Ngerepotin dan Direpotin - Jurnal Darul Azis

Ngerepotin dan Direpotin

Ngerepotin dan Direpotin


“Kalau tak mau ngerepotin kami, ya jangan bilang kalau kita ini keluarga” –Agus Erlangga- 

       Si penutur kalimat itu saya kenal sebagai manusia Lampung yang sesungguhnya. Beliau adalah teman, keluarga, sekaligus juga merupakan guru saya. Pemahamannya tentang semangat kekeluargaan dan kebersatuan telah mendarah-daging sampai-sampai kalimat yang demikian itu berani beliau lontarkan. Untuk itu, doa dari saya,  semoga keselamatan dan kemudahan senantiasa menyertai beliau. Aamiin ya rabbal ‘alamin.
        Apakah penuturan beliau itu berlebihan? Menurut saya tidak, sebab memang demikianlah kenyataan yang harus kita alami selama hidup di dunia ini. Mari, coba kita maknai kalimat tersebut secara lebih luas, yang dapat kita rumuskan dengan menggunakan dua kata berikut : konsekuensi dan hubungan.
        Hubungan, apapun jenisnya akan selalu disertai konsekuensi-konsekuensi logis (dan bahkan juga tak logis). Dalam hubungan kerja misalnya, antara pihak yang mempekerjakan dengan pihak yang dipekerjakan tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya. Pihak yang mempekerjakan harus siap menerima konsekuensi-konsekuensi seperti misal : memberi gaji, memperlakukannya dengan baik, mengikutkan pekerjanya itu dalam program asuransi, serta menaikkan jenjang karirnya jika si pekerja tadi memang dinilai layak. Termasuk pula konsekuensi-konsekuensi terburuk seperti misalnya jika si pekerja tadi nakal, bandel, tidak tepat waktu, dan lain sebagainya.
        Sebaliknya, pihak yang dipekerjakan juga harus siap untuk menerima konsekuensi-konsekuensi yang menyertai statusnya sebagai pekerja seperti misal : dimintai tolong (untuk tidak dibilang disuruh), disiplin, bekerja sesuai jam kerja, disemprot, diberi nasehat, diarahkan, dan lain sebagainya. Termasuk didalamnya juga konsekuensi-konsekuensi terbaik seperti misal dipromosikan, naik jabatan, mendapat penghargaan, dan lain sebagainya. Pendeknya, kedua belah pihak harus sadar akan sama-sama saling “direpotin dan ngerepotin” sebagai akibat dari hubungan mereka yakni hubungan kerja.
      Bahkan Nabi Adam pun tak luput dari yang namanya konsekuensi-konsekuensi hubungan. Beliau rela “direpotin” oleh belahan hatinya, Hawa, agar memetik buah Khuldi. Padahal buah itu jelas-jelas merupakan buah terlarang, untuk didekati sekalipun. Apalagi kok sampai dipetik. Tetapi memang demikianlah skenario Tuhan, lebih dari sekedar akibat dari perbuatannya yang terlarang, keterusiran mereka (Adam dan Hawa) dari surga juga menjadi bagian dari konsekuensi hubungan mereka.
         Contoh lain, dalam hubungan ajar-mengajar di kampus misalnya. Sang dosen mau tak mau, suka tak suka, harus rela untuk “direpotin” mahasiswanya. Termasuk jika sampai ada mahasiswanya yang pengetahuannya melebihi dirinya, dan karena mahasiswanya itu cukup nakal, maka dijatuhkannya lah dosen itu melalui protes-protes yang dilontarkan. Sang dosen harus sadar dengan konsekuensi-konsekuensi yang (mungkin akan) muncul akibat hubungan ajar-mengajar itu. Begitupun sebaliknya, si mahasiswa, juga harus tabah untuk selalu “direpotin” oleh dosennya. Sebagaimana misal, mahasiswa yang sudah datang jauh-jauh, mruput, eh giliran sudah sampai kampus, jam kuliah kosong, diganti besoknya, jam 7 lagi. Mahasiswa harus sadar, itulah salah satu konsekuensi atas hubungan mereka di kampus.
      Contoh lain lagi, dalam lingkup yang lebih luas, kita misalkan hubungan antara presiden-rakyat. Presiden telah dipilih oleh rakyat, jadi mangkel tak mangkel, Yang Mulia Presiden juga harus mau dong “direpotin” rakyatnya, dirasani, didemo, disuruh mendengarkan aspirasi, dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya jika sampai disuruh turun dari tampuk kekuasaan. Pun sebagai rakyat, kita telah memilih Presiden itu untuk kita jadikan pemimpin, jadi ya sebagai konsekuensinya kita harus mau “direpotin” Presiden. Seperti misal direpotin oleh kenaikan tarif listrik, kompor gas, BBM, tiket kereta api,  dan lain sebagainya.
       Contoh terakhir, dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini agak berbeda penjelasannya, tetapi masih dalam bingkai “direpotin “. Sebagai manusia yang sangat membutuhkan Tuhan, kita harus rela “direpotin” untuk menjalankan perintah dan larangan yang telah ditetapkan-Nya dalam kitab suci. Sampeyan mudeng kan maksud saya?
Sampai di sini, kalau masih ada yang kurang berkenan untuk direpotin, kebangetan bener sampeyan.

Please write your comments