Oleh : Darul Azis
Meningkatnya aksi kekerasan pelajar di DIY akhir-akhir ini benar-benar menjadi ‘tamparan keras’ bagi kita semua betapa sekolah belum mampu membentuk karakter siswa agar memiliki sifat penuh kelembutan, saling menghargai, dan cinta kedamaian. Mirisnya aksi kekerasan pelajar ini sampai menelan korban, seorang pelajar SMK Negeri 1 Seyegan, Sleman, akhirnya meninggal dunia setelah dianiaya oleh 12 anggota geng sekolah hingga koma. Sungguh ironis, inilah kondisi darurat pendidikan di Indonesia, di mana aksi kekerasan siswa telah terjadi di semua level pendidikan formal, yakni pendidikan dasar, menengah, dan atas, baik siswa sebagai korban maupun sebagai pelaku. Padahal seharusnya dengan bersekolah, -menurut Ki Hajar Dewantara- dapat menumbuhkan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), dan pikiran (intellect) anak.
Meskipun sejak tahun 2010 pemerintah telah gencar menyosialisasikan pendidikan karakter di semua tingkatan institusi pendidikan, agaknya upaya tersebut belum mampu menjawab permasalahan kekerasan pelajar. Pendidikan karakter seolah hanya berhenti pada tataran teks dan di kelas ataupun ruang pelatihan. Padahal para pendidik juga telah diwajibkan menjadikan 18 karakter unggulan sebagai acuan dalam mengajar, yang meliputi : religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Balitbang-Kemendikbud, 2010).
Menurut hemat Penulis, pendidikan karakter tidak dapat dipandang sebagai sistem yang terpisah dari persoalan eksternal sekolah seperti kondisi keluarga, masyarakat, ketauladanan, dan persoalan-persoalan umum lainnya. Pandangan ini didasarkan pada teori-teori pendidikan karakter yang dikemukakan para pedagog bahwa konsep pendidikan karakter meliputi metode pembiasaan, keteladanan, nasihat, penanaman rasa ingin tahu, menampilkan perilaku yang luhur dan sebagainya.
Dengan demikian beberapa hal yang juga harus diperbaiki agar dapat menjadi daya dukung sistem pendidikan (karakter) di sekolah adalah pola didik orang tua, ketauladanan para pemimpin, kebijakan dan pelayanan publik, tayangan televisi, sistem pembelajaran yang membosankan, pemadatan kegiatan ekstrakurikuler pengembangan diri, pembinaan komunikasi dan koordinasi antar siswa antar sekolah, pemerataan pembangunan, penegakan hukum, dan permasalahan lain yang tentu saja berpengaruh besar terhadap pendidikan budaya dan pembentukan karakter siswa.
Dengan memerhatikan faktor eksternal di atas, aksi kekerasan terhadap dan oleh siswa akan dapat dikurangi. Apalagi jika didukung oleh keseriusan pemerintah daerah dalam menanamkan nilai-nilai kearifan lokal di sekolah-sekolah, seperti pendalaman budaya, bahasa daerah, dan agama. Hal inilah yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap pembentukan perilaku siswa sehingga revolusi mental bangsa –sebagaimana hendak dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK- dapat diawali dari dunia pendidikan dan tetap berbasis kearifan lokal.
Masalah ini juga relevan jika dikaitkan dengan kongres pendidikan dunia di Bali tahun 2013 lalu. Dalam kongres tersebut terungkap beberapa persoalan dasar pendidikan di Indonesia, yaitu belum sinergisnya pendidikan dengan toleransi, pendidikan dengan keberagaman budaya, serta pemberdayaan perempuan dalam pendidikan. Kemajemukan budaya, agama, dan bahasa di Indonesia, belum menjadi kerangka dasar sistem pembelajaran di sekolah, padahal upaya ini dapat mendorong siswa untuk berkarakter toleran dan cinta damai.