Resensi Buku Baju Bulan - Jurnal Darul Azis

Resensi Buku Baju Bulan

Resensi Buku Baju Bulan

Gambar Bulan
Ilustrasi: NASA/Bill Anders
Pengorbanan dalam perjalanan menuju Tuhan

Cara membaca puisi tidak dapat disamakan dengan cara membaca tulisan-tulisan lainnya seperti essai, opini, cerpen dan feature. Puisi memiliki kedudukan paling tinggi dalam ranah kepenulisan, sebagaimana dalam ranah keilmuan puisi serupa ilmu filsafat yang menjadi puncak atas segala macam keilmuan. 

Membaca puisi-puisi dengan bahasa sederhana namun sarat makna seringkali menjadi pilihan utama para penikmat puisi, terlebih lagi bagi pembaca awam karena dengan begitu pembaca akan menemui tangga kontemplasi secara teratur. Dengan begitu pembaca akan menemukan jejak-jejak keindahan dan makna secara bertahap tanpa menghilangkan unsur estetik di dalamnya. 

Demikianlah ketika kita membaca puisi-puisi Joko Pinurbo (Jokpin), seolah dihadapkan pada hidangan sederhana yang sarat nutrisi dan vitamin di pagi hari. Gaya puisi familismenya menarik perhatian kita untuk membuka mata pada realita kehidupan sehari-hari melalui sudut pandang estetik dan kreatifnya.

Dalam buku Baju Bulan (Gramedia, 2013) Jokpin mempersembahkan 60 puisi pilihan yang ia tulis dari tahun 1991 – 2012. Sebagai hidangan pembuka, pembaca harus siap terseret arus reflektif  sebagai simbol puncak kesepian dalam puisi berjudul “Di Kulkas; namamu “.  Aku lirik benar-benar terpenjara oleh kesepian tersebab tak bisa meninggalkan kenangan yang justru melekat dimana-mana. Terpenjaranya aku lirik dalam kenangan yang tak juga lenyap bukan semata-mata karena kenangan itu indah, melainkan kenangan pahit yang ia jalani dan saksikan bersama orang yang dicintainya begitu lekat. Seperti tersirat dalam bait ke tiga “Di kulkas masih ada, sisa-sisa sakitmu, membekas pada daging-daging layu”. Puisi pembuka ini seolah menjawab kekeliruan kita dalam menyikapi kenangan selama ini, bagi kebanyakan orang kenangan yang dianggap tak terlupakan tak lain adalah kenangan yang indah, dengan puisi ini pembaca akan terbelalak bahwa sebenarnya kenangan pahit justru lebih indah untuk dikenang sebagai wujud betapa kuatnya cinta.

Selain bersahaja dengan kesederhanaan dan familismenya, puisi-puisi dalam buku ini juga sarat dengan nilai humor, religi dan cinta yang kontemplatif. Pembaca akan menemukan jawaban tak terduga dan kocak, seperti dalam puisi “Atau”, Jokpin mengolah kecerdasannya demi menghadirkan misteri dan guyonan kocak, ia juga seolah “sengaja” menimbulkan kesan kelebihan laki-laki dalam mengolah akal dan pikiran dalam menghadapi wanita.

“Pilih perkosa atau nyawa?’’ ia mengancam. Saya panik, saya jawab sembarangan, “Saya pilih atau !”  

Di tengah perjalanan apresiasi buku puisi ini, tibalah saaatnya pembaca menemukan jembatan atas keseluruhan puisi-puisi yang termuat dalam buku ini. Potret nyata keterasingan orang-orang lemah tertuang dalam puisi ini secara gamblang, menyindir keangkuhan manusia yang giat berlomba semata-mata hanya demi bersenang-senang, berpesta pora. 

Pada akhirnya, orang-orang yang terasing itu saling mengadukan keluh kesah, saling membantu dengan penuh kasih sayang. Disinilah nilai-nilai pengorbanan dan keikhlasan disampaikan di zaman yang serba modern ini, sampai pada puncaknya keikhlasan tersebut segera mengembalikan jiwa yang lemah itu pada Tuhan, pencipta semesta alam.


Please write your comments