Oleh : Darul Azis
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun wajib dilarang.
(Pasal 4, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
Jika merujuk pada pasal di atas, maka kita semua akan sepakat untuk memerangi segala bentuk perdagangan orang (human trafficking/ trafficking in persons) dan menggolongkannya sebagai aksi pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Saat ini, negara-negara di dunia memang tengah tersandera problem pelik ini, terutama negara-negara terbelakang dan berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 I, telah menjadikan hak untuk tidak diperbudak sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun kondisi rill di lapangan, kasus perdagangan orang di Indonesia malah semakin tinggi adanya, bahkan modus operandinya dilakukan dengan sangat terorganisir, rapi, dan dikemas dalam berbagai kedok, mulai dari pengiriman tenaga kerja, duta seni budaya, perkawinan pesanan, pengangkatan anak, pelatihan di tempat kerja, penjeratan hutang, kerja paksa, hingga penculikan.
Kondisi geografis yang luas dan berpulau-pulau, jumlah penduduk yang besar, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, dan rendahnya kesadaran pemangku kepentingan (stakeholder) akan masalah ini, menjadikan Indonesia semakin rentan menjadi sumber, transit, dan tujuan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), terutama bagi perempuan dan anak-anak. Dari data International Organization For Migration (IOM), sedikitnya terdapat 76% perempuan dan anak-anak direkrut oleh pelaku perdagangan orang dengan modus menawarkan bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI)[1]
Komitmen pemerintah dalam memberantas TPPO –melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berikut peraturan turunannya- juga belum memberikan jawaban terhadap tingginya kasus yang ada. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa penegakan hukum di negara kita masih jauh dari predikat ideal. Hingga saat ini pun, jarang sekali terdengar tindakan tegas aparat penegak hukum terhadap pelaku/oknum yang mengorganisir TPPO, padahal keberadaan mereka sungguh mengancam kedaulatan dan kelangsungan generasi bangsa, sebagaimana aksi para gembong narkoba dan koruptor.
Ya, pemerintah perlu harus lebih jujur mengakui bahwa selama ini upaya pemberantasan TPPO masih cenderung bersifat regulatif, bukan preventif. Padahal jika kita merujuk pada hasil penelitian Wahyu Titi Astuti (2008) diketahui bahwa penyebab utama terjadinya praktik perdagangan orang adalah kemiskinan, marjinalisasi, pendidikan, masalah keluarga, budaya pernikahan dini yang berdampak pada perceraian, dan budaya konsumerisme. Dari sinilah seyogyanya titik awal keberangkatan kita dalam upaya memberantas TPPO.
Rapor Merah Otonomi Daerah
Data BPS tahun 2013 dan 2014 mencatat angka urbanisasi di Indonesia tembus sampai angka satu juta jiwa lebih. Setiap tahun angka ini terus meningkat karena didorong oleh kemiskinan, terbatasnya lapangan kerja, marjinalisasi, pendidikan, masalah keluarga, dan berbagai persoalan di daerah. Sungguh, ini merupakan tamparan keras bagi pemerintah daerah tempat para kaum urban berasal. Karena tingginya angka urbanisasi masyarakat suatu daerah, juga menandakan bahwa daerah asalnya telah “gagal” mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, dan menyejahterakan masyarakatnya. Kita tentu masih ingat bahwa otonomi daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, yakni mendekatkan pembangunan, pelayanan, dan pemerintahan kepada rakyat. Namun dari evalusasi yang mengemuka, banyak sekali daerah yang tidak mampu melaksanakan cita-cita itu, bahkan cenderung jalan di tempat.
Kini era tersebut (baca : otonomi) kembali terulang, yakni dengan diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan tujuan yang juga amat mulia : pemberdayaan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Dana yang digelontorkan atas kebijakan ini pun tidak main-main jumlahnya, di atas satu milyar per tahunnya. Oleh karena itu, jika di awal kita sepakat bahwa untuk memberantas TPPO kita harus berangkat dari upaya preventif, otonomi desa adalah jalan yang strategis dan tepat untuk kita lalui. Yakni dengan menjadikan desa sebagai basis ekonomi dan pendidikan masyarakat dalam kerangka mencegah TPPO. Rapor merah Pemda dalam melaksanakan otonomi daerah -sebagai salah satu pencegah TPPO sebagaimana telah saya kemukakan di atas tidak selayaknya mengenyahkan harapan kita dalam menanggulangi TPPO. Kita masih punya satu harapan lagi meski harus menurunkan standarnya, yakni memulainya dari desa, bukan daerah.
Upaya ini pernah “disinggung” pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, yang tercermin dalam Buku Saku Bagi Kepala Desa berjudul Stop Perdagangan Orang. Pemerintah mengamanatkan adanya penertiban, kejelian, selektivitas, dan kehati-hatian Kepala Desa/Lurah, dalam mengusulkan pembuatan KTP. Agaknya upaya ini perlu dilanjutkan secara lebih komprehensif lagi, mengingat bahwa garis komando Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO sampai di kecamatan dan desa/kelurahan.
Stategi
Lantas, strategi macam apa yang perlu dilakukan dan siapa saja pihak-pihak yang hendaknya terlibat? Beberapa strategi yang penulis ajukan berikut ini semoga dapat memberi sumbangsih yang berarti dalam pemberantasan TPPO. Pertama, dengan memberikan edukasi terkait penyebab, bahaya, dampak, modus operandi, bentuk eksploitasi, pelaku, sasaran korban hingga hak-hak korban TPPO. Edukasi ini dapat dilakukan melalui kampanye akbar, sosialisasi ke sekolah-sekolah, lingkungan masyarakat desa, dan lingkungan keluarga.
Peningkatan pemahaman masyarakat tentang TPPO ini akan memperkecil ruang gerak para pelaku, karena masyarakat telah berganti peran sebagai pengontrol modus TPPO di lingkungannya. Sebagai catatan, agar edukasi dan sosialisasi pemberantasan TPPO ini dapat berjalan efektif, hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal masyarakat setempat agar lebih mudah diterima. Akan lebih baik lagi jika dalam prosesnya juga melibatkan tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat.
Kedua, memperkuat kelembagaan gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO di daerah, kecamatan, dan desa. Untuk memperkuat kelembagaan ini, pemerintah harus turut andil dengan menempatkan sumber daya manusia yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan TPPO. Ketiga, penegakan hukum. Upaya ini mutlak diperlukan demi memberikan efek jera terhadap para pelaku/oknum TPPO. Keempat, menjadikan desa dan masyarakatnya sebagai basis kegiatan ekonomi, pendidikan, informasi, dan subjek pemberantasan TPPO. Strategi ini juga dalam rangka mewujudkan cita-cita otonomi desa.
Jika keempat strategi tersebut dapat dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, konsisten, berkesinambungan dan sinergis, serta melibatkan berbagai kalangan masyarakat, bukan tidak mungkin cita-cita kita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih bermartabat –tidak ada yang diperdagangkan, berdaya, dan sejahtera- akan segera tercapai. Mari, bersama-sama kita berantas TPPO, dimulai dari desa.
2004-Desember 2010