Sebuah Pergulatan Batin Seorang Sarjana Sosial; Pulang atau Hanya Menjadi Pecundang?
![]() |
Menjadi Petani Muda Kebanggaan Bangsa/Ilustrasi via Thefarmingnews.com |
“Kapan kamu pulang total?” Pak Bakir melontarkan pertanyaan itu kepadaku di sela-sela obrolan santai kami. Beliau adalah modin di kampung kami, usianya kurang lebih 40-an tahun dan punya semangat yang sangat tinggi untuk memajukan kampung, namun karena merasa hanya lulusan SD, beliau mengaku agak kurang percaya diri. Untungnya, dulu beliau sempat mengenyam pendidikan di pondok pesantren hingga kemudian masyarakat mendapuknya menjadi modin. Kini beliau menjadi salah satu pelopor dakwah keagamaan di kampung kami setiap Jum'at bersama beberapa tokoh agama lainnya.
Mendengar pertanyaan itu, keruan saja aku bungkam. Tak mampu memberikan jawaban apa-apa. Ya, sebab meskipun aku sudah lulus kuliah sejak tahun 2015 lalu, sampai detik itu aku memang belum punya rencana untuk pulang kampung secara total. Aku masih ingin menetap di Jogja.
“Kampung kita ini sebenarnya sudah punya cukup banyak orang-orang pinter (maksudnya orang-orang yang berpendidikan tinggi, pen), tapi sayangnya mereka nggak mau pulang ke kampungnya. Mereka kuliah hanya untuk dirinya sendiri. Jadi ya begini, kamu lihat sendiri kan keadaan kampung kita sekarang? Masih sama seperti 10 tahun yang lalu.” Sambungnya kemudian.
Glek. Saat itu aku seperti benar-benar tertampar oleh perkataannya.
“Makanya, kalau bisa kamu cepet pulang saja, Zis. Menggerakkan pemuda dan masyarakat sini biar lebih maju lagi. Bangun kampung.” Lanjutnya lagi sebelum saya sempat memberikan respon.
“Aku belum siap, pak.”
“Belum siap apanya? Kuliah udah lulus. Usia juga udah dewasa. Apa lagi?”
“Kemampuan finansialku masih lemah, ilmuku masih cetek, dan mentalku juga belum begitu kuat untuk terjun ke masyarakat.” Akhirnya aku mengungkapkan permasalahanku dengan jujur. Tiga permasalahan itulah yang sebenarnya menjadi momok bagiku untuk pulang kampung.
Sejak lulus kuliah, aku memutuskan untuk tidak melamar kerja di perusahaan-perusahaan seperti teman-teman seangkatanku. Aku lebih memilih untuk menggeluti hobiku, menjadi penulis penuh waktu sambil mengelola beberapa blog dan menggantungkan pendapatan dari sana yang (untuk ukuran saat ini) masih sangat pas-pasan.
Selain alasan profesi, aku juga punya pertimbangan lain mengapa aku tidak melamar ke perusahaan-perusahaan. Karena keilmuan yang selama ini kupelajari memang bukan di sana tempatnya. Agak kolot dan idealis memang, tapi mau gimana lagi? Aku tak bisa menghianati hati kecilku. Jika disesuaikan dengan jurusan kuliah yang dulu kuambil, yakni Administrasi Negara dengan konsentrasi pelayanan publik, maka berarti bidang kerjaku ya seharusnya di masyarakat. Melayani masyarakat. Dan untuk itu, aku membutuhkan fondasi ekonomi, ilmu, dan mental yang kuat, setidaknya agar orangtua dan saudara-saudaraku bisa sedikit lebih adem karena sebetulnya mereka ingin aku bekerja kantoran. Kerja di perusahaan.
“Nanti kita kerja sama-sama, belajar lagi sama-sama. Kamu nggak sendiri di sini. Aku siap bantu. Pokoknya apa pun yang bakal kamu lakukan, asal itu bermanfaat untuk masyarakat sini, aku dukung.” Katanya dengan penuh keseriusan. Dari sorot matanya aku melihat ada banyak harapan besar yang tersimpan.
Masya allah. Hatiku terasa teriris mendengar ucapannya. Keinginan beliau untuk memajukan kampung dan harapannya terhadap generasi muda sepertiku, ternyata begitu besar. Sebagai orang yang lebih muda, aku merasa malu karenanya.
“Baiklah Pak. Beri aku waktu sampai akhir tahun 2016 ini. Aku masih mau nambah bekal pulang kampung dulu.” Bekal yang kumaksud tentu saja adalah ilmu, materi, buku-buku bacaan. Aku tak mungkin pulang kampung total hanya dengan bekal pas-pasan. Aku juga harus memastikan, ketika pulang nanti aku sudah bisa memasang jaringan internet di rumah untukku bekerja. Karena jika aku pulang ke kampung halaman dengan profesiku sekarang, artinya aku sangat membutuhkan jaringan internet untuk mempublikasikan artikel, mengirim surat elektronik, riset, dan kebutuhan lainnya. Sementara di kampungku, Way Tuba Asri Kecamatan Way Tuba Kabupaten Way Kanan, jaringan internet masih belum memadai. Sinyalnya sangat lemah sehingga tidak memungkinkan untuk aktivitas unggah tulisan.
(Semoga dengan tulisan ini, ada operator yang mau membantu jaringan internet di kampungku. Iya, tulisan ini memang sekalian sebagai upaya menyampaikan aspirasi)
Sebab pada akhirnya aku juga ingin nantinya jaringan internet itu bisa dinikmati anak-anak di kampungku yang sampai sejauh ini masih buta dengan internet. Aku ingin mengajak mereka untuk mengenalkan kampung kami kepada dunia luar melalui tulisan, foto, ataupun video.
“Oke. Tak tunggu.” Katanya seraya menepuk pundakku. Saat itu aku merasa beban di pundakku menjadi semakin berat. Berat sekali.
*************
Percakapan itu berlangsung pada bulan pertengahan bulan Juli lalu, ketika aku pulang kampung dalam rangka libur lebaran. Saat ini aku sudah berada di Jogja lagi dan masih terngiang oleh percakapan kami kala itu.
"Mengapa untuk sekadar pulang kampung saja begitu sulit? Untuk apa sejatinya aku dulu kuliah? Untuk siapa? Bukankah selama kuliah aku berkutat pada ilmu melayani masyarakat? Namun mengapa begitu lulus aku belum juga tergerak untuk mengamalkan ilmu itu? Mengapa semangat menuntut ilmu tidak kemudian diikuti dengan semangat mengamalkan ilmu?"
Pertanyaan demi pertanyaan bergejolak di batinku. Dan ingatan tentang kondisi di kampung sertamerta hadir di benakku, kondisi yang memang begitu memprihatinkan. Petani semakin terhimpit kehidupannya seiring dengan seringnya mereka gagal panen karena sawahnya yang minim pengairan. Harga karet sangat murah. Sementara kebutuhan hidup, tak henti-hentinya merangkak naik. Tak hanya itu, aksi kejahatan pun belakangan meningkat, baik itu berupa pembegalan maupun pencurian. Untuk masalah ini (dan sekaligus dalam rangka mengenal lebih jauh kondisi kampung saya) Anda bisa membaca dua satu postingan saya, Pertiwi dan Pesta Padi di Kampung Saya dan Masyarakat Way Tuba yang Pandai Berharap.
"Tapi bagaimana denganku? Aku belum selesai dengan diriku sendiri. Aku sejujurnya juga masih ingin melanjutkan S2. Tapi untuk saat ini biaya memang masih belum cukup. Dan ah, orangtuaku sudah sangat tua untuk terus-menerus kutinggalkan. Bapak sudah berumur 77 tahun dan Mamak sudah 67 tahun. Mereka sebenarnya juga sangat mengharapkan kepulanganku, anak bungsunya ini, dengan segera. Aku bisa memahami keinginan itu melalui ucapan-ucapan canda mereka, yang aku sangat yakin itu justru berasal dari lubuk hati yang paling dalam."
Sekilas mengenai kondisi di kampungku, rasanya nyaris tak ada yang istimewa. Jangankan kampung, kabupatenku pun demikian halnya. Belum punya branding ataupun prestasi yang bisa dibanggakan kepada masyarakat luas. Belum ada predikat yang bisa kami jual dan kami promosikan kepada dunia luar.
Pada tahun 2010 lalu sebenarnya Kabupaten Way Kanan telah di-branding sebagai “Bumi Petani”. Namun sampai tahun 2015 lalu, branding tersebut secara perlahan mulai terlupakan seiring dengan pergantian pemimpin di daerahku. Padahal kalau dicermati lagi, memang kabupaten kami adalah bumi petani. Singkong, kelapa sawit, karet, lada, kopi, padi, jahe, coklat, pisang, dari sanalah kami menggantungkan hidup. Lahan pertanian dan perkebunan kami begitu luas. Meski berada di dataran rendah, tanah kami juga sangat subur. Cocok untuk ditanami segala macam tanaman. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, kalau kata Koes Plus. Aku ingin sekali melanjutkan cita-cita itu, mengimbangi kerja bupati baru yang tengah gencar memperbaiki infrastruktur di daerahku.
Tak hanya itu, lokasi kabupaten Way Kanan juga terbilang sangat strategis, berada di jalur tengah perlintasan pulau Sumatera. Berdampingan dengan tiga daerah yang cukup maju, yakni OKU Timur, OKU, dan Lampung Utara. Tiga daerah tersebut merupakan daerah dengan aktivitas ekonomi yang cukup sibuk dan bisa menjadi peluang bagi kami masyarakat Way Kanan untuk turut ambil bagian di dalamnya mengingat jaraknya tak begitu jauh.
Lalu bagaimana dengan kampungku?
Kampung Way Tuba Asri, hanya berjarak lima kilometer dari Jalan Lintas Tengah Sumatera dan dua puluh kilometer dari Kota Martapura, Ibukota Kabupaten Oku Timur yang juga menjadi pusat perdagangan lintas kabupaten (Way Kanan, OKU, Oku Timur). Dengan letak yang strategis itu, kampungku memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi kampung yang lebih maju dengan branding tertentu.
Berkaitan dengan branding tersebut, pada tahun 2016 ini, Kabupaten Oku Timur sedang gencar-gencarnya menggalakkan budidaya beras organik. Wilayah Martapura yang dilalui jalan Lintas Tengah Sumatera akan didesain menjadi sebentuk etalase penjualan beras organik kabupaten Oku Timur yang selama ini memang dikenal sebagai lumbung pangan Provinsi Sumatera Selatan. Rumah makan-rumah makan di wilayah tersebut akan menyediakan nasi dan beras organik.
Sebagai wilayah tetangga, tentu kampungku juga akan turut merasakan dampaknya. Penyediaan beras organik membutuhkan produk pendamping, yakni sayuran organik. Itulah yang ingin kuperjuangkan. Aku ingin mem-branding kampungku sebagai kampung mandiri yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, mulai dari beras, bumbu, sayur-mayur, hingga buah-buahan. Dengan branding tersebut, aku berharap kampungku akan bisa menjadi kampung percontohan yang bisa memberikan inspirasi dan edukasi bagi masyarakat luas.
Saat pulang kampung kemarin, aku sudah mencoba untuk membuktikannya dengan menanam kangkung secara organik di sawah. Jika dihitung-hitung hasilnya cukup memuaskan, untungnya dua kali lipat dalam kurun waktu sebulan. Belakangan ini, setelah aku berangkat ke Jogja penanaman kangkung diteruskan oleh kakakku yang nomor dua. Demikianlah memang hukum yang berlaku di masyarakatku, untuk membuat perubahan kecil memang harus dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat. Setidaknya kalau gagal kita sendiri yang menanggung dan kalau sukses pasti akan cepat ditiru banyak orang.
Saat pulang kampung kemarin, aku sudah mencoba untuk membuktikannya dengan menanam kangkung secara organik di sawah. Jika dihitung-hitung hasilnya cukup memuaskan, untungnya dua kali lipat dalam kurun waktu sebulan. Belakangan ini, setelah aku berangkat ke Jogja penanaman kangkung diteruskan oleh kakakku yang nomor dua. Demikianlah memang hukum yang berlaku di masyarakatku, untuk membuat perubahan kecil memang harus dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat. Setidaknya kalau gagal kita sendiri yang menanggung dan kalau sukses pasti akan cepat ditiru banyak orang.
Tapi metode penanaman di sawah seperti yang kulakukan kemarin bukan yang menjadi goal-ku. Lebih dari itu, aku ingin mengajak masyarakat di kampungku untuk menanam sayuran di rumahnya masing-masing dengan menggunakan media tanam yang ada seperti ember bekas, botol bekas, kaleng bekas, bahkan kantong plastik bekas. Ke depan tak hanya itu, metode penanaman secara veltikultur, hidroponik, dan aquaponik juga harus dilakukan untuk menambah produksi sayuran dan mempertegas branding yang tengah kami ciptakan. Aku ingin, satu-dua tahun lagi di setiap depan rumah warga tersedia tanaman sayuran organik sehingga menjadikan kampung kami selayak taman sayuran yang selain bisa menyehatkan, juga bisa selfie-able, yang pada akhirnya akan mencuat ke permukaan dan go-nasional. Atau sekurang-kurangnya, hasil yang kuharapkan dari gerakan ini adalah mereka tidak perlu lagi membeli sayur untuk konsumsi sehari-hari, karena bisa memetik sendiri di pekarangan rumah.
Untuk tujuan itulah, di sela-sela kesibukanku menulis dan ngeblog, di Jogja aku juga belajar budidaya sayuran organik melalui metode veltikultur, hidroponik, dan aquaponik. Ternyata aku sangat enjoy melakukannya. Dan belum lama ini kesadaran itu muncul, bahwa ternyata aku sangat menggemari dunia bercocok tanam dan berkebun. Harapanku, semoga kelak aku benar-benar bisa memberikan contoh, dorongan, dan semangat bagi masyarakat di kampungku untuk melakukan budidaya tanaman organik dengan metode-metode tersebut. Berikut ini aku sertakan beberapa foto hasil belajarku di Kaliurang beberapa waktu lalu. (Tapi kupikir aku akan memulainya dengan bambu saja dulu, bukan pipa seperti yang telah mereka lakukan. Selain agar lebih murah, di belakang rumah juga memang banyak pohon bambu. Hehe)
Apakah hanya itu yang bisa kulakukan di kampung?
Tentu saja tidak. Aku tidak ingin berhenti sampai di situ. Aku harus terus-menerus belajar. Pun mereka masyarakat dan generasi mudah di kampungku. Karenanya, bermodal koleksi bukuku dan teman-teman pegiat buku di Jogja, aku kelak ingin membuat teman baca untuk mereka di rumah. Sehingga kami bisa belajar sama-sama di sana. Aku ingin tetap bisa melayani mereka sekuat tenaga.
Namun untuk saat ini, itu dulu goal-ku. Satu-satu dulu. Pelan-pelan, asal kesampaian.
![]() |
Belajar membuat media tanam hidroponik di Kaliurang/Darul |
Apakah hanya itu yang bisa kulakukan di kampung?
Tentu saja tidak. Aku tidak ingin berhenti sampai di situ. Aku harus terus-menerus belajar. Pun mereka masyarakat dan generasi mudah di kampungku. Karenanya, bermodal koleksi bukuku dan teman-teman pegiat buku di Jogja, aku kelak ingin membuat teman baca untuk mereka di rumah. Sehingga kami bisa belajar sama-sama di sana. Aku ingin tetap bisa melayani mereka sekuat tenaga.
![]() |
Beberapa koleksi buku pribadiku/Darul |
Namun untuk saat ini, itu dulu goal-ku. Satu-satu dulu. Pelan-pelan, asal kesampaian.
"Ini hari pertamaku di usia keduapuluh empat, aku harus lebih bermanfaat untuk masyarakat."
Jogja, 19 Agustus 2016
[Update] Gayung bersambut!! Bulan September ini aku ketiban berkah dan kemudahan-kemudahan. Pertama, aku mendapatkan banyak tambahan koleksi buku-buku baru hasil perburuanku pada bazar buku murah (harganya cuma 5 ribuan, bayangkan!) Gramedia bulan September lalu. Lumayan banyak, satu kardus.
Kedua, pada tanggal 17 September aku memenangi sebuah lomba yang diadakan Qwords dan mendapatkan Action Cam. Alat tersebut kelak bisa kupergunakan untuk mendokumentasikan kegiatan di kampungku dan kuunggah di Youtube untuk di-monetize. Eaaaak
Tak cuma itu, awal Oktober ini alhamdulillah aku berhasil memenangkan dua lomba blog di Kompasiana (lihat di menu capaian blog ini). Pada bulan September kemarin aku mengikuti tiga lomba blog, tinggal satu yang belum pengumuman. Semoga namaku nyangkut lagi. Aamiin.
![]() |
Hasil buruan setelah mengatre dari jam 7.30 dan berdesak-desakan di gudang selama 4 jam. |
![]() |
Menang lomba, seorang pemuda harapan bangsa mendapatkan kamera. |
Tak cuma itu, awal Oktober ini alhamdulillah aku berhasil memenangkan dua lomba blog di Kompasiana (lihat di menu capaian blog ini). Pada bulan September kemarin aku mengikuti tiga lomba blog, tinggal satu yang belum pengumuman. Semoga namaku nyangkut lagi. Aamiin.