Kiyai Rustam dan Kiyai Tihang - Jurnal Darul Azis

Kiyai Rustam dan Kiyai Tihang

Kiyai Rustam dan Kiyai Tihang

 
Libur narik angkot hari itu dimanfaatkan Kiyai Rustam dan Kiyai Tihang untuk berkeliling kota dengan mengendarai motor vespa tahun 70-an milik juragannya. Dua manusia ini memang sangat kompak, baik dari segi nasib dan peruntungan. Pekerjaan, masalah rumah tangga, dan kampung kelahiran yang sama, membuat hubungan mereka semakin mewarei (bersaudara). Terlebih lagi, status sosial mereka di kota besar (tapi makin sempit) itu pun sama, kaum urban yang mengadu nasib sebagai sopir angkot milik juragan Umar Bakrie, seorang pensiunan guru SD di zaman Orde Baru yang sekarang sudah sukses, punya perusahaan di mana-mana.
Persahabatan kedua Bapak muda itu semakin erat tatkala keduanya menyadari ada kesamaan nasib yang lebih dramatis (punya istri galak, cerewet, dan makin jelek rupanya dari hari ke hari). Di kontrakannya masing-masing, mereka sering diomelin sang istri karena “setoran” mingguan yang katanya kurang banyak melulu. Belum lagi kalau malam harinya mereka loyo, tambah ramailah suasana kontrakan.
Meski siang itu cuaca sangat terik, agaknya mereka tak begitu menghiraukannya. Seolah tak ada yang lebih panas bagi mereka selain omelan sang istri. Mereka berkeliling kota dengan begitu girangnya. Gelak tawa seringkali terdengar keras mencoba menyaingi   suara bising kota.
Motor tua itu membawa mereka melintasi sebuah rumah sakit swasta terbesar di kota itu. Dan, mereka terjebak kemacetan kota. Tampak dua orang laki-laki sibuk meniupkan peluit, berperaga bak polisi lalu lintas untuk mengurai kemacetan –jangan tanya polisi lalu lintasnya ke mana ya.  Sembari menikmati kemacetan, Kyai Rustam menyalakan sebatang rokok kretek yang sempat diutangnya pad tadi, di warung 24 jam langganannya. Ditawarinya Kyai Tihang meski ia tahu warenya itu tidak merokok. Toh rokoknya juga cuman satu batang, pasti ujung-ujungnya juga joinan.
“Yai, alangkah banyak orang sakit di kota ini ya!” Seru Kyai Tihang.
Tak ada jawaban. Yang diajak bicara masih takzim mengamati gedung rumah sakit yang menjulang, ratusan kendaraan yang terparkir, dan lalu lalang pengunjung keluar masuk gerbang rumah sakit itu.
“Yai!” Panggil Kiyai Tihang lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
“Ya ya ya. Ada apa?”
“Rumah sakitnya kok rame amat ya?”
“Kalau mau sepi ya di kuburan.”
“Bukan itu maksudku.”
“Terus?’’
“Itu, lihat.” Katanya sambil mengarahkan kepala temannya itu ke arah tempat parkir.
“Apa?”
“Kalau yang parkir di sini mobil-mobil bagus seperti itu, berarti mereka orang kaya dong?”
“Ya, bisa jadi,” Jawab Kiyai Rustam menirukan sebuah acara di Tivi.
“Berarti, orang kaya itu gampang sakit Yai?”
“Ya ya ya, bisa jadi,” jawabnya lagi
“Dalam setahun ini kamu berapa kali sakit Yai?
“Tiga kali Hang. Sakit kepala karena telat ngopi, sakit perut karena kebanyakan makan sambel, dan masuk angin gara-gara mandi junubnya kemaleman. Memangnya kenapa, kamu sendiri gimana?
“Wah wah wah. Nggak kenapa-kenapa.  Aku lebih banyak dari kamu, empat kali Yai. Penyakitnya sih sama, cuman penyebabnya aja yang beda. Sakit kepala karena digetok istri, gara-gara kepergok ngerayu anak SMA lewat sms. Sakit perut gara-gara gak dikasih jatah istri, padahal lagi pengen banget. Masuk angin gara-gara “main” waktu magrib. Dan, bintitan, mungkin gara-gara sering jelalatan ngelirik anak-anak SMA di angkot.
“ Kalau begitu, hari ini saya memutuskan, gak mau jadi orang kaya Yai.
“Loh loh loh, kesurupan malaikat mana kamu Hang, kok gak mau jadi orang kaya. Gonjor kamu!
“Aku gak mau sakit-sakitan kayak mereka. Buat apa jadi orang kaya kalau sakit-sakitan terus. Kapan mau nikmatin kekayaannya.”
“Jadi kamu mau tetap miskin?”
“Asal nggak sakit-sakitan, jadi bisa nikmatin kemiskinan. Lebih baik jadi miskin yang menikmati kemiskinannya,  dari pada jadi orang kaya yang tak menikmati kekayaannya Yai.
“Setan. Kamu kok jadi bijak gitu Hang?
“Itu sih kata penumpangku kemarin Yai, ngakunya sih dia penyair.”
“Namanya Khidir?”
“Iya.”
Kiyai Rustam tersedak asap rokok, sementara Kiyai Tihang terkejut oleh suara klakson mobil di belakangnya.
Please write your comments