Oleh : Darul Azis
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang APBN-P telah disahkan. Dengan demikian volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari sebelumnya berjumlah 48 juta KL menjadi 46 juta KL. Untuk menjalankan amanah tersebut BPH Migas juga telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta Kl bisa mencukupi sampai akhir tahun 2014. Pembatasan solar dan premium ini efektif berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2014. Dalam surat edaran tersebut BPH Migas meminta waktu penjualan solar bersubsidi di SPBU di Jawa, Sumatera, dan Bali akan dibatasi hanya pukul 08.00 sampai dengan 18.00. Namun karena minim sosialisasi, tak pelak pembatasan kuota BBM bersubsidi membuat masyarakat panik, menyerbu SPBU secara bersamaan. Akibatnya antrian panjang dan kelangkaan terjadi di berbagai wilayah khususnya di pulau Jawa.
Pembatasan kuota BBM bersubsidi ini secara politik memang dapat menyelamatkan citra pemerintah, dibandingkan dengan mencabut atau mengurangi subsidi (baca : menaikkan harga) BBM. Namun secara ekonomi, hal ini pun akan tetap memicu terjadinya inflasi nasional menyusul kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran. Agaknya pemerintah tetap akan menaikkan harga BBM paling lambat awal tahun 2015. Saat ini wacana tersebut masih menjadi tarik ulur antara pemerintahan SBY dengan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi- Jusuf Kalla.
Bagi negara berkembang, mengurangi subsidi BBM tidaklah semudah dan secepat membalikkan telapak tangan. Hal yang sama juga dialami negara berkembang lainnya, ambil contoh Nigeria. Subsidi BBM di negara-negara berkembang menjadi bentuk insentif nyata untuk menggerakkan perekonomian, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Hal paling nyata menyangkut daya beli masyarakat, mahalnya BBM selalu diiringi dengan naiknya harga kebutuhan pokok, tentu ini akan melemahkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Selain itu subsidi BBM juga dapat menggerakkan perekonomian di pedesaan : pertanian dalam arti luas, industri rumah tangga, dan sektor perikanan.
Meskipun demikian, demi penghematan energi untuk masa mendatang, pemerintah juga tetap harus menyusun upaya jangka panjang yang lebih terencana dan dipahami masyarakat luas tentang kebijakan energi. Selama ini pemerintah seolah melupakannya, sehingga seringkali membuat masyarakat kebingungan, panik, dan dihantui oleh kebijakan kenaikan harga BBM. Cetak biru Kebijakan Energi Nasional (KEN) seharusnya menjadi acuan utama pemerintah dalam menetapkan kebijakan energi sampai tahun 2025, untuk mencapai ketahanann energi hingga tahun 2050 agar lebih terarah dan terencana.
Jika selama ini yang menjadi alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah karena terlalu membebani APBN sehingga tidak dapat diarahkan ke sektor lain, bahkan dapat memicu defisit anggaran, maka pemerintah juga harus mau memutar otak untuk melakukan tiga cara yaitu; menambah penerimaan mengurangi belanja, dan memproses pengalihan subsidi. Pemerintah dapat mengoptimalkan pendapatan dari pajak kendaraan, mengurangi belanja pegawai, ataupun mulai memerhatikan secara lebih serius pengolahan energi alternatif. Pun jika alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah karena bertujuan untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil ini, maka masyarakat pun harus mendukung penuh melalui aksi nyata ; beralih ke transportasi masal misalnya. Namun sekali lagi, upaya tersebut tetap memerlukan perencanaan matang dan butuh waktu yang cukup panjang.