Ceritanya saya mendapatkan pertanyaan yang menguji iman. Salah satu teman saya mengajukan pertanyaan sederhana, berikut ini kutipan singkat perbincangan kami.
Coba kamu lafalkan arti sahadat “ Perintahnya. Saya pun melafalkan arti sahadat sebagaimana mestinya.
AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH.” Kataku mantap.
Setelah selesai mengucapkan kalimat tersebut, dia bertanya pada saya.
Sekarang dari kalimat itu menandakan lebih duluan mana antara allah dan manusia?
Saya pun menjawab “duluan Allah.”
Salah.. kalimat itu bermakna bahwa keberadaan manusia lebih dulu ketimbang Allah. Kata BERSAKSI dalam kalimat tersebut mengindikasikan bahwa Manusia lebih dulu ada sebelum Allah itu ada. Yakni manusia menyaksikan awal mula keberadaan Allah. Atau bahasa kasarnya, manusia menyaksikan kelahiran Allah.” Jawabnya menjelaskan.
Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dibahas karena apabila dilontarkan pada manusia awam seperti saya, akan dapat dengan mudah menggoyahkan keimanan. Sepintas, pernyataan tersebut memang benar. Untuk lebih memahami kenapa sepintas kalimat tersebut seperti benar akan saya ilustrasikan dalam kalimat ini.
“ Saya bersaksi bahwa tiada yang lahir dari rahim Bu Santi kecuali si Budi”
Kesaksian ini bermakna bahwa si saksi lebih dulu ada dari pada si Budi (yang disaksikan). Namun, jangan terburu-buru membenarkan sepenuhnya, karena dalam kasus ini yang sebenarnya terjadi adalah fenomena kesalahan seseorang dalam memahami tata bahasa, tentu saja pandangan saya ini terlepas dari prasangka apa sebenarnya maksud dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, apakah pertanyaan tersebut sengaja dibuat untuk menjerumuskan umat Islam, Wallahu a’lam Bissawab.
Saya akan mengkaji kasus ini dari perspektif bahasa dan sastra. Semoga pembahasan saya kali ini dapat memberikan jawaban yang berarti dan kalau sewaktu-waktu pembaca menerima pertanyaan yang sama, akan dapat menjawab dengan mudah, rasional dan ilmiah. Semoga saja.
Kata “bersaksi” pada kalimat “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah” bukan berarti bahwa manusia yang bersaksi tersebut telah lebih dulu ada. Melainkan, kata “bersaksi” memiliki makna “mengakui“ sepenuh hati. Sehingga dapat dijelaskan bahwa manusia mengakui tiada Tuhan di dunia ini selain Allah. Perihal mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah ini didasarkan oleh perasaan yang dirasakan dalam hati seseorang, bukan berdasar pada apa yang telah dilihat, karena manusia tidak akan mungkin dapat melihat Allah di dunia ini, kecuali atas kehendak-Nya. Juga bukan atas dasar keadaan, seperti yang telah menjadi pertanyaan teman saya tadi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan istilah-istilah saksi sejarah, saksi mata, saksi bisu, saksi mati, saksi hidup dan lain sebagainya. Para saksi sejarah Kepemimpinan Bung Karno misalnya, apakah dapat dijamin mereka terlahir lebih dulu dari bung Karno? Tentu tidak bukan? Karena pada kenyataannya sejarah kepemimpinan Bung Karno dapat disaksikan oleh anak-anak yang terpaut jauh umurnya dengan Bung Karno, atau dapat pula disaksikan oleh orang-orang sebaya dengan Bung Karno, dll. untuk memperkuat pendapat saya ini, saya akan memberikan contoh berikut ini.
AKU BERSAKSI BAHWA RONI YANG MENCURI PERHIASAN MILIK BU MEGA DI KAMAR.
Dalam kalimat ini, apakah bisa dipastikan bahwa si saksi lebih dulu berada di kamar bu Mega daripada si Roni? Tentu saja tidak, kemungkinan besar bahwa si saksi mengetahui dari luar kamar, ada pencuri di kamar bu Mega setelah mendengar bunyi-bunyi aneh dari kamar, si saksi menghampiri kamar bu Mega, menyaksikan bahwa ada Roni yang memasuki kamar dan hendak mencuri perhiasan milik bu Mega. Kalau si saksi ini berada di kamar Bu Mega, tidak mungkin si Roni akan masuk ke kamar dan nekat mencuri perhiasan milik bu Mega. Sangat rasional bukan. Sehingga dalam kesaksian ini, si saksi mengakui secara benar-benar bahwa Roni lah yang mencuri perhiasan tersebut. Secara kontekstual kata bersaksi tidak dapat berdiri sendiri yang memiliki satu makna.
Sekali lagi saya katakan, dalam memahami terjemahan bahasa Arab (terutama yang terdapat dalam Al-Qur’an) memerlukan pemahaman bahasa Indonesia yang baik. Karena pengamatan yang selama ini saya lakukan, dalam terjemahan bahasa arab ke bahasa Indonesia, sebagian besar kalimat-kalimatnya memiliki unsur estetika, puitik, dan berkias. Bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an itu sendiripun memiliki tingkatan yang tinggi, atau dalam istilah Jawa memiliki tingkatan Kromo Inggil. Sehingga, bagi orang-orang yang banyak tahu perihal bahasa kiasan, akan dapat dengan mudah memahami isi kandungan yang disampaikan dari ayat-ayat Al-qur’an.
Akhirnya, saya berpesan kepada pembaca sekalian bahwa kata “BERSAKSI” dalam kalimat “AKU BERSAKSI TIADA TUHAN SELAIN ALLAH” itu bukan berarti kita harus melihat ataupun karena kita lebih dulu ada dari Allah. Kata “BERSAKSI” memiliki makna bahwa KITA BENAR-BENAR MENGAKUI KEBERADAAN ALLAH YANG SATU SEBAGAI TUHAN MANUSIA DI DUNIA INI. Awas, jangan sampai tersesat hanya karena salah dalam memahami bahasa, maka dari itu pelajarilah bahasa dengan sebaik-baiknya, terlebih lagi bahasa Indonesia. Ada kekayaan terpendam yang dapat kita nikmati dalam Bahasa Indonesia.
Di akhir tulisan saya kali ini, saya akan mengutip salah satu firman Allah dalam Surat Al-Ikhlas
1. Katakanlah, dia yang maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (Q.S Al-Ikhlas (112) : 1-4)
Salam Bahasa, salam Indonesia, Salam Tauhid.
Jetis, 09 Desember 2013.