Di tangannya, kebaikan selalu berkembang biak. Seperti petani, orang baik selalu pandai menyemai benih-benih kebaikan dan merawatnya hingga tumbuh besar serta berbuah. Tetapi ia tidak pernah menikmati hasil dari apa yang ditanamnya itu seorang diri. Melainkan dibagi-bagikan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Sebab ia selalu sadar, tangannya ibarat tanah hibah bagi semesta.
Di pikirannya, setiap prasangka tak seberbahaya belati dalam genggaman seorang penjahat yang gelap hati. Seperti empu, orang baik selalu menempa pikirannya hingga menjelma pusaka keramat, yang selalu menjadi penyelamat dalam situasi darurat.
Orang baik tidak pernah mengatakan agamanya apa dan tuhannya siapa. Karena ia lebih sibuk mengatakan, "Maaf, hanya ini yang bisa saya lakukan."
Orang baik tidak pernah menunjukkan kebaikannya. Sebaliknya, ia memendam dalam-dalam, menutup rapat-rapat.
Di bibirnya, kata-kata selalu beranak pinak dan tumbuh menjadi pohon yang rindang dan berbuah lebat. Orang baik membuatmu tak bisa beranjak pergi begitu saja sebelum kau mendapatkan petuah dan pelajaran darinya.
Di hatinya, kedengkian tak pernah ada. Sebab baginya, kebaikan bagi orang adalah kebaikan untuknya.
Orang baik tak pernah bertanya hidupnya untuk apa dan siapa serta ke mana arah jalannya. Ia hanya sibuk melakukan sesuatu yang berguna, apa pun dan untuk siapa pun. Yang akhirnya membuat ia selalu ditanya,
"Mengapa ia melakukan itu semua?".
Dan tentu, orang baik tidak akan mampu dan mau menjawab itu. Maka jangan kaulontarkan pertanyaan itu kepadanya.
(Darul Azis, 2017)
Ilustrasi: (Dr. Cialtron/Flickr)