Ilustrasi via @maz.cokz |
Jujur, pernah nggak kalian nyolong, terutama waktu masih kecil dulu?
Saya pernah, nyolong jambu air di pekarangan kosong depan rumah. Dan itu saya lakukan pada bulan Ramadhan.
Di suatu siang yang terik, saat kebanyakan orang sedang tidur, saya memanjat pohon jambu yang meskipun sudah ungkris-ungkrisen tapi tetap saja berbuah lebat. Besar kemungkinan, karena pohon jambu itu juga sering digunakan sebagai kencangan sapi --yang tentu saja sapi-sapi itu juga berak di sana.
Niat awalnya sih mau buat buka puasa. Namun apa daya, saat itu kondisinya benar-benar mendukung; sepi, panas, dan buah jambu itu, sungguh menggoda air liur saya. Membuat mulut terasa kemecrut.
Setelah mengamati keadaan sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihat, saya pun nyicip sedikit, karena pikir saya kalau cuma sedikit pasti tidak membatalkan puasa. Kan enggak bikin kenyang.
Tapi begitu nyicip rasanya kok enak dan sueger. Ah.. tanggung amat, pikir saya selanjutnya. Sekali-kali mokel kan enggak apa-apa. Jadilah hari itu saya mokel.
Tentu saya tidak sendirian. Ada abang saya yang berjaga-jaga di bawah, yang ternyata ketika saya masih dalam peperangan batin, dia sudah mokel duluan. Wasu!
Akhirnya, aksi nyolong siang itu pun kami akhiri dengan memboyong banyak sekali buah jambu. Kami tidak perlu kantong kresek kala itu (yang sekarang sudah dihargai dua ratus rupiah =P). Untuk membawa jambu-jambu itu, cukup dengan memasukkan kaos ke dalam celana. Lalu jambu-jambu itu kami masukkan dari atas melalui lubang kaos bagian leher, sehingga perut kami tampak menggelembung. Cara itu adalah cara paling lazim yang anak-anak zaman dulu lakukan. Hayooo....kurang ramah lingkungan apa coba.😂
Sore harinya, ketika adzan magrib berkumandang, seperti biasa kami ikut berbuka dengan keluarga. Setelah minum kolak, kami pun langsung mendudah jambu-jambu hasil nyolong siang tadi dari tempat penyimpanan. Namun asem, rasanya sama sekali enggak enak. Hambar bar. Ada yang asin juga malahan.