Generasi Muda Cinta Buku - Jurnal Darul Azis

Generasi Muda Cinta Buku

Generasi Muda Cinta Buku



                                 

                                                       Oleh : Darul Azis



Pada hari kamis, 26 Juni lalu saya mengunjungi sebuah acara festival buku di bilangan kampus UIN Sunan Kalijaga, tepatnya di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Kedatangan saya tentu murni untuk berburu buku di sana, karena selain dituntut secara akademik, saya juga memiliki hobi yang cukup “mahal” dan prestisius, yakni membaca. Festival buku tersebut memang saya tunggu-tunggu, keterlibatan penerbit-penerbit besar dari berbagai daerah membuat saya yakin akan menemukan buku-buku berkualitas dan meski pada akhirnya dapat membuat saya kebingungan untuk memilihnya, terlepas dari keterbatasan uang yang ada di dompet saya. Beberapa hari sebelumnya saya juga menyempatkan diri untuk berburu buku di Gor Klebengan, karena juga sedang digelar Jogja Muslim Fair 2014.


Layaknya sebuah festival, saya pikir penyelenggaraan acara festival buku ini mendapatkan respon yang sangat tinggi dari berbagai lapisan masyarakat di Jogja, terutama pelajar dan mahasiswa di Jogja. Hal tersebut seharusnya menjadi suatu keniscayaan mengingat predikat Jogja sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya telah disandang sejak dulu dan dikenal seantero negeri. Oleh sebab itu kehadiran buku menurut saya merupakan hal utama dan pertama serta tak terpisahkan dari proses pembentukan insan terpelajar dan berbudaya di Jogja. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ketika mulai memasuki ruang pameran saya melihat betapa rendah minat masyarakat Jogja dalam acara tersebut yang ditandai dengan sepinya pengunjung.

Fenomena ini sangat kontradiktif dengan acara-acara festival komputer, gadget, dan pameran barang-barang elektronik yang meski digelar lebih sering dari acara festival buku tetapi justru tetap mendapatkan respon yang begitu tinggi. Tampak jelas sekali betapa semangat masyarakat Jogja -khususnya pelajar dan mahasiswa- untuk mendatangi acara pameran barang-barang elektronik, rela mengantri tiket untuk masuk meski harus membayar terlebih dahulu dengan uang tak kurang dari lima ribu rupiah per orang. Sebagai contoh untuk acara gadget show awal Juni lalu, jumlah pengunjung mencapai 120-an ribu dengan omset antara 10 hingga 12 miliar rupiah (www.krjogja.com). Sedangkan dalam acara festival buku tersebut, meski sudah didesain sedemikian menarik oleh penyelenggara dan juga tidak ada biaya tiket masuk yang harus dibayarkan justru minim respons. Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan selama lima hari penyelenggaraan acara, pengunjung festival buku tersebut hanya berkisar 2000 orang per hari.[1] Dengan demikian pengunjung festival buku tak lebih dari 20 persen dari jumlah pengunjung pameran barang-barang elektronik (baca : gadget dan komputer) yang mencapai ratusan ribuan itu.  Padahal secara ekonomis pameran buku lebih tidak menguras dompet, hanya bermodal uang puluhan ribu pengunjung sudah dapat membawa segudang ilmu, dari sebuah buku misalnya, karena ternyata diskon dan obral juga selalu mewarnai acara pemeran buku tersebut. Akibatnya, saat ini dengan mudah kita saksikan betapa banyak orang-orang lebih suka bermain gadget atau laptop sampai berjam-jam, dibandingkan membaca buku.

Pantaslah jika UNESCO pada 2012 lalu mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Kita tertinggal jauh dengan negara tetangga, misalnya Malaysia yang sudah mencapai 86,4 persen.[2]Rendahnya minat baca tersebut bisa saja tidak hanya pada buku, melainkan juga pada surat kabar, majalah, artikel di internet dan bacaan penting lainnya. Lantas jika tidak dengan membaca, darimana lagi kita menyerap ilmu pengetahuan yang begitu penting dalam kehidupan kita? Sedangkan pada saat yang sama negara-negara maju di seluruh dunia tengah mempersiapkan generasi emas berpengatahuan luas demi memajukan dan mempertahankan kedaulatan negaranya.

Sebagai generasi penerus bangsa, tidak ada yang lebih penting untuk kita lakukan selain  bersiap diri dengan memperkaya ilmu dan pengetahuan. Untuk itu kita perlu untuk lebih dekat lagi dengan buku-buku pengetahuan, tentu  tetap berada dalam koridor minat, tuntutan akademis dan kesukaan masing-masing individu. Mendekatkan diri dengan buku bisa saja dengan mengunjungi pameran buku –yang biasanya disertai dengan diskon besar-besaran-, mengunjungi perpustakaan daerah, perpustakaan kampus, menghadiri acara bedah buku, mengunjungi rumah atau kos teman yang punya banyak koleksi buku. Cara-cara tersebut meskipun pada awalnya hanya dilakukan dengan tujuan untuk tidak membaca atau membeli buku, lama kelamaan hasrat kita terhadap buku akan timbul secara perlahan karena seringnya berinteraksi dengan buku. Di sini penulis mengadopsi salah satu pepatah dalam budaya Jawa “witing trisna jalaran saka kulina”, dalam bahasa Indonesia berarti “datangnya cinta disebabkan karena biasa”. Maka untuk menimbulkan hasrat atau rasa cinta terhadap buku, maka harus dimulai dengan kebiasaan berinteraksi dengan buku.

Langkah selanjutnya ketika setiap generasi muda sudah akrab dengan buku dapat dilanjutkan dengan mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh komunitas baca, diskusi buku, meresensi buku ataupun menyarikan isi buku dan kemudian dipublikasikan semisal di blog sendiri, di catatan facebook, atau bahkan dikirim ke media massa. Aktivitas tersebut selain dapat membuat diri kita kaya akan pengetahuan juga dapat meningkatkan personal branding kita. Sampai saat ini buku tetaplah menjadi bahan bacaan paling relevan dibandingkan dengan artikel-artikel di internet,  dengan demikian sebaiknya budaya lisan dan budaya mendengar yang selama ini menjadi kebiasaan kita, terutama untuk para generasi muda agar segera mengubah kebiasaan baru menjadi budaya membaca, tiada hari tanpa membaca buku.

Budaya membaca ini tentu nantinya akan merangsang lahirnya pemikiran-pemikiran kritis yang kemudian diekspresikan melalui tulisan dan tindakan langsung. Pada keadaan yang demikianlah kita dapat menyaksikan betapa buku telah menjadi sumber pengetahuan, sumber inspirasi, sumber motivasi, sumber pengaruh dan pembentuk karakter generasi muda Jogja yang berintelektual dan berbudaya. Kemudian kita dapat mewujudkan gerakan Indonesia membaca, Indonesia cerdas dan Indonesia berbudaya melalui buku, semua itu dapat kita mulai dari sini, Jogja. Tempat lahirnya para seniman, budayawan, intelektual, sastrawan, penulis, pemimpin bangsa dan insan berkualitas pembangun bangsa dan negara. Mari kita cintai buku.




[1] Pengunjung per hari berdasarkan bukti retribusi parkir adalah 600 motor, asumsi per motor adalah 2 orang sehingga jumlah pengunjung berkendara motor berjumlah 1200 orang dan ditambah dengan kendaraan mobil, pesepeda dan pejalan kaki sekitar 800 orang. Dengan demikian jumlah pengunjung per hari berkisar 2000 orang dikali waktu 8 hari penyelenggaraan sehingga keseluruhan pengunjung adalah 16.000 pengunjung.
[2] Sumber informasi : Perpusnas Republik Indonesia dilansir oleh Republika Onlie pada Sabtu, 02 November 2013
Please write your comments