Kemarin, saya melakukan wawancara mendalam-empat-mata kepada seorang yang, untuk "ukuran" di Indonesia, bisa dibilang sudah telat menikah. Usianya kini sudah 35 tahun. Dia seorang laki-laki.
Seperti lazimnya orang-orang sekarang, lebaran merupakan momen yang menyiksa baginya.
Pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan menjadi momok yang menghantuinya ketika bertemu tetangga. Ya meskipun ia pun sadar, pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya hanyalah sebentuk basa-basi semata.
Awalnya saya juga mengira sensitivitas orang-orang zaman sekarang terhadap pertanyaan kapan nikah disebabkan karena terlalu (gampang) baper. Karena selama ini saya menganggap, itu pertanyaan yang normal, takserius, dan ya cuma sebagai pelengkap obrolan saja.
Namun setelah melakukan wawancara dengannya, saya jadi berpikiran lain.
Mereka yang terganggu dengan pertanyaan seputar pernikahan bukan berarti terlalu (gampang) baper, melainkan ada kesadaran lain yang muncul dari dalam diri mereka. Mungkin ini merupakan hasil dari kemajuan zaman atau kemajuan berpikir manusia.
Jadi begini.
Pertanyaan kapan nikah itu sebenarnya tidak akan menjadi buruk apabila disampaikan secara pribadi. Tidak disampaikan secara terbuka, di tempat ramai orang pula.
Kalau pertanyaan disampaikan secara pribadi, maka yang mungkin kemudian muncul ialah solusi-solusi, rekomendasi, atau curhat dari hati ke hati.
Namun jika pertanyaan tersebut disampaikan di tempat ramai, saat kumpul-kumpul tetangga/keluarga misalnya, maka pertanyaan itu akan menjadi kalimat yang menyayat dan mempermalukan.
Terlebih apabila kemudian orang-orang di tempat tersebut reaktif dan lalu melakukan perundungan (bullying) secara verbal.
Hal ini tidak hanya berlaku pada soal pernikahan semata. Soal beranak, perkembangan fisik, dan soal permasalahan pribadi/keluarga juga berlaku hal serupa, di mana pertanyaan-pertanyaan seputar hal tersebut juga sering terlontar secara terbuka yang berujung perundungan verbal dan gosip.
Dari situ saya kemudian mendapatkan kesimpulan sementara yakni: kuasa atau keputusan untuk menikah, memiliki anak, dan perkembangan fisik pada masa sekarang ini sudah tidak lagi dianggap sebagai urusan publik. Tidak seperti dulu lagi.
Sekarang, ia sudah dianggap sebagai urusan privat yang tidak seorang pun boleh mengusiknya. Itulah mengapa pertanyaan soal "Udah nikah belum?", "Kapan nikah?", "Kapan nyusul?", "Udah punya anak belum?", "Gandengannya mana?" menjadi sangat mengganggu.
Kondisi tersebut memang membuat interaksi semakin "tidak asyik". Tapi saya kira, sebagai bangsa yang komunikatif kita masih punya banyak sekali stok kata, kalimat, topik, dan obrolan yang lebih netral dan aman untuk digunakan dalam obrolan di tempat ramai.
Mari kita pikirkan!
Lampung, 19 Juni 2018