Beberapa hari ini, berita soal Ken Ken “Wiro Sableng” sangat ramai dibicarakan media onlen, sampai jadi gugel tren lagi. Mungkin karena saking lamanya tidak muncul di layar kaca, Ken Ken yang dulu sempat tenar di dunia hiburan itu kini kembali dicari-cari -–untuk dijadikan bahan berita, biar bombastis, karena barangkali para redaktur media tersebut faham bahwa generasi 90an sedang gencar-gencarnya mengingat masa lalu mereka yang konon amat membahagiakan itu.
Usut punya usut, ternyata beliau sekarang telah memilih menjadi seorang petani. Dari menjadi artis beralih menjadi petani, berita inilah yang agaknya telah menarik banyak orang, jika dilihat dari segi pembaca berita.
Omong-omong soal Ken Ken “Wiro Sableng” ini, saya tergelitik untuk juga ikut ngomong. Karena biar bagaimanapun, beliau amat berjasa bagi masa kecil saya. Saya yakin, karena aksi heroik, jenaka, dan gila dari Ken Ken Ken Ken “Wiro Sableng” itulah kami (generasi 90an) tumbuh menjadi generasi paling bahagia menurut sebuah penelitian, yang saya juga tidak tahu siapa penelitinya. Hehe.
Tapi memang ada benarnya juga, Pukulan Matahari yang kala itu menjadi pukulan andalan beliau ketika memerankan diri sebagai Wiro Sableng, kemudian menjadi ilmu andalan kami ketika bermain perang-perangan. Tulisan 212 kemudian menjadi semacam tato-tatoan yang kami ukir di tangan dan di dada. Dan lebih dari itu, karena Ken Ken “Wiro Sableng”lah saya jadi ngebet banget pengen punya rambut panjang biar bisa diikat dengan ikat kepala berwarna putih seperti Wiro Sableng. Namun apa daya, Bapak melarang keras waktu itu. Saya hanya boleh cukur model bros : rambut pendek sama rata di seluruh kepala.
Mendengar berita Ken Ken “Wiro Sableng” sekarang menjadi petani, tidak lantas membuat saya bersedih dan prihatin, ataupun mendadak bijak dan berkata “Roda selalu berputar”. Malah sebaliknya, saya kasih empat jempol untuk beliau. Pertama, karena mungkin itu adalah pilihan beliau. Kedua, menurut saya, memang jauh lebih baik menjadi petani saja daripada menjadi seleb tipi, untuk masa sekarang ini. Menjadi petani, --sekali lagi untuk masa sekarang ini-- sungguh lebih mulia ketimbang menjadi seleb tipi, ya walaupun kadar penderitaannya jauh lebih besar menjadi petani sih.
Oh iya, tolong digarisbawahi, saya nyebutnya seleb tipi loh ya, bukan artis. Sebab beda antara seleb tipi sama artis. Kalau seleb tipi itu bekerja untuk tipi, sedangkan artis itu bekerja untuk seni. Dan kita tahu bukan, betapa buruknya sajian tayangan tipi sekarang ini? Njelehi, nggobloki, dan njancuki. Ya 'kan? Iya ajalah, biar cepet selesai urusan. Dan percayalah, saya berani bicara seperti ini karena saya tidak punya tipi. Kalau misal punya tipi? Wallahu A’lam Bissawwab – ini jawaban paling relijius dan paling aman yang berani saya katakan.
Balik lagi soal Ken Ken “Wiro Sableng”, saya yakin, beliau sudah sangat menikmati dan sangat bahagia dengan profesinya sekarang, walaupun sekali lagi, menjadi petani itu lebih banyak menderitanya. Saya optimis, meski telah diangkat menjadi pemberitaan pun, beliau tidak akan tergiur lagi dengan dunia pertipian yang kian ra mutu itu. Dan rasanya, tipi sekarang pun enggan untuk mengajak orang-orang seperti Ken Ken “Wiro Sableng” karena berbagai alasan, terutama karena alasan reting dan regenerasi—alasan yang terakhir pasti yang akan lebih sering diungkap.
Jangan heran kalau pada akhirnya Ken Ken “Wiro Sableng” memilih menjadi petani saja. Satu pertanyaan penting ini barangkali bisa menjadi jawaban kenapa Ken Ken “Wiro Sableng” sekarang lebih memilih menjadi petani : siapa sih manusia di dunia ini yang tak menyukai keasrian dan kenaturalan? Dan semua itu hanya bisa didapat ketika seseorang menjadi petani.
Setidaknya itu loh yang membuat kehidupan para petani –juga mungkin Ken Ken “Wiro Sableng”-- tetap bisa merasa bahagia meski berada di tengah permainan harga pupuk, hasil panen, dan ketidakpastian cuaca. Soalnya kalau mau ngomongin permainan-permainan, rasanya memang sudah bosan kita. Lha wong memang yang ngurusin negara ini juga senang bermain-main kok. Negara aja dimainin loh, jangankan kok harga, jangankan anggaran, janganan kok jabatan, jangankan kok pacar, jangankan kok hatimu yang rapuh (udah-udah, ndak kebablasan).
Setidaknya itu loh yang membuat kehidupan para petani –juga mungkin Ken Ken “Wiro Sableng”-- tetap bisa merasa bahagia meski berada di tengah permainan harga pupuk, hasil panen, dan ketidakpastian cuaca. Soalnya kalau mau ngomongin permainan-permainan, rasanya memang sudah bosan kita. Lha wong memang yang ngurusin negara ini juga senang bermain-main kok. Negara aja dimainin loh, jangankan kok harga, jangankan anggaran, janganan kok jabatan, jangankan kok pacar, jangankan kok hatimu yang rapuh (udah-udah, ndak kebablasan).
Buat Mas Ken Ken “Wiro Sableng”, enak 'kan Mas jadi petani? Semoga sampeyan benar-benar menikmati profesi mulia itu ya Mas. Terima kasih, untuk pendidikannya yang indah dan membuat kami bahagia kala itu—meski karenanya kami jadi sering babak belur karena main perang-perangan. Tenang aja Mas, meskipun sampeyan tidak pernah lagi nongol di tipi, dan dasarnya memang tipi-tipi sekarang udah ogah nayangin filmnya Mas, generasi 2000an masih bisa nonton sampeyan kok. Mereka kan sudah sangat akrab dengan internet tuh, jadi bisa dengan mudah nonton sampeyan di yutub – dengan satu catatan kalau tidak kesasar di situs yang ehem-ehem loh ya.
Di yutub sampeyan tetap abadi kok Mas, saya aja masih suka ngintipin Mas di sana. Terima kasih juga Mas, udah mau jadi petani. Mbok ya bikin tagline Mas, “berani jadi petani, hebat!!” gitu. Atau “petani punya ideologi”. Atau “cowok petani itu bojoable” atau bisa juga bikin gerakan #Mulaibertani sebagai lawan ril dari gerakan #SudahiJokowi. Ditunggu ya Mas, saya yakin, sampeyan pasti masih dan tentu saja lebih sableng dari yang dulu-dulu.