Oleh : Darul Azis*
Gelombang reformasi Mei 1998 sedikit banyaknya telah memberi catatan penting terhadap perubahan sistem pertahanan dan keamanan di Indonesia yang pada waktu itu terhimpun dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Transisi kepemimpinan otoritarian menuju kepemimpinan demokratis diikuti perubahan mendasar yang tercermin melalui langkah positif berupa pemisahan TNI dan Polri, April 1999. Diperkuat lagi oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, setelah amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30, semakin memperjelas pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan negara. Tak hanya itu, dengan disahkannya UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, kebijakan strategis Sistem Pertahanan Negara, termasuk pola hubungan dan wewenang Presiden, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI pun juga diatur. Dan terakhir secara lebih spesifik ditetapkan regulasi politik berupa UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Perbedaan dan perubahan mendasar TNI pasca era reformasi memang sangat signifikan, terutama terkait fungsi dan peran TNI. Dulu profesionalisme TNI terkungkung oleh sistem kekuasaan yang menjadikannya hanya sebagai alat politik penguasa. Sehingga waktu itu TNI masuk dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara. Saat ini jati diri TNI yang keempat, -sebagaimana termuat dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004- yaitu profesionalisme TNI, tampak semakin ditegakkan. Profesionalisme ini diarahkan pada terwujudnya cita-cita bahwa negara sebesar Indonesia ini harus memiliki tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi (pasal 2).
Peningkatan profesionalisme TNI memang harus terus ditingkatkan demi terjaganya kedaulatan dan keutuhan NKRI. Sebab secara geopolitik dan geostrategi, Indonesia terletak pada posisi strategis dan cukup menentukan dalam tata pergaulan kawasan maupun dunia. Di tambah lagi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam, membuat Indonesia sangat memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat. Karena pada dasarnya ancaman kedaulatan negara tidak hanya berasal dari luar, melainkan juga dari dalam.
Pertahanan negara dapat dikatakan kuat apabila mampu meredam perpecahan di dalam dan menahan serangan dari luar. Dan ini hanya akan dapat dicapai jika aparat TNI telah memiliki profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan tugas, peran, dan fungsinya terhadap bangsa dan negara. Namun untuk mewujudkan profesionalisme TNI tersebut diperlukan kebijakan pertahanan yang lebih strategis dan komprehensif seperti peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kesejahteraan TNI, merekondisi dan menambah alutsista, penguatan industri pertahanan nasional, dan penambahan anggaran pertahanan.
Selain itu dalam meningkatkan kemampuan pertahanan negara, rakyat juga memiliki peran sebagai kekuatan pendukung. Maka perlu adanya upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertahanan di Indonesia. Partisipasi ini tidak hanya –misalnya- berbentuk pendidikan militer, tetapi juga dapat dilakukan dalam penyusunan perencanaan kebijakan dan strategi pertahanan, pola komunikasi yang baik (dua arah), sehingga tercipta hubungan yang baik (bersahabat) antara TNI dengan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan kehidupan demokrasi yang kondusif, dibutuhkan pula peningkatan kapasitas pasrtisipasi masyarakat untuk turut memikul tanggung jawab peningkatan kemampuan pertahanan bangsa dan negara secara keseluruhan. Agar –sebagaimana disampaikan Presiden SBY dalam acara peringatan HUT TNI kemarin- ke depan TNI dapat semakin ditakuti lawan, disegani kawan, dan dicintai rakyat.
*Pertama kali terbit di kolom Suara Mahasiswa, Harian Jogja