Puasa, Pemimpin, dan Politik di Indonesia* - Jurnal Darul Azis

Puasa, Pemimpin, dan Politik di Indonesia*

Puasa, Pemimpin, dan Politik di Indonesia*


Oleh : Darul Azis


Dalam setiap ajaran agama di Indonesia, puasa menjadi serangkaian ibadah yang juga diperintahkan. Dalam agama Islam ada puasa Ramadhan, puasa sunnah Senin Kamis, puasa nabi Daud, puasa Arafah dan puasa-puasa sunnah lainnya. Kristen Katolik mewajibkan puasa bagi pemeluknya pada masa pra-Paskah, begitupun dengan Kristen Protestan. Agama Hindu menganjurkan pemeluknya untuk menjalankan Upawasa yang di dalamnya terdapat Brata, Yoga Tapa dan Semadi. Dalam agama Budha puasa itu disebut Uposatha serta umat Konghucu juga dianjurkan untuk berpuasa sebagaimana termuat dalam kitab Tzong Yong.


Ibadah puasa merupakan ibadah yang secara langsung melatih diri atas hal-hal yang bersifat keduniawian. Di bulan Juli ini, giliran umat Islam untuk menjalankan ibadah Puasa Ramadhan. Menariknya, bulan Ramadhan tahun ini tiba menjelang Pemilihan Presiden 2014. Tentu, teriring pula harapan dari penulis semoga Puasa Ramadhan dapat memberikan efek berarti bagi kehidupan politik di Indonesia.


Hakikat puasa dalam setiap agama memiliki dua tujuan dasar, yakni agar memberikan efek religius dan efek kemanusiaan bagi yang menjalankan. Efek religius pasca menjalankan puasa ini idealnya dapat menjadikan umat manusia senantiasa mengingat dan patuh terhadap perintah Tuhannya. Sedangkan efek kemanusiaan yang dapat timbul adalah tumbuhnya cinta kasih antar sesama, semangat berbagi, suburnya rasa empati dan simpati, dan manusia dilatih untuk tidak menuruti dorongan-dorongan atas kesenangan duniawi dan pola hidup konsumtif serta materialistis


Jika dikaitkan dengan tahun politik 2014, puasa dapat menjadi “benteng” atas potensi keserakahan yang sewaktu-waktu dapat muncul dari benak pejabat publik maupun pejabat politik kita. Pada akhirnya puasa memberikan efek  berupa upaya sadar dan bersungguh-sungguh dalam mengendalikan hawa nafsu agar tidak mengotori kesucian hati dan pikiran, serta diposisikan sebagai faktor penggerak diri agar kehidupan sosial dan politik kita semakin sinergis menuju kebaikan dan keadilan.  Nilai-nilai puasa harus kembali ditegaskan dalam rangka menghadirkan kesadaran spiritual bagi setiap manusia, agar ibadah puasa dapat menjadi momentum dan landasan realitas kemasyarakatan yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Dengan berpuasa kita juga diajarkan untuk menjaga nilai-nilai kejujuran. Saat ini perilaku jujur di negara kita kian terkikis, terutama dalam dunia politik. Maka dengan puasa, kejujuran dapat tumbuh secara perlahan karena pelaksanaannya hanya melibatkan diri sendiri dan Tuhannya. Selain itu puasa juga mengajarkan untuk berlaku sabar, karena dalam setiap ajaran puasa selalu disertai dengan ketentuan-ketentuan yang menyangkut syarat, waktu berbuka dan larangan melakukan hal-hal tertentu selama berpuasa. Maka, mau tidak mau pelaku puasa harus bersabar dalam memenuhi syarat, menaati perintah, dan larangan puasa sampai pada batas waktu yang telah ditetapkan.


Puasa memberikan pemahaman penting bahwa manusia diharuskan untuk menahan sesuatu yang  sebenarnya boleh dilakukan, terlebih lagi untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Hal ini yang akan menjawab atas semakin maraknya perilaku korup yang juga merupakan akibat dari hilangnya rasa sabar manusia untuk hidup berkecukupan, sehingga ditempuhlah jalan pintas. Dengan puasa seyogyanya kita semua, termasuk para pemimpin, wakil rakyat, dan para pejabat negara  mampu mengendalikan diri untuk tidak berperilaku serakah, berdusta, bermewah-mewahan serta memperkaya diri sendiri karena perilaku tersebut seringkali mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan yang saat ini kita junjung sebagai ideologi negara, kemanusiaan yang adil dan beradab. Semoga semangat puasa turut mewarnai perilaku pemimpin dan  perpolitikan di Indonesia.

*Tulisan ini pertama kali terbit di kolom Swara Mahasiswa, Skh. Kedaulatan Rakyat Jogja

Please write your comments