Tahan Lapar Sebagai Sebuah Tirakat Mengelola Nafsu - Jurnal Darul Azis

Tahan Lapar Sebagai Sebuah Tirakat Mengelola Nafsu

Tahan Lapar Sebagai Sebuah Tirakat Mengelola Nafsu

Tahan Lapar Sebagai Sebuah Tirakat Mengelola Nafsu [Gambar via Taste For Life]

Tadi malam tubuhku melancarkan protes kecil-kecilan. Protes yang oleh kebanyakan orang sering disebut masuk angin. Badan terasa lemas, perut kembung, kepala berat, dan kerongkonganku terus-menerus beserdawa.

Merasakan hal itu, aku pun kemudian bergegas kerokan. Dan seperti biasa, aku hanya melakukannya seorang diri. Swakerok pada bagian dada. Itu akan sudah cukup menolongku.

Saat sedang masyuk kerokan, temanku yang mondok di bilangan jalan Paris datang. Tadinya ia sebenarnya mau ikut pengajian di masjid dekat kosku, tapi karena kiainya berhalangan hadir dan penggantinya tidak berhasil menarik hatinya, maka kemudian ia membolos dan bertandang ke kosanku.

"Wah, masuk angin ya?" Tanyanya berbasa-basi.

"Iya. Seharian tadi nggak makan." Aku menjelaskan.

"Loh, lha kenapa?" Ia bertanya sambil berpura-pura kaget. Lalu menanyakan sesuatu yang menurutku tidak perlu ia tanyakan, "Nggak ada duit?"

"Ada sih." Aku menjawabnya dengan malas.

"Lalu?" Ia bertanya lagi.

Aku berhenti sejenak dari aktivitas mengerok. Lalu berpikir cepat untuk dapat segera menemukan jawaban.

"Ya pengin ngirit aja. Bentar lagi 'kan lebaran. Harus beli baju baru. Ngasih THR. Dan lain-lain."

"Bocah goblok!" Hardiknya, "Nahan lapar cuma buat hal-hal remeh."

Aku tidak menanggapinya, selain karena sudah tahu dia akan melanjutkan serapahnya, kerokanku sudah hampir sampai pada proses akhir, yakni di bagian dada atas yang penuh dengan tonjolan tulang.

"Konsep menahan lapar itu bukan seperti itu. Dari dulu kayaknya aku sudah menjelaskan berkali-kali, kok kamu nggak paham-paham sih!"

Sambil meringis kesakitan, aku bertanya sekaligus membela diri, "Lha memangnya gimana? Tidak semua omonganmu bisa kuingat. Aku ini orang sibuk. Banyak hal penting yang harus kukerjakan dan kuingat-ingat. Tidak seperti kamu, yang kerjanya cuma baca buku, kitab, ngaji, dan salat."

"Begini loh. Konsep menahan menahan lapar itu harus bener niatnya. Kalau kamu nahan lapar cuma biar irit karena sebentar lagi lebaran, aduh.....itu rendah sekali derajatnya. Nggak bergengsi. Yang kamu lakukan itu, bahkan bisa dibilang, sudah buruk sejak dalam perniatan." Katanya mengejek.

"Namanya juga nyubi." Aku membela diri lagi. Kerokan sudah selesai. Aku bergeser ke meja tempat aku biasa menaruh gula dan kopi. Dispenser sudah kunyalakan sejak tadi sebelum ia datang karena memang berniat untuk membuat kopi. Melihat apa yang kukerjakan, ia tampak semakin bersemangat.

"Menahan lapar itu, seharusnya diniatkan sebagai sebuah tirakat menahan nafsu."

"Lah? Apa hubungannya? Makan itu kan bukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan? Kalau begitu, secara tidak langsung kamu mengatakan bahwa makan itu merupakan proses melampiaskan nafsu." Protesku sambil meracik kopi.

"Memang iya." Jawabnya, "Makan itu memang pelampiasan nafsu. Terutama jika sebelumnya kamu sudah menahan lapar selama beberapa kurun waktu tertentu. Setelah itu 'kan sudah pasti akan tiba pula waktunya untuk makan. Atau bisa diibaratkan berbuka. Nah, di sana ada ujian lagi. Yakni gimana caranya agar tidak kemaruk."

"Hmmm" aku bergumam agar ia melanjutkan berbicara.

"Makanya Nabi Muhammad nganjurin kita kalau makan jangan sampai kenyang. Karena rasa kenyang itu bisa melalaikan."
"Iya sih. Contoh sederhanya aku kalau udah kenyang jadi ngantuk. Jadi mager. Kalau pas puasa Ramadhan, aku jadi males salat tarawih." Aku menjawab dengan intonasi yang lebih rendah dan damai.

"Dan contoh rumitnya adalah ketika berpuluh-puluh tahun menjadi partai oposisi, lalu berkesempatan menjadi partai penguasa. Kalau ternyata mereka kemaruk, berarti memang denikianlah sifat aslinya. Yang kemarin-kemarin itu hanya soal kesempatan."

Mendengar contoh rumit darinya, keruan saja aku tak berminat.

"Tapi ingat, menahan lapar juga akan menjadi sebuah "dosa" ketika itu dilakukan semata-mata hanya untuk urusan duniawi." Ia mengingatkanku lagi.

"Orang-orang waskita zaman dulu, sering menahan lapar bukan karena mereka ingin ngirit. Juga bukan karena tidak ada yang dimakan. Tapi karena mereka sadar betul bahwa itu akan mendekatkan ia pada sang pencipta. Menajamkan pikirannya. Membuat hatinya peka. Membuatnya berani."

"Maka sebenernya beruntung banget mereka yang di zaman sekarang ini masih mampu menahan lapar atas dasar tirakat. Orang-orang kayak gitu cocok kalau kita jadikan pemimpin."

"Iya..betul." aku menjawab singkat.

"Bagi para penahan lapar yang sudah mencapai derajat tinggi, berbuka bukanlah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan. Karena ia sadar, saat itu ia juga sedang berpuasa. Berpuasa dari berbuka."

"Kok jadi serumit itu?" aku bertanya sambil mengerutkan dahi.

"Memangnya kapan kamu ngomong sama aku dan semuanya tak berubah jadi tampak rumit?" Ia malah balik bertanya.

"Nggak pernah sih. Pasti rumit gini jadinya."

"Ya sudah. Kalau gitu lanjutkan." Katanya lebih bersemangat.

Aku mulai mengantuk. Ternyata kopi yang tadi kubikin tak mampu menolongku. Aku ingat, sebelum pulang ke kos aku sempat mampir di rumah makan padang langgananku. Aku mengambil nasi dengan porsi yang memalukan; membuat aku bingung hendak mengambilnya dari mana karena saking penuhnya.

Ia terus menerocos seiring dengan mataku yang semakin berat. Dalam keadaan antara terjaga dan terlelap, rasa sesal atas kekalapanku di rumah makan padang tadi hadir. Begitu jelas.

Sudah remeh, kalap pula!

Yogya, 17 April 2017

Please write your comments