Perantau Idealis dan Pesan Penting Untuk Para Pemudik - Jurnal Darul Azis

Perantau Idealis dan Pesan Penting Untuk Para Pemudik

Perantau Idealis dan Pesan Penting Untuk Para Pemudik




Tradisi sekaligus selebrasi tahunan menjelang lebaran kembali digelar oleh para perantau. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tradisi mudik di Indonesia tahun ini pun masih diwarnai dengan peristiwa dan fenomena yang nyaris sama : kecelakaan tertinggi dialami oleh pengendara motor, desak-desakan di terminal, stasiun, dan pelabuhan, tidak dengan bandara. Juga tak ketinggalan pula tentang proyek tahunan Pantura, tumpukan kendaraan di jalan dan pelabuhan, melambungnya harga tiket, dan perpindahan uang dari kota ke desa secara besar-besaran –setidaknya begitu yang tersiar di berbagai media.
Gambar oleh Katakatagambar
Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya tak menjadi bagian dari tradisi dan selebrasi bernama mudik itu. Tentu saya tidak sendirian. Karena masih ada banyak sekali orang-orang di luar (kota dan negara) sana yang juga tidak mudik. Bahkan mungkin ada yang lebih setrong dari saya, bertahun-tahun tidak (bisa) mudik. Salah satu makhluk yang tidak bisa mudik selama bertahun-tahun itu adalah Bang Toyib, yang sudah lebih dari tiga kali puasa tiga kali lebaran tidak pulang –terhitung sejak lagu Bang Toyib diciptakan istrinya. (Ingat loh ya, selama lagu Bang Toyib masih sering terdengar dan belum dilarang untuk diputar, selama itu pulalah Bang Toyib memang belum bisa pulang, meskipun sudah ada lagu yang menyatakan kalau Bang Toyib sudah pulang—yang celakanya lagu itu tak seterkenal lagu Bang Toyib.)
Kita doakan saja, semoga saja Bang Toyib tetap berada di jalan yang benar, dan diselamatkan oleh Tuhan dari segala macam marabahaya dan godaan di perantauan sebagaimana doa istrinya. Istrimu tetap setia nungguin loh Bang, doain tiap hari. Ingat itu. So, jangan nakal!
Beberapa waktu lalu, kami, para perantau yang tidak mudik ini, menggelar jumpa darat sembari berharap mendapatkan berkah malam lailatur qodar. Dengan ditemani kopi, rokok, dan beberapa makanan pemicu kolesterol bernama gorengan, kami menggelar diskusi ringan. Topiknya ya seputar mudik. Pasnya tentang mengapa harus mudik dan untuk apa sebenarnya mudik itu? Pertanyaan itulah yang berhasil membawa kami pada suasana diskusi yang penuh kehangatan, sehingga dapat menjadi penghalau suhu dingin yang tengah melanda tempat kami merantau ini.
Dari diskusi itu, diketahui bahwa ketidakmudikan mereka ternyata bukan murni karena ketidakbisaan untuk mudik. Lebih daripada itu, ketidakmudikan mereka ternyata merupakan sebuah pilihan penting, berdasarkan pergumulan batin dan perenungan yang mendalam. Bagi mereka mudik adalah lelaku luar biasa yang tak bisa sembarangan dilakukan, memerlukan persiapan matang -yang tak hanya berkutat pada berapa duit dan oleh-oleh yang akan dibawa dan berapa baut kendaraan yang harus dikencangi, serta berapa paket data internet yang dibutuhkan untuk dapat mengakses gugel meps selama dalam perjalanan- seperti yang banyak dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Bukan seperti itu jalan pikiran mereka. Mereka bukan tipe perantau yang menjadikan mudik sekedar sebagai prosesi penghabisan waktu libur lebaran semata.
Dalam diskusi itu, karena saya berperan sebagai toekang ketik, maka didapatlah dua hal penting berikut ini.

1.        Tantangan terbesar bagi pemudik adalah menghindari kesombongan

Kritik ini mengemuka dengan begitu tak disangkanya. Dilontarkan oleh seorang kuli bangunan yang belum pernah mudik selama tujuh tahun. Beliau, yang belakangan diketahui bernama Bodes ini meninggalkan kampung halaman sejak berusia 17 tahun. Memang, kota tempat kami merantau ini seolah tidak akan pernah berhenti membangun, jadi tenaganya masih tetap dibutuhkan –sampai punggungnya bengkok sekalipun.
Menurutnya, kepulangan seseorang ke kampung halaman kebanyakan  tak pelak disertai penyakit bernama kesombongan. Mahasiswa yang kuliah di kota misalnya, sering berpikir dan bertindak arogan, menganggap pemuda-pemudi di kampung halamannya itu bodoh-bodoh sehingga perlu digurui. Menganggap kampung halamannya terbelakang dan tidak maju (iya, la wong pembanding yang dipake itu kota kok). Menganggap sistem sosial yang ada di desanya masih sangat primitif sehingga perlu dimodernisasi. Menganggap budaya yang ada di kampung halamannya itu perlu segera di-upgrade, karena sudah terlalu kuno. Menganggap kehidupan orang-orang di kampung halamannya tidak sehat, sehingga harus disehatkan. Dan biasanya, yang lebih menjijikkan lagi katanya, mereka sering mengharap penghormatan dari orang-orang di kampungnya, karena kini ia sudah berstatus sebagai mahasiswa.  Pendeknya, kepulangan mahasiswa ke kampung halaman hanyalah untuk menunjukkan betapa pintarnya ia sekarang. Contoh lain pun terjadi pada perantau yang sukses secara finansial. Kepulangannya ke kampung ternyata hanya bertujuan untuk memamerkan kendaraan, uang, dan jabatan yang diperolehnya karena bekerja di kota. Kepulangannya ke kampung halaman tak lebih sebagai upaya untuk menunjukkan betapa kayanya ia sekarang. Dan secara tidak langsung, sebenarnya ia sedang berkata “Ayo ikuti jejakku, merantau ke kota. Desa tidak akan membuatmu kaya. Sebab kesuksesan hanya ada di sana.”


2.  Pemudik Sering Menularkan Penyakit Sosial

      Jika tidak dibekali dengan kematangan mental, para pemudik sangat mungkin membawa bibit-bibit penyakit sosial. Hal ini disampaikan oleh perantau bernama Bibit, yang kini berprofesi sebagai tukang ojek berbasis teknologi informasi, katanya. Penyakit sosial masyarakat kota yang dikenalnya sebagai gaya hidup orang kota dibawanya pulang mentah-mentah. Orang-orang desa diajarinya belanja di minimarket yang kini sudah menjamur di setiap desa itu. Orang-orang desa diajarinya bahasa kota yang kasar, diajarinya cara memandang segala hal berdasarkan nilai materi dan untung rugi, diajarinya orang-orang desa itu bagaimana cara hidup individualis dengan gadget dan media sosial, diajarinya orang-orang desa itu cara menyelundupkan barang-barang haram seperti narkoba dan miras, diajarinya beribadah cara kota, diajarinya orang-orang desa itu bagaimana berinteraksi ala kota. Pokoknya segala kehidupan di kota diadopsinya secara sembarangan dan kemudian diterapkannya secara serampangan di desa.
  Pendapat ini memang bisa saja dimentahkan, karena pada kenyataannya mereka tidak pernah mengajari orang-orang di kampungnya seperti itu. Ya meskipun perilaku mereka memang secara kasat mata memang demikian : mengajari cara hidup ala orang kota, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian, cara bergaul, dan cara berbuat yang tidak-tidak.
  Diskusi kami malam itu akhirnya membuahkan satu pesan penting : mudiklah dengan segenap kerendahaan hati dan segenap kesadaran bahwa desa ya desa, kota ya kota. Karena mudik bukan perkara menjadikan desa agar seperti kota. Mudik ya mudik, yang berarti pulang, yang menuntut agar para pemudik kembali menjadi manusia desa sebagaimana mulanya.  
Please write your comments