Cerita Dari Puncak Pegunungan Batara Sriten - Jurnal Darul Azis

Cerita Dari Puncak Pegunungan Batara Sriten

Cerita Dari Puncak Pegunungan Batara Sriten

Embung Batara Sriten di Dukuh Sriten, Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul

Kawasan embung ini, menurut saya, sebenarnya lebih mirip seperti vila pribadi dengan hiasan kolam renang dan pemandangan alam dari puncak ketinggian bukit di Gunungkidul. Hamparan alam Jogja dan Klaten tampak jelas dari bukit berketinggian 850-an meter di atas permukaan laut ini.
Jalan bebatuan bergelombang, naik-turun, dan berliku-liku sepanjang kurang lebih empat kilometer akhirnya berhasil kami lalui dengan hati lega. Kini sebuah bak raksasa tempat penampungan air sudah tertangkap mata, meski kami masih berada di jarak kisaran 100 meter lagi. 
Saat beban harus dikurangi
Akses jalan menuju Embung Batara Sriten

Sebelumnya, di penghujung jalan mendekati lokasi, Tetra Falensia sempat saya minta untuk turun dari motor. Pasalnya bebatuan yang terpasang di jalan sudah sangat keterlaluan, batu-batu itu menyembul hingga membentuk gelombang jalan yang aduhai, membuat goncanganya benar-benar sangat terasa di badan. Kami mengendarai motor matic, jadi keruan saja goncangannya terasa lebih kencang dibandingkan dengan motor biasa karena ukuran bannya yang lebih kecil. Saat itu sebenarnya saya hanya merasa was-was dengan ban motor; takut kalau tiba-tiba bocor. Maka demi meminimalisir kemungkinan itu, beban terpaksa harus dikurangi meski jarak hanya tinggal 100 meter lagi.

Saat kami tiba di puncak pegunungan Batara Agung Utara yang berada di Padukuhan Sriten, Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar Gunungkidul Kamis (21/04) lalu, suasananya di kawasan ini masih cukup lengang. Hanya ada beberapa pengunjung muda-mudi yang tampak duduk-duduk di gazebo seraya mengambil gambar. Saya melihat jarum jam di tangan, menunjukkan pukul 14. 35 WIB. Sinar matahari masih terik kala itu, namun tidak panas. Barangkali karena banyaknya pepohonan di puncak bukit dan lembah itulah yang membuat hawa menjadi adem.

Mendapati suasana seperti itu maka setelah memarkirkan motor, kami langsung ndoprok di tepi embung buatan berbentuk biji kacang panjang itu, sambil kemudian membasahi tenggorokan dengan bekal air minum yang kami bawa. Di atas embung, terlihat banyak sekali burung-burung dan capung yang beterbangan. Sesekali mereka tampak berakrobat, menukik di permukaan air lalu terbang lagi dan menyisakan lingkaran gelombang kecil yang lama-kelamaan tampak membesar dan saling bertabrakan satu sama lain. 

Tak cuma itu, suara gareng juga turut menghiasi suasana danau yang tenang ini. Kawasan embung ini, menurut saya, sebenarnya lebih mirip seperti vila pribadi dengan hiasan kolam renang dan pemandangan alam dari puncak ketinggian bukit di Gunungkidul. Hamparan alam Jogja dan Klaten tampak jelas dari bukit berketinggian 850-an meter di atas permukaan laut ini.

Embung Batara Sriten, demikian embung ini dinamakan, tidak seperti embung kebanyakan yang berlapiskan semen. Embung ini hanya berlapiskan semacam karet dengan airnya yang berwarna biru kehijauan. Kondisi sekitar embung yang bersih, semakin menambah kesan asri dan indah bagi setiap pengunjungnya. Saya awalnya mengira, embung ini merupakan kawasan peribadatan Hindu karena namanya yang identik dengan nama Dewa dalam agama Hindu. Namun ternyata nama Batara hanya merupakan singkatan dari pegunungan Batara Agung Utara. Sedangkan nama Sriten diambil dari nama dukuh tempat embung ini dibangun. Nama yang cukup indah, menurut saya.

Bersama Malkist Cracker Roma, perjalanan jadi semakin menyenangkan/Tetra F
Setelah merasa cukup melepaskan penat, kami kemudian berjalan mengelilingi embung (Saya langsung membayangkan bisa jogging di sini setiap pagi, ah pasti menyenangkan sekali. Terlebih lagi jika ditambah dengan baluran kabut dan kemudian sinar mentari pagi. Duh, serasa tinggal di kahyangan agaknya). Di sebelah tenggara, kami melihat ada sebuah warung makan kecil yang menjual makanan berat dan ringan dengan sebuah gazebo dari kayu berdesaign modern-minimalis di depannya. Kami menuju ke sana, lalu memesan es teh. Di sebuah gazebo berukuran 2 x 2 meter inilah kami memutuskan untuk kembali duduk-duduk di gazebo tersebut sambil menikmati pemandangan lembah hutan Sriten.


Sebuah bendera merah putih tampak terpancang di tepi bukit dan menjadi objek foto beberapa pengunjung yang datang kemudian. Sementara kami menikmati kesegaran es teh di gelas masing-masing, tampak ada beberapa tambahan pengunjung lagi. Namun tidak banyak. Jika ditotal, pengunjung embun sore tak lebih dari 20 orang.

Merasa masih belum puas menikmati keindahan hanya dari sisi embung, kami pun kemudian menaiki sebuah tangga dan berjalan ke arah Timur Laut, menuju sebuah puncak yang lazim disebut Puncak Magir. Di puncak inilah kami dapat melihat pemandangan hamparan alam Kota Klaten, Rawa Jombor, Waduk Gajah Mungkur, Gunung Merapi  dan Prambanan. Meski tidak begitu jelas karena terhalang kabut, namun pemandangan dari puncak bukit ini tetap memukau batin saya.
 
Pemandangan dari puncak Magir
Di puncak ini juga terdapat sebuah makam petilasan seorang tokoh yang konon masih kerabat keraton. Pada pusara makam, saya melihat tertulis nama Syeikh Wali Jati dalam dua tulisan. Di sisi kiri aksara Jawa dan di sisi kanan tulisan Arab. Saya menyempatkan diri untuk berkirim ‘sesuatu’ untuk penghuni kubur tersebut sebagai sebuah bentuk penghormatan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat setempat, Syeikh Wali Jati dulunya pernah bertapa di puncak bukit ini hingga kemudian moksa. Karena itulah muncul inisiatif untuk membuat sebuah makam di sini.
Makam Syeikh Wali Jati di Puncak Magir Pengunungan Batara Agung Utara Sriten

Hari mulai beranjak sore, kami turun dari puncak bukit. Tapi begitu melihat sebuah pohon akasia besar, rindang, dengan batangnya yang menjuntai rendah ke samping, Tetra merengek ingin memanjat pohon tersebut. Bukan hanya karena naluri masa kecilnya yang sering pethakilan muncul, namun kenekatannya juga didorong oleh keinginannya untuk membuat sebuah tulisan selamat ulang tahun buat Ibu dan Mbaknya, juga daerah asalnya yang jatuh pada akhir bulan April ini. Saya mengizinkannya, karena toh tidak terlalu berbahaya dan gampang dipanjat. Setelah itu, saya berperan sebagai juru potret yang baik dan benar untuknya.


Sesi pengambilan gambar ucapan selamat ulang tahun selesai, kami kemudian turun menuju sebuah Joglo tunggal berukuran cukup besar yang berada tak jauh dari pohon akasia berada. Dari Joglo ini, kita dapat melihat embung dengan lebih jelas tanpa terhalang apa pun. Oh iya, di sini Anda juga bisa menemukan kamar mandi lengkap dengan kakusnya. Jadi, Anda tak perlu khawatir kalau-kalau panggilan alam tiba-tiba datang menghampiri. 
Sebuah Joglo tampak gagah berdiri menghadap embung

Saya mencari-cari mushola, namun tidak ada. Bilik yang menjadi satu dengan Joglo tersebut tampak terkunci, walhasil ritual ashar pun saya lakukan apa adanya. Untunglah, lantai Joglo terbilang bersih dan tersedia sebuah pel-pelan yang bisa saya gunakan untuk membersihkan ulang lantai demi membuat diri semakin yakin kalau tempat tersebut sudah bisa digunakan untuk sembahyang.
Embung Batar Sriten tampak dari Joglo

Embung Batara Sriten tampak dari sisi utara
Sementara itu, hari beranjak semakin sore. Baterai hape pintar pun hanya tinggal beberapa persen lagi. Maka segera kami gunakan kesempatan mepet tersebut untuk memotret Joglo yang gagah berdiri menghadap embung dan lembah bukit Batara Agung. Setelahnya kami duduk di tepi embung sambil menikmati suasana sore di puncak ketinggian Gunungkidul ini, membicarakan banyak hal tentang Jogja, daya pikatnya, serta kenangan-kenangan yang selalu melekat dalam dirinya.

Hingga kami sampai pada sebuah pertanyaan, mengapa Jogja begitu sulit untuk dilupakan atau ditinggalkan begitu saja?

Please write your comments