Pemimpin Muslim di Indonesia/Ilustrasi |
Sistem pemerintahan negara Indonesia diselenggarakan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga memungkinkan semua orang bisa menjadi pemimpin pemerintahan. Asalkan ia bertuhan, WNI, tidak pernah menghianati negara, dan mampu secara jasmani maupun rohani. Setidaknya itulah syarat minimal sebagaimana telah diamanatkan undang-undang.
Bagi umat Islam, sebagai umat mayoritas di Indonesia, jika berkeinginan menjadikan sosok dari kalangan Islam sebagai pemimpin pemerintahan itu wajar dan sah-sah saja. Tapi jika melarang/mencegah/menjegal orang di luar Islam untuk menjadi pemimpin pemerintahan sama sekali bukan tindakan terpuji dan tidak dapat dibenarkan. Karena undang-undang dan hukum di Indonesia tidak memandang calon pemimpin pemerintahan berdasarkan agamanya. Semua warga negara Indonesia, apa pun agama, suku, bahasa, dan daerah asalnya, memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin pemerintahan.
Jadi, dengan sistem yang sekarang ini pemimpin pemerintahan di Indonesia tidak harus seorang muslim. Kecuali kalau dasar hukum negara Indonesia diubah dulu, berlandaskan syariat Islam misalnya. Tapi jika itu dilakukan, sama dengan merombak sistem hukum dan pemerintahan negara baru--untuk tidak disebut menghianati sejarah pembentukan negara Indonesia.
Bagaimana jika umat Islam tetap menghendaki pemimpin muslim?
Umat Islam di Indonesia memang selayaknya menjadi pemimpin. Karena mereka adalah umat mayoritas. Sebagai umat mayoritas, mereka sudah otomatis pemimpin-yang mampu melindungi dan memberikan keadilan bagi umat lain. Dengan kata lain, pada hakikatnya menjadi pemimpin merupakan tanggungjawab umat Islam. Sedangkan bagi umat agama lain itu merupakan hak. Ketika seorang penanggungjawab telah lalai atau tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka orang lain berhak menggantikan posisinya. Meskipun dalam beberapa kasus, pengambilan tanggungjawab dan hak bisa dilakukan secara bersamaan. (Tolong ini dipahami dengan jernih)
Jika umat Islam memang menghendaki pemimpin muslim sebenarnya gampang sekali. 'Kan mereka umat mayoritas, sedangkan dalam demokrasi suara terbanyaklah yang akan menang.
Kalau memang calon pemimpin itu dipandang bisa berbuat adil, jujur, dan layak, maka umat Islam pasti akan memilihnya. Bukan hanya umat Islam bahkan, kemungkinan besar umat di luar Islam pun akan turut memilih dan menjadikannya sebagai pemimpin (Ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu! Jadi, pertanyaan besar bagi umat Islam di Indonesia, bagaimana calon pemimpin yang diusungnya? Bagus nggak?)
Mungkin kendalanya, sekarang ini rakyat Indonesia memilih pemimpin pemerintahan lebih berdasarkan pada selera,paras, bentuk perut, ketenaran, amplop, ekspose media, akhlak, karakter, rekam jejak, dan kinerjanya. Bukan melulu agamanya.
Kalau memang calon pemimpin itu dipandang bisa berbuat adil, jujur, dan layak, maka umat Islam pasti akan memilihnya. Bukan hanya umat Islam bahkan, kemungkinan besar umat di luar Islam pun akan turut memilih dan menjadikannya sebagai pemimpin (Ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu! Jadi, pertanyaan besar bagi umat Islam di Indonesia, bagaimana calon pemimpin yang diusungnya? Bagus nggak?)
Mungkin kendalanya, sekarang ini rakyat Indonesia memilih pemimpin pemerintahan lebih berdasarkan pada selera,
Namun bagaimana jika yang terpilih kemudian adalah pemimpin di non-muslim?
Sebagaimana dikatakan di awal, umat di luar Islam juga punya hak untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Oleh karenanya, memiliki pemimpin pemerintahan non muslim sebenarnya tidak masalah-masalah amat. Nggak perlu terlalu takut, paranoid ataupun berprasangka buruklah.
'Kan umat Islam di Indonesia banyak. Kalau nanti pemimpin non muslim itu mau macam-macam terhadap umat Islam (misal : melarang kebebasan beribadah dlsb) 'kan bisa dilawan. Dan itu sah. Itulah keuntungan sistem demokrasi yang sekarang kita pakai. Dengan sistem demokrasi seperti sekarang ini, kita dapat dengan mudah mengontrol dan mengkritik pemimpin.
'Kan umat Islam di Indonesia banyak. Kalau nanti pemimpin non muslim itu mau macam-macam terhadap umat Islam (misal : melarang kebebasan beribadah dlsb) 'kan bisa dilawan. Dan itu sah. Itulah keuntungan sistem demokrasi yang sekarang kita pakai. Dengan sistem demokrasi seperti sekarang ini, kita dapat dengan mudah mengontrol dan mengkritik pemimpin.
Jangankan cuma mengontrol dan mengkritik, melengserkannya pun bisa. Baik secara konstitusional maupun inkonstitusional. Tapi ingat, pelengserannya bukan atas dasar ia pemimpin non muslim loh ya. Melainkan atas dasar ia merupakan pemimpin yang tidak adil dan dzalim terhadap rakyatnya; karena pemimpin tersebut telah melanggar UUD 1945 yang telah membebaskan setiap warganya untuk beribadah menurut keyakinan dan agama masing-masing.
Masalah ini sebenarnya sederhana sekali. Hanya saja saya melihat terlalu dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu. Terlalu diputar-putarkan sehingga membuat pusing pala bebi.
Intinya begini : pemimpin pemerintahan di Indonesia tidak harus seorang muslim, asalkan memenuhi syarat undang-undang, semua WNI bisa jadi pemimpin. Kalaupun kemudian ada pemimpin dari umat Islam yang memang layak dan dapat berlaku adil terhadap seluruh rakyatnya tentu itu tentu bagus--dan wajar. Karena memang itulah tanggungjawabnya, sebagai umat mayoritas. Ingat, menjadi (pemimpin dari umat) mayoritas itu berat loh, karena harus dapat berlaku adil terhadap semua orang, termasuk umat minoritas.
Gimana? Sederhana 'kan?
Iya, memang sederhana. Tapi juga berat. Sungguh berat. Pertanggungjawabannya pun dunia akhirat.
Iya, memang sederhana. Tapi juga berat. Sungguh berat. Pertanggungjawabannya pun dunia akhirat.
P.S : Jadi tolong bagi umat Islam di Indonesia yang masih kerap merasa paling berhak menjadi pemimpin di Indonesia, mulai sekarang jangan lagi memandang bahwa menjadi pemimpin pemerintahan itu adalah HAK kalian. Ingat, kalian itu umat mayoritas loh. Masa' masih mau ngemis-ngemis hak. Malu dong. Justru sebaliknya, pahamilah itu sebagai TANGGUNGJAWAB, yang harus kalian laksanakan dengan sebaik-baiknya. Agar kalian tak perlu lagi membebani orang lain untuk memimpin kalian yang banyak itu. Kasihan.
Tabik
Jogja, 3 Desember 2016