Ramadhan dan Konsumerisme/Ilustrasi |
Tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, bulan Ramadhan tahun ini juga masih diwarnai dengan hal-hal serupa, yakni segala hal yang berbau konsumsi.
Hal ini terjadi mungkin karena selama ini bulan Ramadhan telanjur dimaknai sebagai ibadah yang berkaitan dengan makan/tidak makan dan minum/tidak minum.
Maka tak heran jika kemudian, dalam menyongsong datangnya bulan Ramadhan, kita terjebak pada persoalan buka atau tutupnya warung makan di bulan Ramadhan kala siang hari.
Hal ini terjadi mungkin karena selama ini bulan Ramadhan telanjur dimaknai sebagai ibadah yang berkaitan dengan makan/tidak makan dan minum/tidak minum.
Maka tak heran jika kemudian, dalam menyongsong datangnya bulan Ramadhan, kita terjebak pada persoalan buka atau tutupnya warung makan di bulan Ramadhan kala siang hari.
Dan lagi, dalam menyongsong bulan Ramadhan kita juga disuguhi iklan-iklan produk pencegah bau mulut, obat mag, suplemen tubuh, penyegar tubuh, paket internet super murah, dan lain sebagainya.
Seolah menegaskan bahwa puasa menyebabkan bau mulut yang amat mengganggu, sehingga harus ditanggulangi. Puasa menyebabkan sakit mag, sehingga harus diantisipasi. Puasa menjadikan tubuh kita lemas dan kekurangan cairan, sehingga harus diganti dengan produk-produk tersebut.
Pada bulan Ramadhan, kita juga seolah harus menyetatuskan segala aktivitas sehingga memerlukan paket internet yang super murah lagi cepat.
Seolah menegaskan bahwa puasa menyebabkan bau mulut yang amat mengganggu, sehingga harus ditanggulangi. Puasa menyebabkan sakit mag, sehingga harus diantisipasi. Puasa menjadikan tubuh kita lemas dan kekurangan cairan, sehingga harus diganti dengan produk-produk tersebut.
Pada bulan Ramadhan, kita juga seolah harus menyetatuskan segala aktivitas sehingga memerlukan paket internet yang super murah lagi cepat.
Demikianlah, ketika memasuki bulan Ramadhan kita seolah sedang digiring menuju bulan dengan kebutuhan yang meningkat tajam. Sehingga sampai muncul adagium “Bulan Ramadhan adalah bulan boros”.
Dan di saat yang sama harga kebutuhan pokok pun pasti (di)naik(kan); produk-produk anyar dan mewah justru membanjir; diskon semakin menggila, sehingga semakin “menggoda” kita untuk membeli barang-barang tersebut.
Akibatnya, pada bulan Ramadhan kita justru lebih berfokus untuk memenuhi keinginan kita dibanding dengan memanajemennya.
Dan di saat yang sama harga kebutuhan pokok pun pasti (di)naik(kan); produk-produk anyar dan mewah justru membanjir; diskon semakin menggila, sehingga semakin “menggoda” kita untuk membeli barang-barang tersebut.
Akibatnya, pada bulan Ramadhan kita justru lebih berfokus untuk memenuhi keinginan kita dibanding dengan memanajemennya.
Jika terus-menerus demikian, di masa mendatang bulan Ramadhan akan kehilangan khitahnya sebagai bulan manajemen hawa nafsu dalam arti luas.
Selama ini (di luar bulan Ramadhan) boleh jadi kita telah memperturutkan keinginan untuk mengonsumsi apa pun yang disediakan pasar, bila perlu sampai habis.
Namun di bulan Ramadhan, jika kita masih seperti itu, maka rasanya tak ada bedanya bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Atau malahan di bulan Ramadhan ini pola konsumi kita justru meningkat setinggi-tingginya? Masing-masing dari kita pasti tahu jawabannya.😝
Selama ini (di luar bulan Ramadhan) boleh jadi kita telah memperturutkan keinginan untuk mengonsumsi apa pun yang disediakan pasar, bila perlu sampai habis.
Namun di bulan Ramadhan, jika kita masih seperti itu, maka rasanya tak ada bedanya bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Atau malahan di bulan Ramadhan ini pola konsumi kita justru meningkat setinggi-tingginya? Masing-masing dari kita pasti tahu jawabannya.😝
Momentum Awal
Bulan Ramadhan harus kita jadikan sebagai momentum awal untuk membenahi sistem manajemen hawa nafsu kita, terutama dalam hal konsumsi dan perilaku.
Itulah mengapa Hari Raya Iedul Fitri kita sebut sebagai hari kemenangan, karena selama Bulan Ramadhan kita telah berperang menaklukkan hawa nafsu kita.
Kemenangan, dalam hal apa pun seyogianya tidak lantas menjadikan kita lupa diri, melainkan tetap berusaha untuk terus mempertahankannya.
Kita perlu berkomitmen, terutama pada diri sendiri, untuk terus meramadhankan bulan-bulan lain dalam hal memanajemen nafsu.
Agar selanjutnya kita tidak menjadi manusia yang kemaruk dalam mengonsumsi sesuatu, dan sifat materialistik kita semakin tereduksi secara perlahan.
Agar kita tidak lagi terjebak dalam rimba konsumsi yang sengaja didesain oleh para pemodal itu.
Sebab keinginan itu, pesan Haruki Murakami, ibarat hutan rimba, semakin kita masuk semakin kesulitanlah kita untuk keluar.
Itulah mengapa Hari Raya Iedul Fitri kita sebut sebagai hari kemenangan, karena selama Bulan Ramadhan kita telah berperang menaklukkan hawa nafsu kita.
Kemenangan, dalam hal apa pun seyogianya tidak lantas menjadikan kita lupa diri, melainkan tetap berusaha untuk terus mempertahankannya.
Kita perlu berkomitmen, terutama pada diri sendiri, untuk terus meramadhankan bulan-bulan lain dalam hal memanajemen nafsu.
Agar selanjutnya kita tidak menjadi manusia yang kemaruk dalam mengonsumsi sesuatu, dan sifat materialistik kita semakin tereduksi secara perlahan.
Agar kita tidak lagi terjebak dalam rimba konsumsi yang sengaja didesain oleh para pemodal itu.
Sebab keinginan itu, pesan Haruki Murakami, ibarat hutan rimba, semakin kita masuk semakin kesulitanlah kita untuk keluar.