Saya Sugeng Hariyono, lahir di Ponorogo 30 tahun yang lalu. Demikian pembuka sebuah acara di Net TV bertajuk "Kisah Inspiratif Transmigran Peduli Pendidikan" yang disiarkan dalam acara Lentera Indonesia awal Maret lalu. Laki-laki berkulit hitam, berambut ikal, dan berbadan tinggi tegap itu adalah pendiri Motor Pustaka di Lampung Selatan.
Ceritanya dengan Motor Pustaka berawal sejak Juli 2013 saat ia memberanikan diri meninggalkan tanah kelahiran. Kalau di kota seperti Jakarta, akunya, mungkin persaingan sangatlah ketat kemudian dia berpikir kalau di Lampung mungkin lebih banyak peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Lanjutnya, saat itu ia juga tidak mungkin minta uang sama bapak dan ibunya sehingga dengan sangat terpaksa motor sematawayangnya pun dijual untuk uang saku perjalanan dari Ponorogo sampai Lampung.
Satu musibah kecil sempat menimpanya saat perjalanan ke Bandar lampung. Namun berkat kebaikan hati seorang sopir truk yang menolongnya, ia menumpang mobilnya sampai ke Pematang Pasir Lampung Selatan. Tak disangka, sopir itulah yang menjadi perantara pertemuannya dengan Pak Basuki. Bermodal keahlian mengelas, Sugeng menawarkan diri untuk bekerja pada Pak Basuki. Sebelumnya, sebenarnya ia juga telah mencari-cari pekerjaan, namun karena sulit akhirnya ia pun menerima bekerja seadanya. Di bengkel Pak Basuki. Mulanya ia hanya membantu-bantu sebisanya, namun lama kelamaan Pak Basuki memberinya kesempatan untuk membuka tambal ban dan hasilnya untuk Sugeng sendiri. Dari usaha tambal ban itulah akhirnya Sugeng dapat menyisihkan penghasilannya antara 20-40 ribu rupiah per hatinya untuk ditabung. Di bengkel tersebut, Sugeng juga memasak makanan sendiri dengan menu yang sederhana.
Berada jauh dari ibu kota provinsi, ternyata membuat Sugeng tak banyak punya pilihan aktivitas di kala senggang. Hingga sering kali membuatnya merasa bosan juga. Apalagi, di sana ia juga tidak bisa melakukan aktivitas yang sejak dulu digemarinya, yakni membaca. Ia sempat bertanya kepada penduduk sekitar di mana tempat perpustakaan berada sehingga ia bisa meminjam buku. Namun mirinya, yang ditanya justru tidak tahu apa itu perpustakaan. Dari situlah, ia bertekad ingin punya perpustakaan. Sebagai langkah awal, cita-cita tersebut ia mulai dengan perpustakaan keliling. Namun saat itu ia terkendala motor, karena ia memang tidak punya motor. Hingga akhirnya ia membeli motor rongsokan untuk kemudian dihidupkan lagi di bengkel Pak Basuki. Motor tersebutlah yang kemudian menjadi cikal bakal Motor Pustaka. Setelah mendapatkan motor, Sugeng pun membeli buku bekas dari tukang rongsok seharga 60 ribu rupiah.
Di awal beroperasinya Motor Pustaka, oleh anak-anak tempatnya berkeliling Sugeng sempat dikira jualan. Dengan penuh kesabaran, Sugeng memberikan pengertian dan pelayanan kepada anak-anak dan warga, demi menumbuhkan semangat membaca. Ia juga tak luput dari cibiran dan komentar negatif, terlebih dengan kondisinya yang sehari-hari bekerja di bengkel dan berpenghasilan pas-pasan.
Lama kelamaan sikap warga pun akhirnya terbuka. Sugeng mulai banyak mempunyai pembaca setia Motor Pustaka, terutama anak-anak. Ia berkisah, kerap kali banyak belajar dari para pemustaka terutama tentang nikmat dan kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dava misalnya, saat pertama kali meminjam di Motor Pustaka ia memanggil dari sebuah gang. Setelah memilih-milih buku untuk dipinjam, Sugeng pun lantas bertanya kepada sang anak untuk dicatat namanya. Namun setelah berkali-kali ditanya, sang anak hanya senyum-senyum saja. Hingga kemudian ia tahu bahwa ternyata anak tersebut tunawicara. Melihat semangat membaca Dava yang luar biasa, Sugeng pun jadi semakin terinspirasi dan bersemangat.
Dalam perjalanannya, Sugeng pun sempat mengalami kesulitan terutama soal koleksi buku yang masih terbilang minim, sementara para pembaca setianya seakan menuntut koleksi buku-buku baru. Akhirnya, ia pun memutar otak untuk menambah koleksi buku-buku baru. Setelah mendapatkan donasi HP, melalui akun facebooknya, ia lantas mengupload kegiatan-kegiatannya dengan harapan bisa mendapat donasi buku-buku baru. Kini, paling tidak donasi 3 paket buku dalam seminggu bisa ia terima.
Mengenai sosok Sugeng ini, sebenarnya ia termasuk orang yang berpendidikan tinggi. Ketergantungannya pada buku telah membawanya pada bangku perkuliahan di Universitas Terbuka dengan mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan. Jurusan yang kala itu masih sepi peminat, sehingga Sugeng berpikir akan mendapatkan peluang besar setelah lulus kuliah. Namun kenyataan ternyata tak sesuai harapan, sebab ternyata mencari peluang untuk menjadi pustakawan profesional tidaklah mudah. Ia juga sempat beberapa kali ikut tes CPNS, tapi selalu gagal. Ia pun sempat menjadi tenaga honorer di Perpusda dari awal hingga akhir tahun 2015. Namun seiring dengan meningkatnya tuntutan wilayah Motor Pustaka, ia akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dan fokus mengurus Motor Pustaka.
Lama kelamaan kegiatan Sugeng semakin bertambah. Dengan bermodalkan laptop pinjaman dan kepercayaan pemiliknya, ia mengadakan kursus komputer gratis bagi siswa-siwi setempat. Aksi Sugeng ternyata semakin menginspirasi banyak orang. Kepolisian setempat mulai meniru aksinya dengan membuat Pos Kamling Pustaka.
Kini Sugeng telah berhasil mendirikan perpustakaan permanen dengan nama "Tanah Pustaka" di belakang bengkel Pak Basuki. Bangunan kosong bekas kandang burung merpati itu ia sulap menjadi sebuah perpustakaan dengan slogan "Membaca itu Gaul". Selain itu, Sugeng juga telah dibantu oleh beberapa temannya untuk berkeliling meminjamkan buku di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Semua dilakukan secara swadaya demi menularkan virus membaca di masyarakat.
Ia berharap, dengan sedikit yang telah dilakukannya itu bisa menikmati hasilnya, yakni bisa lebih sejahtera nantinya karena pengetahuan yang didapat dari buku-buku itu.
Satu musibah kecil sempat menimpanya saat perjalanan ke Bandar lampung. Namun berkat kebaikan hati seorang sopir truk yang menolongnya, ia menumpang mobilnya sampai ke Pematang Pasir Lampung Selatan. Tak disangka, sopir itulah yang menjadi perantara pertemuannya dengan Pak Basuki. Bermodal keahlian mengelas, Sugeng menawarkan diri untuk bekerja pada Pak Basuki. Sebelumnya, sebenarnya ia juga telah mencari-cari pekerjaan, namun karena sulit akhirnya ia pun menerima bekerja seadanya. Di bengkel Pak Basuki. Mulanya ia hanya membantu-bantu sebisanya, namun lama kelamaan Pak Basuki memberinya kesempatan untuk membuka tambal ban dan hasilnya untuk Sugeng sendiri. Dari usaha tambal ban itulah akhirnya Sugeng dapat menyisihkan penghasilannya antara 20-40 ribu rupiah per hatinya untuk ditabung. Di bengkel tersebut, Sugeng juga memasak makanan sendiri dengan menu yang sederhana.
Berada jauh dari ibu kota provinsi, ternyata membuat Sugeng tak banyak punya pilihan aktivitas di kala senggang. Hingga sering kali membuatnya merasa bosan juga. Apalagi, di sana ia juga tidak bisa melakukan aktivitas yang sejak dulu digemarinya, yakni membaca. Ia sempat bertanya kepada penduduk sekitar di mana tempat perpustakaan berada sehingga ia bisa meminjam buku. Namun mirinya, yang ditanya justru tidak tahu apa itu perpustakaan. Dari situlah, ia bertekad ingin punya perpustakaan. Sebagai langkah awal, cita-cita tersebut ia mulai dengan perpustakaan keliling. Namun saat itu ia terkendala motor, karena ia memang tidak punya motor. Hingga akhirnya ia membeli motor rongsokan untuk kemudian dihidupkan lagi di bengkel Pak Basuki. Motor tersebutlah yang kemudian menjadi cikal bakal Motor Pustaka. Setelah mendapatkan motor, Sugeng pun membeli buku bekas dari tukang rongsok seharga 60 ribu rupiah.
Di awal beroperasinya Motor Pustaka, oleh anak-anak tempatnya berkeliling Sugeng sempat dikira jualan. Dengan penuh kesabaran, Sugeng memberikan pengertian dan pelayanan kepada anak-anak dan warga, demi menumbuhkan semangat membaca. Ia juga tak luput dari cibiran dan komentar negatif, terlebih dengan kondisinya yang sehari-hari bekerja di bengkel dan berpenghasilan pas-pasan.
Lama kelamaan sikap warga pun akhirnya terbuka. Sugeng mulai banyak mempunyai pembaca setia Motor Pustaka, terutama anak-anak. Ia berkisah, kerap kali banyak belajar dari para pemustaka terutama tentang nikmat dan kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dava misalnya, saat pertama kali meminjam di Motor Pustaka ia memanggil dari sebuah gang. Setelah memilih-milih buku untuk dipinjam, Sugeng pun lantas bertanya kepada sang anak untuk dicatat namanya. Namun setelah berkali-kali ditanya, sang anak hanya senyum-senyum saja. Hingga kemudian ia tahu bahwa ternyata anak tersebut tunawicara. Melihat semangat membaca Dava yang luar biasa, Sugeng pun jadi semakin terinspirasi dan bersemangat.
Dalam perjalanannya, Sugeng pun sempat mengalami kesulitan terutama soal koleksi buku yang masih terbilang minim, sementara para pembaca setianya seakan menuntut koleksi buku-buku baru. Akhirnya, ia pun memutar otak untuk menambah koleksi buku-buku baru. Setelah mendapatkan donasi HP, melalui akun facebooknya, ia lantas mengupload kegiatan-kegiatannya dengan harapan bisa mendapat donasi buku-buku baru. Kini, paling tidak donasi 3 paket buku dalam seminggu bisa ia terima.
Mengenai sosok Sugeng ini, sebenarnya ia termasuk orang yang berpendidikan tinggi. Ketergantungannya pada buku telah membawanya pada bangku perkuliahan di Universitas Terbuka dengan mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan. Jurusan yang kala itu masih sepi peminat, sehingga Sugeng berpikir akan mendapatkan peluang besar setelah lulus kuliah. Namun kenyataan ternyata tak sesuai harapan, sebab ternyata mencari peluang untuk menjadi pustakawan profesional tidaklah mudah. Ia juga sempat beberapa kali ikut tes CPNS, tapi selalu gagal. Ia pun sempat menjadi tenaga honorer di Perpusda dari awal hingga akhir tahun 2015. Namun seiring dengan meningkatnya tuntutan wilayah Motor Pustaka, ia akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dan fokus mengurus Motor Pustaka.
Lama kelamaan kegiatan Sugeng semakin bertambah. Dengan bermodalkan laptop pinjaman dan kepercayaan pemiliknya, ia mengadakan kursus komputer gratis bagi siswa-siwi setempat. Aksi Sugeng ternyata semakin menginspirasi banyak orang. Kepolisian setempat mulai meniru aksinya dengan membuat Pos Kamling Pustaka.
Kini Sugeng telah berhasil mendirikan perpustakaan permanen dengan nama "Tanah Pustaka" di belakang bengkel Pak Basuki. Bangunan kosong bekas kandang burung merpati itu ia sulap menjadi sebuah perpustakaan dengan slogan "Membaca itu Gaul". Selain itu, Sugeng juga telah dibantu oleh beberapa temannya untuk berkeliling meminjamkan buku di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Semua dilakukan secara swadaya demi menularkan virus membaca di masyarakat.
Ia berharap, dengan sedikit yang telah dilakukannya itu bisa menikmati hasilnya, yakni bisa lebih sejahtera nantinya karena pengetahuan yang didapat dari buku-buku itu.
"Negeri ini bukan warisan nenek moyang kita, tapi titipan anak cucu kita nanti," pungkasnya dengan mata berkaca-kaca.