saya berencana berqurban untuk mereka berdua (semoga Allah memberi kemudahan. Aamiin). Dengan nada bercanda (walau dari lubuk hati terdalam memang ingin mewujudkannya!), saya juga menyinggung soal tabungan umrah untuk kedua orangtua saya. 

Pada saat menyinggung soal umrah itulah, Ibu bilang, “Apa ya mungkin, sekarang Bapak sudah nggak sehat kayak dulu.” ujarnya lirih. Tersirat keraguan dalam nada bicaranya. 

Deg. 

Jantung saya seakan berhenti untuk beberapa saat. Jujur, saya belum begitu siap menerima kabar tersebut. Selama ini, saya tahu kondisi Bapak baik-baik saja. Selalu sehat, ceria, dan tak punya riwayat penyakit yang aneh-aneh dan berat.

Dari situlah segalanya mulai terungkap. Di usianya yang sudah mendekati angka 78 tahun, dalam tiga bulan ini ternyata Bapak sering merasa kesulitan saat hendak buang air kecil. Selain terasa sakit, hanya sedikit sekali air seni yang mampu ia keluarkan. Sementara dorongan untuk buang air kecil saat ini lebih kerap datang ketimbang biasanya.


“Kata dokter Made, aku kena prostat. Biasa penyakit tua,” ujar Bapak ketika kemudian kami berbincang lebih serius,”Tapi aku sebenarnya juga nggak apa-apa. Sehat. Cuma kalau pas kencing keluarnya dikit dan agak sakit.” lanjutnya meyakinkan saya (dan mungkin juga dirinya). Ia tertawa. Saya mengikutinya, dengan rasa yang sungguh berat.


Tak hanya kabar tentang Bapak, kabar ‘lain dan baru’ tentang Ibu pun akhirnya juga sampai ke telinga saya. Ibu saya, yang kini usianya sudah menginjak angka 68 tahun, juga mulai merasakan ada yang tidak beres pada tubuhnya. Lutut kanannya, sebagaimana pengakuannya pada saya, seperti berair. 

“Kadang terasa kaku dan linu. Jadi kalau pas tidur, kakinya harus diangkat dan disandarkan di tembok biar nggak sakit.” Keluhnya. Saya langsung mencari kemungkinan penyebabnya di internet. Dulu Ibu memang pernah terpeleset saat jalan hingga menyisakan rasa sakit yang terkadang muncul pada lututnya.

Selama ini saya tak pernah memikirkan hal itu. Mereka, saya tahu, adalah sosok yang senantiasa sehat, kuat, dan punya daya tahan tubuh yang tinggi. Selama hampir 25 tahun hidup sebagai anak kandungnya, saya tak pernah menyaksikan mereka sakit serius. Paling-paling hanya pusing, masuk angin, flu, dan pegal-pegal yang pasti akan sembuh dengan minum obat warung, dikerok, ataupun dipijit. Tak pernah sampai dirawat di rumah sakit ataupun puskesmas.  Namun ternyata semua itu membuat saya terlena dan abai pada kenyataan lazim bahwa setiap tubuh mempunyai batas kemampuan dan daya tahannya masing-masing. Pun demikian dengan tubuh kedua orangtua saya.


Alarm Usia

Tak pelak, setelah mendengar kabar itu pikiran saya pun jadi ke mana-mana. Saya yang dulu berpikir normal dan lempeng, bahwa kelak kedua orangtua saya akan menua sebagaimana semestinya dan tetap sehat-sehat saja, kini mulai berubah. Saya mulai gelisah. Hal itu pula yang kemudian membuat saya tersadar, menjadi tua bukanlah persoalan sederhana. Ada berbagai persoalan pelik yang mau tak mau harus dihadapi. Di antaranya yang paling lazim adalah soal kesehatan. Kalaupun misalnya kebutuhan ekonomi sudah cukup terpenuhi dan punya cukup banyak waktu misalnya, namun ternyata energi dan kekuatan tubuh telah menurun. 

Secara usia, kedua orangtua saya bisa dikatakan telah mendapatkan bonus yang cukup banyak. Pun demikian dengan kondisi ekonomi, yang walaupun tidak berlimpah, tapi telah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga yang mereka butuhkan saat ini (mungkin) adalah tubuh yang senantiasa sehat, anak dan cucu yang lebih dekat, perhatian dan kasih sayang yang lebih hangat, dan ketenteraman hati dan jiwa yang bisa mereka peroleh melalui ritual ibadah atau pendekatan diri kepada Tuhan.

Ketika saya menuliskan cerita ini, macam-macam pikiran dan rasa gelisah kekhawatiran masih menghantui saya. Jika dikatakan dengan jujur, saya sebenarnya belum merasa siap dengan kenyataan bahwa kedua orangtua saya telah semakin menua dan menurun kesehatannya. Sementara saya merasa belum cukup berbakti kepada mereka. Sempat terbersit untuk segera pulang ke kampung halaman, namun tugas dan cita-cita di Jogja masih belum tunai. Alhasil, yang mampu saya lakukan saat ini hanyalah berdoa terus-menerus untuk kesehatan mereka berdua.

Momen 26 Januari benar-benar menjadi alarm bagi saya, baik sebagai seorang anak maupun sebagai orang yang masih berusia muda. Sebagai anak, artinya saya harus meningkatkan perhatian pada orangtua saya. Sedangkan sebagai orang yang masih muda, hal tersebut menjadi pengingat bahwa kelak saya juga akan mengalami hal yang sama : masa tua. Lengkap dengan segenap serba-serbinya.

Tak cuma sampai di situ, kini setiap kali mengingat mereka bayangan tentang diri saya di masa mendatang pun jadi lebih sering muncul. Saat ini saya baru berumur 24,5 tahun. Masih sangat produktif dan sehat. Namun apakah kelak saya akan panjang umur seperti mereka? Jika pun iya, apakah pada hari tua nanti kehidupan saya cukup terjamin baik secara ekonomi maupun kesehatan? Atau ketika  saya meninggal, akankah saya hanya ‘merepotkan’ orang-orang yang saya tinggalkan karena tiadanya tabungan yang saya miliki? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu membutuhkan jawaban dan membuat saya semakin tersadarkan betapa pentingnya mempersiapkan segala hal dari sekarang, sebagai bekal menapaki hari tua. Hari tua adalah hari di mana kita sudah tidak produktif lagi. Hari di mana sisa-sisa usia seharusnya lebih kita gunakan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan menyiapkan sebanyak-banyak bekal untuk kehidupan selanjutnya. Hari di mana kita, seharusnya, lebih banyak memperoleh kasih sayang dan perhatian dari anak dan cucu. Jika saat pertama kali kita menatap dunia adalah dengan tangisan, maka sudah selayaknya di masa-masa akhir kita hidup di dunia selalu dipenuhi dengan senyuman. Kebahagiaan.  Harapan yang sama semoga juga berlaku bagi Anda yang sedang membaca tulisan ini. Kita semua pasti ingin hidup bahagia. Hal itu pulalah yang mendasari pemilihan judul blog saya ini sejak awal 2017 lalu. Karena saya sadar, satu-satunya hal yang didambakan setiap manusia di dunia ini adalah hidup bahagia, sampai di hari tua.

Bahagia di Hari Tua Bersama BPJS Kesehatan
Potret Bahagia di Hari Tua (sumber gambar : kartu pos. Penyuntingan bingkai oleh penulis) 


Bagi saya pribadi, hari tua yang membahagiakan adalah saat kita telah cukup aman secara ekonomi, sehat jasmani dan rohani, tidak kehilangan teman dan relasi, senantiasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarga, dan bisa lebih fokus mendekatkan diri pada illahi. Dan semua itu saya rasa bukanlah sesuatu hal yang datang dengan sendirinya. Melainkan harus dipersiapkan sedini mungkin. Ibarat kata, sekarang menanam esok menuai. 

Ya. Segala hal yang menunjang kebahagiaan kita di hari tua harus kita tanam dari sekarang. Mulai dari mempersiapkan tabungan untuk hari tua, menjaga pola hidup sehat, memperbanyak teman, menjaga hubungan baik dengan keluarga, serta banyak belajar ilmu dunia dan agama. 

Namun kali ini tabungan di hari tua akan menjadi fokus pembicaraan kita, mengingat jika merujuk pada teori kebutuhan yang diungkapkan Abraham Maslow, kebutuhan akan fisiologi dan rasa aman menjadi yang utama dalam kehidupan manusia. Barulah kemudian dilanjutkan dengan pemenuhan kebutuhan kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. 

Hidup Aman dan Terjamin Dengan Adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 

Ketika seseorang telah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka selanjutnya ia akan membutuhkan rasa aman. Beberapa di antaranya adalah perlindungan dari hal-hal seperti penyakit, bahaya, ataupun musibah. Singkat kata, mereka membutuhkan kehidupan yang terjamin dan stabil.

Terkait hal ini, negara kita sebenarnya sudah memiliki program yang menjamin kehidupan sosial rakyatnya, mulai dari lahir hingga meninggal dunia. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi dasar program jaminan sosial ini, yakni meliputi jaminan kesehatan (yang diselenggarakan secara khusus oleh BPJS Kesehatan), jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Kesemuanya dijalankan berdasarkan prinsip gotong royong (asuransi sosial/subsidi silang) dan tabungan wajib, sangat sesuai dengan karakter dan budaya kita sebagai masyarakat Indonesia. Kaitannya dengan bekal menghadapi masa tua, program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun adalah yang paling relevan untuk kita bicarakan. Mari kita ulik!

Jaminan Hari Tua

JHT merupakan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk memberi kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang bersangkutan tidak produktif lagi. Yakni saat memasuki masa pensiun, berhenti bekerja, terkena PHK, meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Adapun nilai manfaatnya ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan, ditambah hasil pengembangannya. Jadi perlu dipahami, program ini bukan hanya sebatas tabungan, melainkan ada nilai investasi di dalamnya di mana peserta juga akan menerima untungnya. 

Manfaat JHT akan cair saat peserta memasuki usia pensiun (56 tahun). Atau jika dalam perjalanannya peserta membutuhkan dana tersebut, bisa dicairkan sebagian yakni 10 persen, dengan syarat kepesertaan sudah 10 tahun atau jika digunakan untuk keperluan pembayaran perumahan, maka dana bisa dicairkan sebanyak 30 persen.

Namun apabila peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun, ahli warisnya yang sah tetap berhak menerima manfaat JHT. Ahli warus yang dimaksud meliputi suami/istri dan anak. Atau jika peserta tidak suami/istri/anak, maka dapat diberikan kepada orangtua, saudara kandung, mertua, dan pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh pekerja. 

Besar iuran JHT ini dibedakan berdasarkan dua jenis, yakni untuk peserta penerima upah dan peserta bukan penerima upah (BPU). Peserta penerima upah terdiri dari pekerja pada perusahaan, pekerja pada orang perseorangan, dan orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. Sedangkan peserta BPU adalah terdiri dari pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja mandiri seperti dokter, pedagang, tukang ojek, nelayan, petani, dan lain semacamnya.

Untuk peserta penerima upah, iuran ditetapkan sebesar 5,7% (lima koma tujuh persen) dari upah, dengan ketentuan 2% (dua persen) ditanggung oleh pekerja dan 3,7% (tiga koma tujuh persen) ditanggung oleh perusahaan. Sedangkan untuk peserta BPU menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 ditetapkan sebagaimana dirinci dalam tabel berikut.

Besaran Iuran Program JHT Bukan Penerima Upah


Satu poin penting dari program JHT adalah kita mendapatkan sejumlah uang saat memasuki usia pensiun. Dari pengalaman saya berinteraksi dengan para tetangga yang bekerja sebagai karyawan perusahaan dan PNS, biasanya uang yang mereka dapatkan itu kemudian digunakan untuk membeli kebun, ladang, atau sawah. ataupun membangun (tempat) usaha baru seperti toko, rumah toko, kos-kosan, dan lain sebagainya. 

Tentu itu merupakan sebuah pilihan logis. Sebab selain bisa menjadikan uang tidak cepat habis, sawah, kebun, dan ladang juga bisa menjadi investasi yang akan terus naik nilainya. Tak hanya itu, dengan adanya lahan pertanian baru, mereka pun akan dapat tetap aktif bergerak, bekerja, dan bertemu dengan lebih banyak orang. Sebab berhenti bekerja, bagi sebagaian orang tua di Indonesia, sering kali justru membuat mereka stres dan rentan terserang penyakit. Itulah mengapa banyak di antara mereka yang walaupun sudah berusia lanjut namun tidak mau berhenti bekerja. Bahkan ada di antara mereka yang secara ekstrim tidak mau menerima pemberian uang ataupun nafkah dari anaknya. Selama mereka masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka tak akan pernah minta kepada sang anak. Singkatnya, mereka tetap ingin mengaktualisasikan diri sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Maslow.

Selain untuk membeli lahan dan membangun usaha, ada juga yang sejak awal dialokasikan untuk ibadah haji. Tentu ini juga merupakan pilihan logis, yakni sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Tak hanya itu, diakui atau tidak, di Indonesia gelar ‘haji’ dan ‘hajjah’ juga mendapatkan pengakuan penting dalam masyarakat. Sehingga kemudian yang bersangkutan akan terus dianggap dan disegani masyarakat. Singkatnya, mereka pun akan tetap eksis, diakui, dan tentu saja bermanfaat walau usia sudah semakin menua.

Dua contoh di atas saya rasa sudah cukup menjelaskan mengapa program JHT ini begitu penting. 

Jaminan Pensiun

Seperti halnya dengan JHT, Jaminan Pensiun juga diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip gotong-royong dan tabungan wajib. Program ini ditujukan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Dengan iuran sebesar 3 % dari upah per bulan (2 % ditanggung perusahaan dan 1 % ditanggung pekerja), jaminan pensiun ini diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti. Adapun manfaatnya nantinya berwujud uang tunai yang akan diterima setiap bulan sebagai : 
  • Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal dunia;
  • Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai meninggal dunia;
  • Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi
  • Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun; atau
  • Pensiun orangtua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Tak semua orang masih tetap memiliki kondisi fisik yang kuat dan sehat di usia tuanya. Inilah alasan utama mengapa program Jaminan Pensiun ini begitu penting. Karena bisa menjadi penopang kebutuhan sehari-hari ketika kondisi fisik sudah tidak memungkinkan lagi untuk beraktifitas berat. Dengan demikian, risiko hidup ‘menderita’ di hari tua pun sekurang-kurangnya dapat diminimalkan.

Epilog

Ada sebuah ungkapan populer yang bunyinya begini : untuk mengetahui bagaimana masa depan seseorang, maka lihatlah bagaimana ia hidup di masa kini. Tak perlu menunjuk hidung orang lain, lebih baik ungkapan itu kita arahkan pada diri sendiri. Ya, kita bisa memproyeksikan bagaimana hari tua kita kelak sejak dari sekarang. Yakni dengan melihat pola hidup kita saat ini. 

Sudah cukup sehatkah pola hidup kita? Sudah matangkah pola pemikiran, emosi, dan jiwa kita? Dan terakhir, sudahkah kita menjadi peserta Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun?

Jika sudah, maka segeralah ucapkan kata 'SELAMAT!' untuk diri Anda sendiri. Namun jika belum, segeralah untuk menanam (berinvestasi) dari sekarang. Selagi masih ada kesempatan.

Bahkan andaipun esok hari kiamat tiba, sementara masih ada uang di tangan Anda, maka investasikanlah!



Please write your comments