Assalamu'alaika Pak. Apa kabar?
Saya selalu berharap Bapak, Emak, juga anak-cucu Bapak senantiasa dalam lindungan Allah subhanallhuwata'ala. Aamiin.
Pak, alhamdulillah saya di sini baik-baik saja. Sebagaimana selalu Bapak harapkan dalam doa Bapak. Sekarang saya sedang di Surabaya, untuk urusan kerjaan. Semalam, saya juga sempat ke Madura Pak. Tapi cuma sebentar saja.
Eh... ngomong-ngomong Bapak dulu sering ke mana-mana kan? Sering bepergian. Kalau bahasanya anak-anak sekarang, Bapak suka ngetrip. Hayoo ngaku.
Di antara 6 bersaudara, juga Bapak sendiri yang nekat pergi ke Pulau Sumatera. Yang lain gak pada berani (dan gak pada mau?). Nggaya tenan sampeyan ki Pak. Nekat. Resepnya apa e Pak? Mbok ya bagi-bagi sini sama anak bungsumu yang sekarang rambutnya sudah gondrong ini.
Ngomong-ngomong soal rambut saya yang gondrong ini, saya jadi ingat masa kecil saya Pak. Dulu saya nggak Bapak bolehin punya rambut panjang. Iya kan? Alasannya biar saya nggak bodoh. Bapak takut, kalau rambut saya sampai menutupi telinga lalu pendengaran saya berkurang ketika guru-guru di kelas menjelaskan mata pelajaran matematika. Bapak takut benar saya ini jadi orang bodoh. Sepertinya hanya itulah satu-satunya ketakutan terbesar Bapak terhadap saya. Kebodohan, bagi Bapak tak ubahnya seperti aib.
Padahal Pak, saya dulu pengen banget punya rambut panjang loh, kayak teman-teman, kayak Tom Cruise. Biar bisa disisir belah tengah. Biar kalau saya sedang lari-lari, saya terlihat gagah dan ganteng karena rambut saya yang terhentak dan berkibar tertiup angin. Cuman rasanya Bapak tak mengerti keinginan saya itu. Bapak sendiri malahan yang mencukur rambut saya dengan gaya potongan bros. Pendek semua. Cuma setebal sisir.
Saya tak yakin, Bapak pernah memikirkan bagaimana perasaan saya ketika rambut di kepala saya Bapak potong habis. Saya muangkel sak jane Pak. Tapi ya gimana, waktu itu Bapak masih galak segalak-galaknya. Saya takut, maka saya patuh. Saya nurut.
Tapi sekarang, Bapak agaknya sudah memaklumi keinginan saya untuk punya rambut gondrong. Bapak tak permah menegur. Saya jadi sadar, termyata Bapak sekarang telah memercayaiku pada banyak hal. Termasuk soal rambut. Makasih Pak. Ini hanya soal waktu saja ternyata. Oke.. saya mengerti sekarang.
Pak.. mohon maaf untuk sementara ini saya belum akan pulang kampung. Saya juga belum akan berusaha memenuhi keinginan Bapak, agar saya menjadi kepala kampung. Saya masih cukup muda Pak. Belum sepenuhnya siap. Saya harap Bapak bisa mengerti.
Tapi suatu saat, saya berjanji akan memenuhi keinginan Bapak. Demi Allah dan demi Bapak, saya akan mengusahakannya.
Hari ini Pak.. tanggal 12 November ini konon adalah hari ayah. Bapak tahu? Saya yakin Bapak tak tahu, dan tak pernah mau tahu. Jangankan hari ayah, hari lahir aja mungkin Bapak nggak ingat.
Kalau begitu, baiklah. Saya tidak akan mengucap selamat hari ayah buat Bapak. Yang penting Bapak tetap sehat, tampan, dan panjang umur. Begitu saja saya sudah senang. Dan bahagia.