Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ternyata semakin mempertegas kecenderungan orang Indonesia. Jika dulu kecenderungan tersebut hanya tersembunyi di balik tirai kehidupan yang tradisional dan terbatas, modernitas telah mengubahnya menjadi semakin terbuka, frontal, dan bebas.
Hal itu akan dengan mudah kita temukan di media sosial, grup obrolan, dan berbagai situsweb. Ketiga media tersebut benar-benar banyak mengubah kebiasaan dan pola pikir, pola laku, dan pola rasa orang Indonesia. Hal-hal yang dulu tabu dan privat, kini bisa dengan mudah mencuat ke publik. Sebaliknya, hal-hal yang dulu dianggap lazim, kini kerapkali ditentang habis-habisan oleh kebanyakan orang.
Sekurang-kurangnya ada 4 kecenderungan orang Indonesia yang semakin terlihat di era 'dunia dalam genggaman' ini. Di antaranya adalah semakin gampang terbawa perasaan atau yang lebih populer dengan sebutan 'baper', semakin senang bercanda, semakin gemar mem-bully, dan mudah terpengaruh tanpa penyaringan dan pelibatan akal sehat.
1. Orang Indonesia di Masa Kini Jadi Gampang Terbawa Perasaan
Sejak dulu orang Indonesia memang dikenal lebih banyak melibatkan rasa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun hal tersebut menjadikan mereka semakin bijak, halus, dan tak banyak bicara. Seperti misalnya mereka lebih lembut terhadap alam sekitar dan makhluk-makhluk tak kasat mata yang juga hidup di sekitarnya. Melibatkan perasaan dalam setiap aktivitas kehidupan memang penting untuk dilakukan, tetapi perlu disadari jangan sampai kemudian pelibatan perasaan menjadi lebih dominan ketimbang pikiran.
Seperti yang terjadi sekarang ini. Pelibatan perasaan semakin mendominasi kehidupan orang Indonesia. Mereka bukan lagi sekadar melibatkan perasaan, tapi sudah sampai pada taraf terbawa perasaan. Terhanyut. Terbawa arus. Artinya, yang bersangkutan sudah tiada lagi punya kuasa untuk mengatur perasaannya sendiri. Karena perasaannya terus-menerus dikontrol oleh keadaan di luar dirinya, yakni oleh media sosial, artikel di internet, dan meme-meme.
Tak ada jalan lain ketika seseorang sudah terbawa perasaan, maka segala yang dirasa harus diungkapkan. Itulah yang menjadikan mereka semakin liar, kasar, dan frontal. Hal itu bisa kita temukan dengan mudah pada tiga jenis media yang saya sebutkan di muka.
Media sosial seperti Facebook yang oleh Zuckerberg dikehendaki menjadi ruang untuk mengungkapkan pikiran si empunya akun, masih sering digunakan sekadar untuk mengungkapkan perasaan.
Situsweb-situsweb besar yang seharusnya bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan, sampai kini justru banyak yang hanya menyajikan konten-konten baper.
Instagram yang seharusnya menjadi media berbagi foto-foto istimewa dengan keterangan seperlunya, justru digunakan untuk menyebarkan meme-meme yang menjurus ke arah sex bebas, sentimen SARA, dan lain sebagainya.
Dulu pertanyaan 'kapan nikah?' tak pernah dipermasalahkan. Namun kini, pertanyaan tersebut telah berubah menjadi sesuatu hal yang tabu untuk dipertanyakan.
Dulu status ‘lajang’ atau ‘jomblo’ juga tidak terlalu dipermasalahkan. Begitu juga dengan status ‘mantan’. Namun sekarang, kata-kata tersebut terasa begitu sensitif dan menyeramkan.
Dampak terburuk dari kecenderungan ini akan bisa dibaca pada poin empat.
Kecenderungan orang Indonesia memang senang bercanda. Humor telah menjadi bagian dari kehidupan kesehariannya. Sebagai bukti tengoklah misalnya adanya Mop Papua, Opera, pagelaran Wayang, dan Ludruk, yang kesemuanya sarat dengan humor dan lelucon. Bahkan ceramah agama pun tak luput dari selipan humor.
Dan kini gairah terhadap humor telah semakin terfasilitasi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hasilnya, barangkali Anda sudah melihatnya sendiri. Berapa jumlah kiriman meme-meme, cerita, dan gambar lucu yang Anda terima saban hari?
Coba periksalah kembali meme-meme, gambar-gambar, dan cerita-cerita itu. Maka Anda akan menemukan fakta bahwa kebanyakan humor-homor tersebut hanya merupakan bentuk lain dari ungkapan perasaan. Bukan humor hasil dari ungkapan pemikiran.
Kecenderungan untuk terlalu banyak melibatkan perasaan dan terlalu suka bercanda, pada akhirnya dapat melahirkan kecenderungan baru. Yakni mulai gampang mem-bully. Celakanya, bully-an tersebut biasanya dimaksudkan untuk lelucon atau candaan.
Maka jangan heran jika kemudian seorang anak kecil yang kepleset lidah ketika berbicara dengan presiden pun akhirnya jadi bulan-bulanan orang Indonesia di media sosial. Dianggapnya itu suatu hal yang lucu.
Maka jangan heran jika kini status ‘jomblo’ menjadi selayak aib yang sangat memalukan.
Maka jangan heran jika kemudian kicauan seorang mantan presiden menjadi bulan-bulanan netizen.
Sekilas perbuatan ini, yakni mem-bully dengan dalih melucu, memang terkesan mengasyikkan. Namun percayalah, lama-lama itu akan mengikis empati, rasa hormat, dan norma yang seharusnya Anda junjung tinggi.
4. Orang Indonesia di Masa Kini Jadi Semakin Gampang Terpengaruh dan Diprovokasi
Gampang diprovokasi/ Ilustrasi via Linkedin |
Kemudahan yang diberikan oleh produk-produk kemajuan teknologi telah membuat kita menjadi mudah menyukai, mengomentari, dan membagikan sesuatu dari orang lain kepada orang lainnya lagi. Artinya, peluang keterpengaruhan kita terhadap apa yang dibagikan orang lain menjadi semakin besar.
Semakin hari kita dihadapkan pada hal yang sama dan berlimpah, maka tak pelak kita akan terus-menerus terpengaruh dengan berbagai hal yang muncul di media sosial. Hingga akhirnya tertanam di alam bawah sadar. Maka tak perlu heran jika kemudian isu Pilgub DKI Jakarta benar-benar berhasil menyedot perhatian dan energi sebagian besar rakyat Indonesia. Ketahuilah, itu semua karena keterpengaruhan. Karena orang Indonesia di masa kini semakin gampang terpengaruh dan diprovokasi.
Dan yang selanjutnya terjadi adalah : kita jadi kurang bisa berpikir jernih dalam menyikapi sesuatu, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Karena segala hal sudah telanjur dibaperin, dianggap lucu, dan jadi bahan bully-an!