Rahasia Menjadi Pribadi Yang Maju/Ilustrasi |
Semalam saya dan 3 rekan mahasiswa berdiskusi dengan cukup hangat, karena membawa topik kebiasaan, budaya, serta hubungannya dengan nilai ibadah individu dan kolektif. Topik ini muncuat tatkala mereka mengeluhkan tentang kualitas ibadahnya menurun drastis setelah tinggal di hunian baru. Dia mengontrak rumah bersama sekitar 10 orang temannya. Perlu saya ceritakan juga, bahwa di antara kesepuluh orang tersebut dua di antaranya pernah menjalani pola hidup yang teratur, yakni ibadah, aktivitas serta hal-hal lain yang telah menjadi rutinitasnya. Sedangkan rekan saya yang satunya meski belum pernah menjalani pola hidup yang teratur, dia memiliki keinginan kuat untuk menjadikan pola hidupnya lebih baik, dari segi ibadah, aktivitas keseharian, dan berbagai kebiasaan lainnya. Di kontrakan tersebut suasananya dapat dikatakan kurang teratur, terutama orang-orangnya. Beberapa kebiasaan yang belakangan ini disinyalir menjadi penyebab adalah tidak adanya ibadah kolektif seperti mengaji, shalat berjamaah, dan berdiskusi keislaman, padahal semua penghuni kontrakan tersebut adalah muslim. Hal lain yang menjadi tantangan adalah kebiasaan di kontrakan tersebut banyak sekali penghuni yang tidak shalat, bangun kesiangan, pola tidur tidak teratur, begadang sampai larut malam, jarang kuliah, pola hidup kurang bersih dan kebiasaan buruk lainnya. Namun diskusi kami malam itu k memfokuskan pada persoalan ibadah, karena kami melihat itulah penyebab tidak stabilnya kebiasaan di kontrakan tersebut. Dapat dikatakan terdapat adu kekuatan antara usaha untuk menjadi baik (3 orang ) dengan keadaan terlena dengan zona nyaman (7 orang). Tentu ini bukanlah sebuah persaingan yang seimbang jika dilihat dari segi kuantitas, karena telah menyangkut pola kebiasaan sehari-hari dalam sebuah lingkungan. Ibadah, kebanyakan orang menilai sebagai suatu urusan pribadi dan tidak dapat dicampur adukkan dengan urusan kolektif. Sebagai contoh, orang tidak mau melaksanakan shalat, sedangkan dia tinggal bersama orang-orang yang rajin shalat. Banyak anggapan bahwa shalat merupakan urusan individu dengan Tuhannya, dosa dan pahala dengan Tuhannya, orang lain tidak memiliki hak untuk memaksa, mengingatkan dan mengajak dengan sedikit memaksa orang yang tidak mau shalat tersebut. Mengaji, kebanyakan orang beranggapan bahwa mengaji merupakan urusan individu dengan kitab suci dan Tuhannya, sehingga orang lain tidak memiliki hak untuk memaksa, mengingatkan dan mengajak dengan sedikit memaksan orang yang tidak mau mengaji al-qur’an. Apakah sesederhana itu? Tentu saja ini merupakan suatu pemahaman yang salah. Ibadah dalam Islam menjadi urusan bersama tatkala setiap manusia berada dalam suatu lingkungan yang dipenuhi dengan aktivitas ibadah. Kita ambil contoh kontrakan berpenghuni 10 orang tersebut, jika penghuni rumah semua muslim, dan ada sebagian orang berkeinginan untuk menjadi lebih baik, rajin shalat, apakah jika ada diantara penghuni rumah tersebut yang tidak mau shalat akan dibiarkan saja lantaran itu merupakan urusan masing-masing individu? Tentu saja tidak, karena seorang muslim turut bertanggungjawab atas muslim lainnya pula. Mari kita mengingat kembali salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh tetangga terhadap terhadap pelaku zina, Rasullullah menyebutkan setidaknya 40 rumah disekitar pelaku zina turut menanggung dosanya. Ancaman ini dalam konteks perbuatan dosa, jika kita kaitkan dalam konteks melaksanakan kewajiban tentu hal ini sangatlah relevan karena tidak melaksanakan kewajiban sama artinya dengan berbuat dosa. Lalu jika diantara 10 orang tersebut, 3 diantaranya rajin beribadah sedangkan 7 sisanya lalai sama sekali terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, apakah boleh jika dibiarkan saja?Tentu saja tidak, sekali lagi saya ingatkan bahwa sejatinya setiap muslim bertanggungjawab pula atas muslim lainnya. Orang Islam tentu tidak akan rela jika sanak saudaranya (seagama) tersesat, maka dari itulah meski dalam pelaksanaannya banyak menuai tantangan, 3 orang tersebut mempunyai tanggungjawab tiadak henti untuk mengajak dengan sedikt memaksa, mengingatkan kepada 7 orang tadi. Teman dan Kebiasaan Satu hal yang menjadi pertanyaan kami dalam diskusi tersebut adalah ada apa dengan kebiasaan selama ini sampai-sampai kualitas dan intensitas ibadah ketiga orang tersebut menurun? untuk menjawabnya kami kembali mereview keadaan sekitar, yakni teman dan kebiasaan. Di kontrakan tersebut kuantitas ibadah sangat minim karena hanya dilakukan oleh 3 orang, dan kebiasaan di kontrakan tersebut semakin hari memang kurang mendukung. Tidak dapat dipungkiri, kedua hal ini memberikan efek yang sangat besar terhadap ketiga orang tersebut. Bagaimana tidak? Dengan kadar keimanan yang belum seberapa kuat, ketiga teman saya ini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perilaku keseharian ketujuh temannya yang kurang sejalan serta kebiasaan yang kurang baik setiap hari dilakukan oleh ketujuh orang lainnya. Perlahan, ketiga teman saya tadi merasa terpengaruh, turut serta dan menurun kualitas maupun kuantitas ibadah adalah akibatnya seperti subuh kesiangan, tahajud tidak pernah, bahkan shalat semakin jarang, lantunan ayat suci al-qur’an tidak pernah terdengar. Dalam diskusi kami, kami tidak menemukan solusi efektif selain Jihad mengubah kebiasaan di kontrakan tersebut. Jihad tersebut akan diawali dengan diadakannya duduk bersama membahas permasalahan tersebut, menyatukan persepsi untuk menjadi lebih baik (ohya, saya lupa menyebutkan bahwa kesepuluh orang tersebut notabene adalah mahasiswa perantauan sedaerah). Komunikasi seperti ini kami yakini akan menjadi alternatif untuk membangkitkan semangat ketujuh orang tersebut untuk menjadi lebih baik, karena tujuan kamipun baik. Langkah kedua, kami berencana untuk menetapkan peraturan-peraturan sederhana yang turut menjadi daya pendukung terciptanya kebiasaan yang kondusif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, seperti selepas adzan magrib seluruh aktivitas (menghidupkan musik, game, duduk di depan laptop,dll) dihentikan sampai dengan isya. Rencananya, ketiga teman saya ini akan mengisinya dengan melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an di kontrakan tersebut. Hipotesa kami aktivitas tersebut akan menimbulkan efek domino yang akan mempengaruhi alam bawah sadar mereka sehingga secara perlahan mereka akan turut serta melakukan hal yang sama. Langkah tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengubah kebiasaan di kontrakan tersebut. Kebiasaan menghidupkan musik di waktu magrib, main internet tanpa memperdulikan suara adzan perlahan diubah menjadi kebiasaan yang lebih religius. Mengubah kebiasaan ini kami yakini akan menjadikan budaya ibadah secara perlahan akan semakin membaik. Disinilah ada semacam “adu kekuatan” antara kebiasaan baik dan kebiasaan buruk, siapa yang mampu bertahan dialah yang menang. Mengubah kebiasaan berarti telah mengubah perilaku teman. Hal itulah yang mendasari pemikiran kami, kebiasaan yang menjadi budaya mau tak mau akan diikuti oleh manusia yang berada ditengah-tengah kebiasaan dan budaya tersebut. Sebagaimana berlaku dalam lingkungan yang buruk, lingkungan yang baik pun akan membawa pengaruh baik terhadap perilaku individu. Saya kurang setuju dengan adagium bahwa perilaku kita akan dipengaruhi oleh teman kita. karena sebenarnya perilaku kita dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya yang diciptakan oleh teman dan lingkungan. Hal ini berlaku fleksibel terhadap perilaku baik maupun perilaku buruk. Jika individu berada dalam kebiasaan, budaya dan lingkungan yang baik maka kemungkinan untuk menjadi baik pun lebih besar, lain halnya jika individu tersebut berada diantara teman-teman yang perilakunya kurang baik, sementara lingkungan sekitarnya baik kemungkinan untuk terjerumus pun semakin kecil. Penyebab baik buruknya perilaku individu bukan pada dengan siapa bergaul, tetapi bagaiman kondisi kebiasaan, budaya dan lingkungan tempat dia berada. Ketiga hal inilah yang akan membentuk kepribadian individu. | ||
Jogja, 02 November 2013 (AZIS)