Oleh : Darul Azis
Terlepas dari hiruk pikuk pemilihan presiden yang hanya tinggal menunggu hari, sebaiknya bangsa Indonesia tidak serta merta melupakan perhelatan akbar integrasi ekonomi kawasan yang terangkum dalam ASEAN Vision 2020, karena bagaimanapun juga presiden terpilih kelak akan menahkodai “komitmen” agresif dan tanpa strategi matang tersebut sehingga mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia. Visi ASEAN 2020 telah menyepakati tiga pilar utama yang terdiri atas ; Keamanan politik (Political-Security Community), Ekonomi (Asean economic Community) dan sosial budaya (ASEAN Socio-Culture Community) yang juga dikenal dengan Bali Concord II. AEC dilaksanakan lebih cepat dibandingkan kedua bidang lainnya, yaitu di tahun 2015.
Dalam cetak biru AEC termuat empat pilar utama ; Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-Commerce. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CLMV (Cambodya, Myanmar, Laos dan Vietnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Sejumlah negara telah bermanuver menyusun strategi untuk dapat memenangkan pasar AEC 2015 dan menjadi pemain besar untuk sekitar 600 juta orang yang akan menjadi konsumen produk-produk bebas negara anggota ASEAN. Patut diwaspadai juga, saat ini Myanmar telah membuka diri terhadap investasi asing dengan didukung oleh China, begitu juga dengan Thailand yang mulai membuka fasilitas produksi untuk negara-negara produsen seperti China. Dengan demikian produk China juga akan berpeluang masuk dengan bebas ke Indonesia tanpa tarif, atas nama Myanmar dan Thailand. Bagaimana dengan Indonesia? Sejauhmanakah persiapan Indonesia dalam menghadapi AEC ?
Jumlah penduduk Indonesia adalah 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk ASEAN, dengan demikian Indonesia dapat menjadi pasar potensial bagi masuknya produk-produk bebas ASEAN, belum lagi produk dunia. Sedangkan saat ini daya tawar produk Indonesia dapat dikatakan belum cukup siap untuk menghadapi pasar bebas tersebut, karena terganjal berbagai masalah produksi yang mengakibatkan tingginya harga jual melebihi produk impor. Sehingga lagi-lagi Indonesia hanya mengandalkan komoditi ekspor bahan-bahan mentah, minyak petroleum mentah, batubara, minyak kelapa sawit, karet dan kakao. Maka di tahun 2015 nanti, Indonesia diperkirakan kebanjiran produk-produk impor yang semakin menenggelamkan produk dalam negeri yang saat ini banyak diaktori oleh industri kecil dan menengah.
Dengan jangka waktu demikian singkat, Indonesia dihadapkan pada pekerjaan besar untuk segera merumuskan strategi cerdik guna meningkatkan ekspor produk jadi, mengamankan kebutuhan dalam negeri khususnya pangan, menyiasati kesamaan produk di lintas ASEAN, menekan angka inflasi dan memeratakan pendapatan, meningkatkan daya saing SDM, mendahulukan kepentingan nasional sebagaimana telah negara anggota ASEAN lakukan di belakang layar AEC, serta menguatkan petani, nelayan, industri kecil dan menengah agar mampu bersaing di antara derasnya persaingan produk ASEAN. Jika tidak, siap tidak siap, mau tidak mau kita akan berganti peran menjadi pedagang sekaligus konsumen produk-produk global di tahun 2015 nanti. Dengan demikian pemerintah sangat dituntut untuk segera mengambil langkah “berani” dalam menyiasati perjanjian-perjanjian gegabah yang terlanjur disetujui itu sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap kedaulatan ekonomi negara. Begitupula bagi rakyat Indonesia, kita akan segera menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, mari segera persiapkan diri.
*Tulisan ini pertama kali terbit di kolom Swara Kampus, (lupa tanggal muat)