[Kisah Masa Kecil] Gak Boleh Ikut Sekolah - Jurnal Darul Azis

[Kisah Masa Kecil] Gak Boleh Ikut Sekolah

[Kisah Masa Kecil] Gak Boleh Ikut Sekolah



Ilustrasi/Ini Topi SD
Sekolah itu menyenangkan, bisa bermain dengan banyak teman, bisa belajar baca tulis bareng-bareng, berpakaian bagus, rapi, dan bersih, dan tentunya bisa dapat sangu dari emak. Itulah yang ada dalam pikiran saya dulu, ketika masih berumur 4 tahun. Hal itu kemudian membuat saya kebelet pengen sekolah walau syarat usia masih belum memadai untuk masuk sekolah SD. Untuk diketahui, ketika itu di kampung saya tidak ada TK, apalagi Play Group. Sekira tahun 2010-an, baru ada TK. Itu pun tempatnya numpang di SD.


Kalau sekarang kebelet apa, nikah?
Karena hasrat untuk sekolah tak bisa dibendung lagi, akhirnya dengan bermodalkan restu dari orang tua dan baju bekas dari abang, saya pun nekad ikut sekolah. Tanpa pake daftar dulu ke pihak sekolah, juga kepada guru kelas. (Bayangkan, sekecil itu saya sudah melakukan tindak asusila).

Sebagaimana siswa yang lain, saya berusaha tampil seelegan mungkin. Saya mengenakan seragam lengkap : celana merah, baju putih, dasi, topi, sepatu, dan kaos kaki. Saya juga membawa sebuah buku tulis dan potelot (pensil). Soal orotan, bisa minjem lah ya. 

Setelah ikut baris di depan kelas -siap grap-lencang depan grap-tegap grap-,  saya pun ikut masuk kelas (aksennya memang begitu dulu, bukan grak). Kebetulan waktu itu saya sudah punya kenalan anak dalam, Suhar namanya. Dialah yang menemani saya selama di kelas, mengenalkan saya pada teman-teman yang lain, dan saya pun duduk sebangku dengannya. Beneran sebangku loh, bukan semeja. Karena dulu saat belajar kami adalah meja dan bangku panjang yang untuk tiga anak. Bangku-bangku tersebut kemudian sering kali berubah fungsi menjadi meja belajar tatkala meja kami mulai rusak dan sudah tidak enak dipakai untuk nulis karena goyang-goyang. Kami pun menulis sambil jongkok. Dan itu sesuatu sekali.

Aktivitas belajar hari itu dimulai dengan doa dan ucapan selamat pagi bu guru secara bersama-sama. Waktu itu, wali kelas satu diampu oleh seorang guru cantik, muda, tapi agak galak, Bu Kopiyati. Saya dulu tidak kepikiran kalau aksi saya jadi penyelundup bakalan diendus oleh bu guru. Pokoknya yang penting sekolah aja. Yang penting masuk aja. Karena itu jualah, saya juga tidak paham apa konsekuensi yang harus diterima oleh seorang penyelundup kecil macam saya.

Seperti biasa setelah berdoa dan berucap salam, kami diabsen. Semua murid dipangil satu-satu untuk kemudian tunjuk tangan. Kala itu, karena merasa sebagai salah satu murid sah di kelas satu, dalam hati saya pun berharap agar dipanggil juga seperti yang lain. Sudah totalitas gitu masa’ nggak dipanggil, kan ya rugi. 

Namun apa daya, sampai semua murid sudah tunjuk tangan, saya tak jua dipanggil oleh bu guru. Tapi ya sudahlah, yang penting bisa ikut sekolah, saya menghibur diri. Saya mencoba ikhlas walau tidak hanya menjadi murid yang tak dianggap.

Prosesi ngabsen-tunjuk tangan pun usai dan sepertinya akan dilanjutkan dengan belajar seperti biasanya. Saya perhatikan ibu guru cantik itu dengan penuh antusias. Namun, karena mungkin sadar dengan keberadaan dan perhatian saya yang sebegitu bergairahnya, beliau pun mulai memperhatikan saya. Semakin lama tatapannya semakin tajam, dengan sedikit mengerling serta dahi berkernyit.

“Siapa kamu?” Tanyanya penuh dengan ketegasan.
Waduh.. seketika jantung saya serasa mau copot. Guru-guru zaman dulu rata-rata memang galak. Maklum, dulu gak maen HAM-HAM-an kayak sekarang. Belum sempat saya menjawab, sebagian murid yang mengenal saya langsung menjawa.
“Azis buuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuk!” jawabnya khas ala murid waktu itu. Bareng-bareng lagi. Macam kor saja.
“Siapa yang nyuruh kamu masuk sini?” Mendengar pertanyaan yang begitu sadis itu, saya pun keder. Mulut saya bungkam, tak bisa memberikan jawaban apa-apa.
Mungkin karena melihat wajah saya yang mulai pucat, Suhar pun membantu menjawab.
“Dia pengen ikut sekolah buk.”
“Nggak boleh. Kalau mau sekolah daftar dulu. Sekarang keluar!” Hardiknya.
Tanpa membantah lagi, saya pun langsung klithah-klithih keluar. Tidak ada sorakan dari teman-teman kala itu. Mungkin mereka merasa iba, terharu, atau takut untuk sekadar bersorak. Aksi penyelundupan saya hari itu gagal gal. Sebagai seorang anak yang lagi pengen-pengennya sekolah, tentu saja saya sangat kecewa, sebal, dan dongkol. 
Sejak hari itu, Bu Kopiyati jadi semakin hapal dengan wajah saya yang melas ini. Ketika kami berpapasan di jalanan kampung, beliau selalu terseyum dan menegur saya. Begitu saya resmi masuk sekolah pun, sikapnya semakin bersahabat,  walau selama sekolah saya tidak pernah diajar oleh beliau.

Nah, bagaimana dengan kisah masa kecilmu? Yuk berbagi di sini.

Catatan : Tag kisah masa kecil ini secara rutin akan saya posting setiap hari Senin. Doakan agar saya senantiasa istiqamah di jalan ini.  Nantikan ya. Hehe
Please write your comments