![]() |
Lirik lagu himne guru ilustrasi via |
Di hari guru ini sudahkah Anda tahu bahwa lirik dan judul lagu himne guru telah diubah? Ya, lirik dan judul lagu himne guru telah diubah oleh pemerintah atas persetujuan Sartono selaku penggubahnya pada 8 November 2007.
Pemerintah mengubah judul dari yang semula Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menjadi Hymne Guru, Pahlawan Pembangun Insan Cendekia. Lirik terakhir pada lagu itu juga turut diubah menyesuaikan judul yang baru.
Notasinya dalam partitur pun ditambah satu ketukan. Perubahan itu pertama kali disosialisasikan pertama kali saat peringatan Hari Guru di Pekanbaru 2007. [1]
Jujur, saya pun baru tahu pengubahan lirik dan judul tersebut pada tahun 2015 dan cukup merasa kaget karenanya.
Tahun 2010 lalu, waktu acara perpisahan sekolah saya masih menyanyikan lagu himne guru dengan lirik yang lama. Di hadapan semua guru, juga kepala sekolah (yang juga merangkap jadi guru).
Mudah-mudahan ini semua murni karena kesalahan saya, seorang yang kurang piknik dan kurang pintar ini, bukan karena salah pemrentah yang kurang sosialisasi.
Pemerintah mengubah judul dari yang semula Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menjadi Hymne Guru, Pahlawan Pembangun Insan Cendekia. Lirik terakhir pada lagu itu juga turut diubah menyesuaikan judul yang baru.
Notasinya dalam partitur pun ditambah satu ketukan. Perubahan itu pertama kali disosialisasikan pertama kali saat peringatan Hari Guru di Pekanbaru 2007. [1]
Jujur, saya pun baru tahu pengubahan lirik dan judul tersebut pada tahun 2015 dan cukup merasa kaget karenanya.
Tahun 2010 lalu, waktu acara perpisahan sekolah saya masih menyanyikan lagu himne guru dengan lirik yang lama. Di hadapan semua guru, juga kepala sekolah (yang juga merangkap jadi guru).
Mudah-mudahan ini semua murni karena kesalahan saya, seorang yang kurang piknik dan kurang pintar ini, bukan karena salah pemrentah yang kurang sosialisasi.
Selain berhasil membuat saya kaget, dahi saya juga berhasil dibuat mengernyit, tepatnya ketika membaca lontaran alasan dari Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Sumarna Surapranata :
"Kalimat "tanpa tanda jasa" justru terkesan mengurangi pentingnya profesi guru. Padahal, peran guru sangat besar sekali. Menggantinya dengan "pembangun insan cendekia" membuat profesi guru terangkat dan mulia. Guru sangat berjasa dan merupakan orang yang ikut membangun masyarakat. Jadi guru itu orang hebat. Kalau tanpa tanda jasa seperti berarti tidak berjasa," ujar dia. [2]
Ternyata begitulah jalan pikiran pemerintah kita, terutama yang ngurusin pendidikan. Oke, cukup tahu saja.
Saya rasa orang awam pun paham bahwa justru kalimat "Tanpa tanda jasa" itulah yang telah mengangkat derajat guru dan memuliakan profesi guru, di tengah mirisnya nasib guru-guru di Indonesia terutama di daerah bagian terpencil dan terluar selama ini.
Kalimat "Tanpa tanda jasa" menggambarkan ketulusan dan kerendahan hati seorang guru dalam mendidik murid-muridnya. Tanpa merasa dirinya lebih hebat dan lebih pintar dari murid-muridnya. Mereka, guru-guru itu, paling banter cuma berani bilang bahwa mereka hanyalah orang yang lebih dulu mengerti dari murid-muridnya.
Lantas bagaimana dengan kalimat penggantinya, yang berbunyi "Pembangun insan cendekia"? Kalimat itu lebih menggambarkan bagaimana "jasa" seorang guru bagi muridnya yang disempitkan menjadi: memintarkan anak didiknya.
Hal ini -yang mudah-mudahan hanyalah kekhawatiran dan prasangka buruk saya-- berpotensi memunculkan sifat adigang, adigung, dan adiguna dari seorang guru, baik di tengah-tengah masyarakat maupun di hadapan murid-muridnya.
Salah satu eksesnya mulai kentara sekarang, banyak guru yang materialistis dan enggan mengajar di sekolah (dan daerah) terpencil seraya mendengungkan suara profesionalisme.
Hal ini -yang mudah-mudahan hanyalah kekhawatiran dan prasangka buruk saya-- berpotensi memunculkan sifat adigang, adigung, dan adiguna dari seorang guru, baik di tengah-tengah masyarakat maupun di hadapan murid-muridnya.
Salah satu eksesnya mulai kentara sekarang, banyak guru yang materialistis dan enggan mengajar di sekolah (dan daerah) terpencil seraya mendengungkan suara profesionalisme.
Padahal, melalui lirik himne guru (yang lama) itu kita sudah diajak untuk memahami bahwa jasa guru memang sungguh besar. Bahkan karena saking besarnya, tak ada satu tanda jasa pun yang bisa merepresentasikan jasa-jasanya itu. Tak ada.
Tapi meskipun demikian, tidak lantas kita harus membesar-besarkannya. Kita 'hanya' perlu menghidupkan namanya dalam sanubari, sebagai prasasti terimakasih kita atas segala bentuk pengabdiannya dalam mendidik kita untuk menjadi insan yang, --tak hanya cendekia-- namun juga berbudi luhur. Itulah amanat yang telah disampaikan melalui lagu himne guru, yang saya yakin tak semua murid bisa melakukannya.
Tapi meskipun demikian, tidak lantas kita harus membesar-besarkannya. Kita 'hanya' perlu menghidupkan namanya dalam sanubari, sebagai prasasti terimakasih kita atas segala bentuk pengabdiannya dalam mendidik kita untuk menjadi insan yang, --tak hanya cendekia-- namun juga berbudi luhur. Itulah amanat yang telah disampaikan melalui lagu himne guru, yang saya yakin tak semua murid bisa melakukannya.
Saya jadi ingat perjuangan guru-guru saya waktu saya masih SMK dulu. Mereka hanya memperoleh gaji Rp22.500 per bulan waktu itu, dan tetap mengajar dengan penuh totalitas.
Mereka ikhlas. Justru karena itulah kami menjadi lebih menghormati, menghargai, dan hingga sekarang selalu mengingat nama dan jasa mereka. Terlepas dari apakah kami sekarang jadi insan cendekia atau tidak, sudah kaya atau belum, dan sudah sukses atau malah makin kere.
Mereka ikhlas. Justru karena itulah kami menjadi lebih menghormati, menghargai, dan hingga sekarang selalu mengingat nama dan jasa mereka. Terlepas dari apakah kami sekarang jadi insan cendekia atau tidak, sudah kaya atau belum, dan sudah sukses atau malah makin kere.
Karena itulah, sebagai salah satu murid yang sampai sekarang belum berhasil memberikan satu tanda jasa pun untuk guru-guru saya (dan mungkin memang tidak akan pernah bisa), selain terus menghidupkan namanya dalam sanubari, saya tetap akan menggunakan kalimat "Tanpa tanda jasa" itu ketika menyanyikan lagu himne guru.
Karena selain gak setuju dengan kalimat penggantinya, saya juga merasa gagu ketika menyanyikannya. Nadanya nggak pas-pas. Anda tak percaya? Silakan mencobanya sendiri. Kalau Anda sudah bisa menemukan nada yang pas, tolong kabari saya. Siapa tahu saya berubah pikiran. Tapi rasanya gak mungkin deh. Ya kali aja.
Karena selain gak setuju dengan kalimat penggantinya, saya juga merasa gagu ketika menyanyikannya. Nadanya nggak pas-pas. Anda tak percaya? Silakan mencobanya sendiri. Kalau Anda sudah bisa menemukan nada yang pas, tolong kabari saya. Siapa tahu saya berubah pikiran. Tapi rasanya gak mungkin deh. Ya kali aja.
Untuk memperingati hari guru, mari kita sama-sama menyanyikan himne guru dengan lirik yang lama; untuk guru-guru kita
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S'bagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu
Reff
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
kita satu pikiran bro... terima kasih... luar biasa
ReplyDeleteTerimakasih kembali, Mas Bro.
Delete