Oleh : Darul Azis
Gambar Oleh : Mainankayu |
Meski belum genap satu tahun Kabinet Kerja menunaikan tugas dan kewajibannya, dorongan untuk diadakannya perombakan ulang (reshufle) kabinet terus-menerus mengemuka. Semakin terperosoknya roda perekonomian Indonesia belakangan ini menjadi alasan terbesar yang mendasari tuntutan perombakan Kabinet Kerja. Bagaimana tidak, sampai saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masihlah lemah, harga-harga kebutuhan pokok juga masih tetap tinggi. Dampak paling nyata atas kondisi ini tentu saja dirasakan oleh masyarakat kelas bawah, yang semakin tersudut karenanya. Hingga kemudian banyak kalangan menilai, jika hal tersebut tidak segera diatasi (melalui perombakan kabinet misalnya) dikhawatirkan hanya akan membawa Indonesia pada krisis ekonomi –yang kemudian juga diikui krisis di berbagai dimensi kehidupan; sosial, politik, budaya, dan kedaulatan hukum.
Urgensi dan Motif
Urgensi dan Motif
Tulisan ini didasari pada sebuah tesis bahwa stabilitas politik di suatu negara dapat menjadi modal stabilnya roda perekonomian di negara tersebut. Jika pandangan ini kita jadikan pijakan dalam menilai apakah perombakan kabinet merupakan solusi yang tepat untuk saat ini, baik Presiden Jokowi maupun kita (masyarakat) tidak lantas akan mengambil kesimpulan secara tergesa-gesa. Kita perlu merunut secara sistematis dan komprehensif mengenai kronologi semakin kacaunya kondisi perekonomian di negara kita. Yakni memulainya dengan mengajukan pertanyaan ini : bagaimanakah kondisi perpolitikan di Indonesia selama ini (di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi)?
Mau tak mau, memang perombakan Kabinet Kerja harus kita kaitkan dengan politik. Mengingat perombakan kabinet pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses politik, karena kebanyakan Menteri Kabinet Kerja berasal dari partai politik. Tidak untungnya, Presiden Jokowi bukanlah pimpinan Parpol atau pimpinan organisasi masa yang memiliki daya tawar politik yang tinggi. Hal inilah yang harus kita waspadai bersama. Karena jangan sampai tuntutan perombakan kabinet ini sengaja diangkat ke permukaan agar “kue kekuasaan” dapat terbagi rata karena masih banyaknya “relawan” yang belum kebagian posisi strategis di pemerintahan. Oleh karena itulah kita perlu memurnikan ulang urgensitas perombakan Kabinet Kerja, yakni harus didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, bukan untuk bagi-bagi jabatan dan kursi kekuasaan. Sikap kritis ini pula yang harus kita jadikan pegangan dalam menilai urgensitas perombakan kabinet suatu pemerintahan.
Sementara selama ini, sebagaimana kita saksikan sendiri, permainan politik di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi justru terlihat makin akrobatik dan vulgar, terhitung sejak beliau dilantik. Bahkan sebagai Presiden, Jokowi tidak memiliki energi politik yang kuat, sehingga dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan Presiden, sering kali disusupi kepentingan-kepentingan oknum dan kelompok oportunis. Sehingga banyak kebijakan Presiden Jokowi yang ditentang dan ditarik ulang karena dianggap tidak pro-rakyat. Dan sampai saat ini, Presiden Jokowi –berikut kabinetnya- juga belum banyak melakukan sesuatu yang berarti bagi rakyatnya.
Jadi sebenarnya perombakan Kabinet Kerja tidak akan berarti apa-apa jika politik di Indonesia tidak dapat dikendalikan, terutama oleh Presiden. Perombakan Kabinet Kerja juga tidak akan berarti selama Presiden tidak berkuasa atas menteri-menterinya. Sementara sebagai kepala negara, Presiden Jokowi memiliki tugas berat untuk dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Jika Presiden mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara seimbang, hemat Penulis, situasi politik akan dapat stabil dan program-program pemerintah dapat dijalankan dengan baik. Jika tidak, bagaimanapun bagusnya program Nawacita itu, tidak akan pernah terwujud, atau kalaupun bisa terwujud akan banyak sekali masalah-masalah yang menyertainya. Menyetabilkan suhu politik di Indonesia adalah yang harus dilakukan Presiden Jokowi saat ini.
*Tulisan ini pertama kali terbit di halaman Suara Mahasiswa Harian Jogja Edisi 26 Mei 2015
Mau tak mau, memang perombakan Kabinet Kerja harus kita kaitkan dengan politik. Mengingat perombakan kabinet pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses politik, karena kebanyakan Menteri Kabinet Kerja berasal dari partai politik. Tidak untungnya, Presiden Jokowi bukanlah pimpinan Parpol atau pimpinan organisasi masa yang memiliki daya tawar politik yang tinggi. Hal inilah yang harus kita waspadai bersama. Karena jangan sampai tuntutan perombakan kabinet ini sengaja diangkat ke permukaan agar “kue kekuasaan” dapat terbagi rata karena masih banyaknya “relawan” yang belum kebagian posisi strategis di pemerintahan. Oleh karena itulah kita perlu memurnikan ulang urgensitas perombakan Kabinet Kerja, yakni harus didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, bukan untuk bagi-bagi jabatan dan kursi kekuasaan. Sikap kritis ini pula yang harus kita jadikan pegangan dalam menilai urgensitas perombakan kabinet suatu pemerintahan.
Sementara selama ini, sebagaimana kita saksikan sendiri, permainan politik di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi justru terlihat makin akrobatik dan vulgar, terhitung sejak beliau dilantik. Bahkan sebagai Presiden, Jokowi tidak memiliki energi politik yang kuat, sehingga dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan Presiden, sering kali disusupi kepentingan-kepentingan oknum dan kelompok oportunis. Sehingga banyak kebijakan Presiden Jokowi yang ditentang dan ditarik ulang karena dianggap tidak pro-rakyat. Dan sampai saat ini, Presiden Jokowi –berikut kabinetnya- juga belum banyak melakukan sesuatu yang berarti bagi rakyatnya.
Jadi sebenarnya perombakan Kabinet Kerja tidak akan berarti apa-apa jika politik di Indonesia tidak dapat dikendalikan, terutama oleh Presiden. Perombakan Kabinet Kerja juga tidak akan berarti selama Presiden tidak berkuasa atas menteri-menterinya. Sementara sebagai kepala negara, Presiden Jokowi memiliki tugas berat untuk dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Jika Presiden mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara seimbang, hemat Penulis, situasi politik akan dapat stabil dan program-program pemerintah dapat dijalankan dengan baik. Jika tidak, bagaimanapun bagusnya program Nawacita itu, tidak akan pernah terwujud, atau kalaupun bisa terwujud akan banyak sekali masalah-masalah yang menyertainya. Menyetabilkan suhu politik di Indonesia adalah yang harus dilakukan Presiden Jokowi saat ini.
*Tulisan ini pertama kali terbit di halaman Suara Mahasiswa Harian Jogja Edisi 26 Mei 2015