Ziarah
Setiap tempat adalah rumah
bagi tubuh berlumur lelah
setiap ruang cahayakan kasih sayang
agar setiap yang masuk
tak berkabar gusar
Setiap kedatangan adalah tujuan
di luar itu ketersesatan
saya sore ini
datang membaca isyarat tersirat
dunia yang fana
tubuh yang hina,
waktu yang sementara.
Adzanrupa-rupa suara lelah tiada,
kumandangkan panggilan tuhan
sebabku berbondong mengantar muka
yang penuh dosa dan ketersesatan
kau menjadikanku
serupa, seragam, serempak
di hadapan illahi
menata masing-masing hati
seolah-olah esok mati
Jogja, oktober 2014
Menunggui orang sakit
Bangku-bangku bertutur :
Sebaik-baik manusia adalah yang mampu
menghisab nasib umur
sebagaimana sunyi jarum jam berjalan sendiri
menafakuri diri
Segala yang berjalan boleh kau sebut waktu;
Segala yang diam boleh kau sebut mati.
menunggui orang sakit
semua tampak lebih nyata :
Mulut yang menjerit, menyaksikan malaikat maut mengendap di belakang pintu.
tikar-tikar berujar
tanah adalah rumah yang ramah.
Langit-langit bersimpuh
kepada sakit segala yang lelah akan bersimpuh
menandai sajak-sajak perjalanan
dilanjutkan atau dihentikan
dihentikan untuk dihentikan
dihentikan untuk dilanjutkan
Menunggui orang sakit
Ingatkanku pada keagungan pemilik kerajaan langit
Melukis diri, di hadapan-Nya dosaku menjerit.
Sore
: di bawah Jembatan Layang Lempuyangan
Para pedagang berjajar, belajar bersabar
Merawat tubuhnya yang tua tanpa terasa
bertemu batas bernama usia
Anak-anak pun belajar
membaca pesan kereta
sembari menempelkan badan di pagar
“Nak, kereta yang melintas
tak pernah salah
Jika ada yang menerobos kemudian terlindas,”
“Berlakulah benar seperti kereta
berjalan satu seperti kereta, lurus.
tak pernah menabrak, malah ditabrak.
Sebab kebenaran tak pernah berusaha menabrak yang salah
Kesalahanlah yang tertabrak kebenaran
di bawah jembatan layang lempuyangan
para pengendara –termasuk aku- menggelar upacara
menjadikannya sempat
saksikan senja singsingkan siang
tunjukimu betapa kota kini sangat kikuk
kedatangan kerasnya jaman
palang pintu rel terangkat
upacara bubar
aroma bangkai zaman semerbak menyebar
mengalir pekat menyusuri kota.
Semut-Semut di Dinding
suatu malam anakku bertanya
perihal semut-semut yang berciuman di sela-sela perjalanan
“mereka sedang berbagi nyawa,
Semut-semut itu hanya diberi umur sehari saja,”
lalu dari mana nyawa itu mereka cari?
“Perjalanan jauh harus mereka tempuh
Sebab itu semut-semut tak pernah berhenti berjalan
agar umur dipanjangkan
maka ketika ia hendak mati di jalan
temannya memberikan sebuah ciuman, nyawa terselamatkan,”
Paginya, tak kudapati anakku di kamarnya
pamitnya –lewat sebuah surat di meja- ia akan berkelana
agar umurnya dipanjangkan
aku baru ingat
kemarin siang kami menonton berita busung lapar di tivi
ke mana pemuda kampung ini
kemarin hujan deras turun dari punggungnya
malam ini berganti tuan-tuan berpesta
di berpagar jerit gubuk bambu
Teman tuan sangat sedikit
di manakah dusun-dusun
di manakah petani-petani
di mana bunyi gamelan pesta panen raya
di mana arak-arakan pengantin menjelang pergantian musim
oh.. Tuan
pertunjukan sulapmu mengusir mereka
pergi jauh cari kerja
di tempat-tempat yang jauh
dari tempat nenek moyangnya bersemayam
melarikan diri dari darah sunatnya
kudengar pula mereka menyembah pepohonan
sebab takut bayangan hutan-hutan
kepada Tuan pesulap
pohon di perempatan jalan itu bertanya
di manakah bocah yang dulu bermain petak umpet di seramnya akarku?
Tentang Catatan Rahasiamu
Ada kalanya, catatanmu tentang bintang dan angin yang membisu kau bacakan menjelang tidurku. Sebagai pembuka pintu mimpi, sudah sepuluh hari aku tak menemukanmu di taman surga. Keterjagaanku di pagi hari bukanlah untuk merencanakan mimpi, tapi menghisab diri.
Tentang kebiasaanmu menuangkan mimpi di pagi hari, hinggga kau melumatnya menjadi bongkahan batu, yang menguatkan kaki
menyembuhkan penyakit ragukul, yang berabad mencintaimu
Aku mencatatnya di depan pintu, agar melekat diingatan, di pulang dan pergiku.
adakalanya, kekagumanmu pada kumbang emas
burung elang
gunung pemeluk lembah yang kesepian itu
kau syairkan untukku
agar kita sama-sama terjaga
ketika rumah sepi, menjelang dini hari
saat mimpi tak lagi dikehendaki
dan kita akan keluar rumah berdua
menyaksikan agungnya malam
keceriaan pasukan Tuhan
yang datang demi janin yang kutanam di rahimmu.
Hidangan Paling Lezat
Setelah kau nikmati hidangan itu, mulutmu tak pernah berhenti bertanya. Siapa, bumbu apa, darimana. Kau mengira hidangan itu dari surga, padahal lidahmu lahyang berubah manja. Mengecap cinta di rumah sendiri pastilah lezat.
Saking sibuknya, kau tak sadari gelak tawa seisi rumahmu.
Saking bahagianya, mereka meninggalkanmu dan kembali bercumbu. Membiarkanmu mengenang cinta dan berkelahi dengan tanya. Ini masakan siapa?
Hari Minggu
Kau tak menanamnya sebagai akar yang menusuk tanah di musim kemarau, juga mimpimu tak kau panjatkan, meski kau tahu, hari itu jerit kemiskinan dan napas dahaga sedang berebut kuda sembrani menuju peradaban langit untuk mencatatkan diri.
Menjelang pagi, kau bangunkan anakmu dari mimpi-mimpinya tentang ksatria. Kau suruh ia mengenakan baju yang telah terpakai berhari-hari, di belakang rumahmu, kau kenalkan padanya tanaman-tanaman subtitusi ; singkong, ubi rambat, kentang dan mimpi. Kau gali lubang-lubang kecil dan anakmu mengisinya dengan batu, serabut kelapa dan pasir, ini warisan untukmu kelak “ucapmu padanya.
Hari Minggu, kau memeluk seisi rumah dengan semburat senyum di tanganmu.
Hari Senin
Kau bangun mendahului matahari. Senyummu mengarah pada seisi ruang dunia, tatkala mimpi-mimpi manusia merangkak, ada yang sudah menggantung di langit.
Hari ini hari kenaikan mimpi.
Tiada salah, kau cium rekah bunga di rumahmu. Sebab ia adalah pemantik doa.