Ilustrasi via |
Rasanya sudah tak terhitung lagi berapa kali lagu mars itu menyeruak masuk ke telinga kami. Melalui beberapa stasiun televisi milik ketua partainya, yang tentu saja menggunakan frekuensi publik dan kami turut membiayainya melalui pajak yang kami bayarkan, lagu itu terus-menerus diperdengarkan kepada kami dengan dalih sedang bersosialisasi.
Sebuah lagu yang sejujurnya telah terlampau membosankan untuk terus kami dengar. Liriknya pun amat pas-pasan. Tidak cukup membuat kami merasa bergairah untuk berjuang dan berkorban demi bangsa dan Negara, sebagaimana yang dipesankannya.
Karena masalah tersebut, pernah suatu kali dalam sebuah obrolan warung kopi, seseorang di antara kami melontarkan gagasan berani dan radikal.
Ia berpikir sebaiknya lagu kebangsaan kami digantikan saja dengan lagu tersebut. Ia menyampaikan gagasan itu dengan penuh kesungguhan dan kami tahu ia tidak sedang bermain-main. Sebab ia memang jarang bermain-main.
Mendengar gagasan tersebut, terang saja kami mempertanyaan alasannya.
Ia menjawab, karena lagu tersebut sudah sangat mewabah dan digemari oleh anak-anak kecil. Bahkan sampai ada seorang batita yang ketagihan dengan lagu itu; ingin terus-menerus diperdengarkan lagu itu dan akan menangis histeris kalau pemutaran dihentikan atau lagu telah selesai. Sehingga tak ayal, orangtuanya pun menyerah dan memutarkannya berkali-kali demi membuat si anak terdiam, tenteram, dan senang.
"Dengan begitu, tak akan ada lagi generasi bangsa yang lupa dengan lagu kebangsaan!" Pekiknya dengan penuh semangat. Meja bergetar, kopi hampir tumpah. Kami tetap menyimak karena belum ada tanda-tanda ia akan menyudahi penyampaian gagasannya.
"Tak hanya satu batita, katanya kemudian, "aku juga pernah mendengar keluhan serupa dari salah seorang perempuan yang menurut pengakuannya anaknya pun berpolah demikian."
Keruan saja kami segera menyanggah. Selain karena gagasan tersebut terlalu radikal, walaupun sebenarnya cukup masuk akal, tapi sebagaimana kami katakan di awal lagu tersebut amat membosankan. Mungkin karena terlampau sering diperdengarkan, melebihi lagu kebangsaan kami yang hanya diputar sekali dua kali untuk menutup dan membuka jam operasi televisi itu, kini telinga kami sudah cukup kebal dan cenderung abai. Sebagai manusia biasa, kami tentu bisa mencapai titik bosan. Sehingga walaupun lagu itu tetap terdengar, kami tak pernah lagi benar-benar mendengarkannya. Kami menganggapnya hanya sebagai angin lalu.
Sanggahan kami semakin memanas tatkala salah seorang di antara kami berorasi dengan begitu bergairahnya.
Ribuan kali ia mengajak seluruh rakyat Indonesia agar mengarahkan pandangannya ke depan.
Ribuan kali ia menyuruh rakyat Indonesia agar meraih mimpinya bagi nusa bangsa.
Ribuan (mungkin nanti akan jutaan) kali ia menyuruh rakyat Indonesia agar menyatukan tekadnya untuk untuk masa depan.
Dengan lantang ia bilang pada mereka agar pantang menyerah karena itu merupakan pedomannya.
Dengan penuh semangat ia bilang bahwa mengentaskan kemiskinan adalah cita-citanya. Segala rintangan, katanya, tak boleh menggetarkan dirinya.
Katanya, Indonesia maju dan sejahtera adalah tujuan rakyat Indonesia.
Kamu menyuruh mereka menyalakan api semangat perjuangan
Dan ia menyuruh rakyat Indonesia berteriak-teriak mendengungkan gema dan menyatakan persatuan.
Lalu setelah itu....
Kok bisa-bisanya dia bilang Indonesia jaya karenanya.
Dia sehat nggak sih?
Gitu kok masuk tivi!
Gobloook!!!!
Mendengar orasi tersebut, kami terbungkam. Kecuali seorang si penggagas pergantian lagu kebangsaan tadi, sebaliknya ia malah tertawa terbahak-bahak.