Romantisme Keluarga Kopitarian dan Sebuah Pengakuan - Jurnal Darul Azis

Romantisme Keluarga Kopitarian dan Sebuah Pengakuan

Romantisme Keluarga Kopitarian dan Sebuah Pengakuan




Kopitarian, saya menyebut diri saya demikian, sebagaimana para pengonsumi sayur yang menyebut dirinya sebagai vegetarian. 

Terlahir di tengah-tengah keluarga ahlus-sruput wal ududiyah bagi saya merupakan takdir paling puitik dari Tuhan. Betapa tidak, kopi dan tembakau telah menyeret kami pada romantisme hari-hari yg indah mulai dari pagi saat kami hendak memulai aktivitas, siang ketika kami beristirahat dan leyeh-leyeh sambil mendengarkan radio, dan malam hari ketika kami bercengkrama dengan para tetangga teparo. (Dalam postingan ini saya lebih banyak bicara soal kopi, tembakaunya nanti-nanti saja).

Kebiasaan minum kopi tiga kali sehari itu, agaknya menjadi perayaan rutin atas hari-hari kami. Hari-hari kami boleh dikata : dimulai dengan kopi, diselipi dengan kopi, dan diakhiri dengan kopi. Kebiasaan itu pula yang pada akhirnya menyeret mereka yang mulanya kagak ngopi, menjadi ketagihan kopi. Salah satu contohnya tentu kakak-kakak ipar saya. Ada yang jadi mumet kalau belum ngopi. Ada yang sudah merasa sarapan kalau sudah ngopi. Ada yang merasa sangat semangat bekerja ketika sudah minum kopi. Dan ada yang merasa sudah melek benar kalau sudah ngopi. Pendeknya, kopi adalah kehidupan kami. 

Bertahun-tahun hal itu berjalan. Hingga pada akhirnya, siklus waktulah yang memberi jawaban. Satu tahun terakhir, nyaris tak ada prosesi pembuatan kopi di rumah saya. Kakak ipar sulung saya terkena maag, kakak ipar dari ayuk saya yang nomor 4 pun demikian. Ibu saya terkena penyakit serupa, sementara bapak saya dan kakak saya yang satunya lagi, sebagai bentuk solidaritas, kini tak lagi ngopi, kecuali sesekali saja untuk menemani saya. 

Kendati demikian, kopi tetap tersedia di dapur, hanya saja peruntukannya yang beda, yakni untuk para tamu---mereka ngopi atau tidak itu perkara lain, yang penting dibikinin dulu. Dari sini, saya mulai berani menyimpulkan kalau sebenarnya keluarga kami adalah penyebar faham kopisme. Haha 

Kini tinggal saya, kopitarian yang masih bertahan dalan sejarah perkopian bani Mukahar. Kemarin, saya merasa mumet tak terkira, saya ingat kalau hari itu saya memang belum ngopi. Maka saya pun segera meracik kopi kiriman orangtua dari rumah. Ketika kopi sudah siap, dengan asap mengepul di atas gelas, saya hiruplah aroma kopi itu berkali-kali, dengan penuh penghayatan --mirip orang ngelem, ngganja, dsb.

Sebenarnya, itu hanyalah eksperimen ngawur dan sugestif saja, namun toh pada kenyataannya sembuh juga rasa mumet yang melanda kepala saya. Selain itu, hati juga makin adem. Kayak pas ngliat kamu. Ehemmmmmm.

Pikiran pun jadi semakin woles dan jernih. Dan yang lebih penting lagi, aktivitas saya tidak jadi terhambat ataupun terbengkalai.

Kamu boleh percaya boleh juga tidak dengan cerita saya di atas. Sebab cerita saya memang justru terkesan semacam upaya terselubung untuk menyebarkan faham kopisme di Indonesia. Tapi tunggu dulu, bukankah dalam cerita ini saya juga cukup jujur mengakui bahaya mengonsumsi kopi secara berlebihan?


Please write your comments