Tentang Kebahagiaan Sejati dan 11 Sikap yang Harus Kita Miliki - Jurnal Darul Azis

Tentang Kebahagiaan Sejati dan 11 Sikap yang Harus Kita Miliki

Tentang Kebahagiaan Sejati dan 11 Sikap yang Harus Kita Miliki

Hampir semua orang bisa dipastikan ingin kehidupannya membahagiakan. Walaupun pada kenyataannya rasa susah hati akan turut menyertai. Selayaknya makhluk hidup yang senantiasa diciptakan berpasang-pasangan, rasa bahagia pun agaknya  juga mempunyai pasangan : rasa duka. Hal itu tidak bisa kita mungkiri, sebab telah merupakan garis kodrati.

Kebahagiaan Sejati/Ilustrasi (sumber gambar : possibility)

Berbicara soal bahagia adalah bicara soal rasa. Rasa yang muncul dari dalam hati setiap manusia. Kemunculannya pun tidak serta merta dan dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan. Namun karena menyangkut rasa, maka bahagia yang sejati tidak mungkin berasal dari luar diri, seperti uang, kekayaan, kekuasaan, ataupun ketenaran. Kalaupun itu semua dianggap bisa memunculkan kebahagiaan, hanya sesaatlah rasa itu. Fana. 

Karena rasa bahagia yang sejati hanya muncul dari dalam diri sendiri. Dari hati. Ia muncul melalui sikap hidup yang sesuai dengan tuntutan hidup bahagia. Sikap hidup tersebut dijelaskan secara rinci dan gamblang dalam buku “Hidup Bahagia Cara Sufi”, yang ditulis oleh Sudirman Tebba. Berikut rangkumannya : 


1. Sabar

Rasa sabar adalah upaya menahan diri dari keluh kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan mengacaukan. Itu pengertian sederhananya. 

Secara mendasar, terutama kaitannya dengan kehidupan para sufi, sabar adalah menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan ajaran Tuhan dan sewaktu menghadapi musibah. Sehingga di sini rasa sabar berkait dengan urusan dunia dan akhirat, yang bermuara pada pendekatan diri kepada Tuhan. 

Upaya itulah yang kemudian kita kenal sebagai iman. Dengan iman, setiap kita menjalankan perintah Tuhan ataupun tatkala menghadapi musibah, kita masih tetap akan punya harapan kepada Tuhan. Dan bukankah kita berani hidup karena ada harapan? Sementara sebaik-baik berharap adalah hanya kepada Tuhan. Bukan manusia atau yang lain.

Selain itu, iman juga akan mendorong kita untuk senantiasa berbuat dan bersikap baik. Sementara bukankah perbuatan dan sikap baik itu akan selalu melahirkan rasa senang dan menenteramkan? 

Karena itulah, jika kita dapat bersabar dalam berbuat baik, maka terbukalah satu peluang untuk hidup bahagia.


2. Syukur

Rasa syukur ini tentu saja kita tujukan kepada Tuhan. Karena begitu banyak kebaikan yang kita terima, bahkan tanpa kita minta sekalipun. Dari bersyukur ini, kita akan mendapatkan lebih banyak kebaikan lagi dari Tuhan. Itulah yang akan membuat kita bahagia. 

Tuhan sebenarnya tidak membutuhkan rasa syukur kita, sebagaimana sebenarnya Ia tidak membutuhkan pujian dari kita. Tetapi dengan bersyukur dan memuji-Nya, maka berarti ada ketaatan dalam diri kita. Ada cinta dalam diri kita. Ada prasangka baik kita terhadap-Nya. 

Dan bukankah dengan semua itu, kita akan dapat dengan mudah memperoleh kasih sayangnya?

Menurut Ibnu Qayyi al-Jauziyah, sikap syukur ini terdiri atas tiga tingkatan. Pertama yakni mengakui nikmat dari Tuhan, memuji karena nikmatnya, dan menggunakan nikmat tersebut untuk berbuat baik kepada sesama dan kepada-Nya.

Tingkatan kedua adalah syukur terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan, diwujudkan dengan menahan amarah, menyembunyikan keluh kesah, tetap memelihara sopan santun, dan menempuh jalan ilmu. Tingkatan syukur ini tentu lebih sulit, karena yang disyukuri justru berupa hal-hal yang tidak menyenangkan. Namun di sinilah kesabaran dan keridhaan kita atas ketentuan Tuhan akan teruji. Orang yang sudah memiliki sikap sabar dan ridha, tidak akan mau membedakan antara kenikmatan dan kesulitan, karena sejatinya sama-sama datang dari Tuhan. 

Adapun tingkatan ketiga adalah syukur yang membuat manusia hanya melihat pemberi nikmat, yaitu Tuhan, bukan kenikmatan atau kesulitan yang diterima. Tentu ini jauh lebih sulit dari tingkatan syukur kedua. 


3. Ridha

Ridha berarti senang, suka, rela, menerima, menyetujui, puas, membenarkan, memandang baik, dan semoga Tuhan memberi rahmat. Dalam tasawuf, ridha berarti senang menjadikan Tuhan sebagai tuannya, senang kepada ajaran dan takdirnya. 

Orang yang telah mencintai Tuhan biasanya senang dengan segala hal yang datang dari-Nya. Baik berupa kemudahan-kemudahan maupun kesulitan-kesulitan. Sehingga apa pun yang menimpa dan terjadi pada dirinya, bukan sesuatu yang menimpa itu yang akan ia lihat, melainkan hanya Tuhanlah yang ia lihat. Ia akan selalu merasa senang, ikhlas, berprasangka baik, dan menjadikan itu sebagai salah satu bentuk kasih sayang Tuhan untuknya. 

Terkait hal ini, Tebba mengajak kita untuk belajar dari apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud. 

Sungguh menjilati batu kerikil yang panas lebih aku cintai ketimbang aku mengatakan ‘seandainya itu tidak terjadi’ terhadap sesuatu yang telah terjadi, atau ‘seandainya terjadi’ terhadap sesuatu yang tidak terjadi.

Untuk memiliki rasa itu, dibutuhkan beberapa syarat. Di antaranya kita harus terlebih mengesakan-Nya dan ikhlas menjalankan ajarannya. Jika kedua syarat tersebut telah berhasil ia penuhi, maka barulah ia dapat memunculkan sikap ridha atas segala kehendak dan ketentuan Tuhan atas hidupnya.


4. Ikhlas

Dalam tasawuf, ikhlas berarti melaksanakan ibadah dan segala perbuatan semata-mata karena Tuhan. Baik sebagai bentuk ketaatan seorang hamba maupun sebagai bentuk kecintaan kepada-Nya. Semata-mata agar keduanya semakin dekat. 

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ikhlas memiliki tiga tingkatan. Pertama ialah mengeluarkan penglihatan dari amal, bersih dari imbalan perbuatan, dan menghilangkan rasa puas terhadap suatu perbuatan. Ada tiga masalah yang dihadapi oleh orang yang berbuat amal, yaitu memperhatikan amal, mencari imbalan, dan merasa senang atas amalnya tersebut. Orang yang ingin menghadirkan rasa ikhlas, tugas pertamanya adalah menghilangkan tiga hal di atas ketika berbuat sesuatu, untuk kemudian merengkuh tingkatan kedua.

Tingkatan kedua adalah merasa malu karena walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, namun ia merasa belum banyak melakukan perbuatan baik. Ikhlas pada tingkatan ini meliputi lima hal, yaitu : amal, kesungguhan, merasa malu kepada Tuhan, menjaga diri dari menyaksikan amal, dan melihat amal dari mata air kemurahan dan karunia Tuhan.

Sedangkan tingkatan ketiga adalah mengikhlaskan amal dengan membersihkan amal dari kepentungan diri sendiri atau orang lain. Perbuatan tersebut dilakukan secara lurus, tulus, dan berdasarkan pengetahuan. 


5. Qana’ah

Qana’ah adalah sikap puas dengan apa yang ada, tidak tamak dan meminta terus-menerus. Sikap ini merupakan sikap orang kaya yang sejati. Karena ia tidak pernah meminta melebihi apa yang telah ia terima. 

Namun demikian, dalam hidup ia tetap diwajibkan untuk bekerja dan berusaha. Sikap ini sebenarnya hanya untuk menjaga manusia agar tidak berusaha mencari-cari sesuatu hal di luar yang sudah diterimanya dengan cara-cara yang tidak baik.


6. Raja’

Raja’ berarti berharap, mengharapkan, khawatir dan takut akan sesuatu. Dalam tasawuf, raja’ berarti mengharapkan rahmat Tuhan yang sesungguhnya selalu mengelilingi kita, namun kita jarang memerhatikannya. 

Dengan adanya sikap ini, maka hati kita akan menjadi lebih hidup dan merdeka. Karena kita punya harapan yang besar kepada Tuhan, di masa yang akan datang. Sikap ini juga bisa menimbulkan kondisi hati yang optimistis, lega, suka, dan senang. Orang yang menderita di dunia misalnya, ia akan merasa senang, bahagia, atau setidaknya deritanya akan berkurang kalau ia menggantungkan harapan kepada Tuhan untuk memperoleh keselamatan pada kehidupan selanjutnya. 


7. Cinta

Maksudnya adalah cinta kepada Tuhan dan cinta kepada dunia untuk mewujudkan cintanya kepada Tuhan. Dunia di sini maksudnya adalah sesama manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan segenap isi alam semesta. 


8. Benar

Maksudnya adalah benar dalam perkataan, benar dalam niat dan kemauan, benar dalam tekad, benar dalam menepati janji, dan benar dalam amal perbuatan.  Lawan dari sikap ini adalah sifat dusta, khianat, menipu, dan curang. 

Sikap benar dapat menenangkan hati dan pikiran. Ketenangan hati dan pikiran itulah yang akan membawa kebahagiaan dalam hidup kita. Berbeda halnya dengan kecurangan, kebohongan, khianat, dan penipuan, yang hanya akan menimbulkan kegelisahan, kesengsaraan, dan pada akhirnya membawa kita pada kehancuran.


9. Berani 

Di kalangan sufi, sikap ini meliputi berani hidup menderita, sederhana, atau mencukupkan diri di tengah kehidupan material yang mewah. Karena menurut mereka mencintai kehidupan dunia merupakan masalah pokok yang menimbulkan ketakutan, kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran. 

Orang yang terlalu mencintai kehidupan dunia seperti harta benda, jabatan, pekerjaan, akan sangat takut kehilangan kenikmatan tersebut. Sehingga kemudian juga akan membawa mereka pada rasa takut berkata benar karena jabatan terancam dicopot atau bisnisnya terganggu. 


10. Istiqamah

Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas mengartikan istiqamah adalah menjalankan semua kewajiban manusia kepada Tuhan. Konsistensi menjadi kata kunci atas penjelasan mengenai istiqamah ini. Yakni konsisten pada jalan yang lurus dan benar dalam niat, perkataan, dan perbuatan. Untuk dapat beristiqamah, seseorang harus mampu bersikap ikhlas, senantiasa bertaubat dan berserah diri kepada Tuhan.  Sikap ini juga sangat menunjang sikap-sikap yang telah disebutkan di muka. Orang yang telah berhasil menjalankan sikap-sikap di atas secara konsisten, maka berarti jiwanya sudah matang. Jiwanya sudah tenang. Hanya orang yang jiwanya sudah matang dan tenanglah yang dapat beristiqamah. Karena itulah, sikap ini akan dapat membawa seseorang pada derajat kebahagiaan.


11. Tawakal

Dalam tasawuf, tawakal berarti berserah diri kepada segala keputusan Tuhan, terutama setelah kita melakukan suatu upaya atau perbuatan. Jadi, tawakal di sini harus didahului oleh upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan. 

Sikap ini akan menghindarkan kita dari rasa kecewa, marah, frustrasi, stres, menggerutu, panik, gelisah, sedih, atau menyalahkan orang lain. Yang penting ‘kan sudah berusaha, hasilnya diserahkan sama Yang Di Atas, begitulah prinsip sederhana dalam bertawakal ini. 


Please write your comments