Sedikit Usulan Buat Manajemen Go-Jek Jogja - Jurnal Darul Azis

Sedikit Usulan Buat Manajemen Go-Jek Jogja

Sedikit Usulan Buat Manajemen Go-Jek Jogja

Gambar dari Gojek, diedit ulang sama empunya blog

Pada pertengahan Bulan November lalu, secara tidak sengaja saya melihat seorang pengendara motor mengenakan jaket dan helm berwarna hijau menyalip saya ketika saya melintas di sekitaran UNY. Di bagian belakang jaket dan helmnya itu, tertulis kata GO-JEK. Weleh weleh... GO-JEK udah masuk Jogja juga nih? Saya bertanya dalam hati, agak ragu. Namun kemudian saya semakin yakin tatkala   mendapati pengemudi lain dengan jaket dan helm yang sama di area jalan Sudirman. Ditambah lagi kesaksian beberapa teman yang juga melihat pengemudi GO-JEK di beberapa titik di Jogja.


Bukan Pertanda Kiamat

Ekspansi layanan GO-JEK di Jogja jelas bukanlah sebuah pertanda kiamat. Termasuk kiamat bagi para Bapak-bapak tukang becak, andong, maupun ojek tradisional. Bukan, ini hanya sebuah tanda bahwa Jogja, oleh manajemen GO-JEK, sudah dikategorikan sebagai daerah rawan macet, sehingga membutuhkan moda transportasi cepat ala GO-JEK. Hanya sebuah tanda bahwa tingkat kesibukan di Jogja semakin meningkat sehingga sebagian pekerjaan perlu dialihtugaskan kepada pengemudi GO-JEK. Serta pertanda bahwa Jogja telah disamakan statusnya dengan daerah-daerah lain. Jadi jelas, sekali lagi bukanlah tanda-tanda akan datangnya kiamat.

Apakah kehadiran GO-JEK di Jogja juga akan menimbulkan protes?

Tenang saja.  Jogja tetap akan baik-baik saja. Tahulah kita bagaimana masyarakat Jogja itu : tepa selira dan saling menghargai. Mereka tidak akan saling mengganggu dapur orang lain. Mereka paham batas-batas wilayah ‘nasi’ orang lain. Mereka juga paham bahwa rezeki tidak akan tertukar.

Di Jogja, tidak akan ada konflik dan protes macam di Jakarta, selama pimpinan cabang dan pengemudi GO-JEK memahami karakter dan budaya masyarakat Jogja serta batas-batas wilayah ‘nasi’ tadi. Saya, mungkin juga Anda pasti berharap demikian.

 Terlepas dari itu semua, sebagai masyarakat Jogja Anda pantas bersenang hati karena kini ada banyak pilihan moda transportasi yang bisa Anda gunakan. Anda tidak sempat mengirimkan paket? Buka saja aplikasi GO-JEK lalu minta tolong untuk mengantarkan paket. Anda tidak sempat menjemput anak Anda di sekolah? Buka saja aplikasi GO-JEK lalu minta tolong kepada pengemudi untuk menjemput. Pokoknya, dengan GO-JEK hidup Anda akan menjadi lebih mudah.


Di Jogja, Akankah GO-JEK Bisa Sukses?

                    Sejak  GO-JEK mulai beroperasi di Jogja, saya pun lantas bertanya-tanya dalam hati akankah GO-JEK bisa mengulang kesuksesannya di Jogja sebagaimana di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya? Barangkali memang bisa, karena saya yakin manajemen sudah punya pertimbangan khusus mengenai hal ini. Salah satunya alasannya (dan memang sering diutarakan di media online oleh pihak manajemen) karena status Jogja sebagai destinasi wisata terpopuler ke-2 se-Indonesia setelah Bali. Jogja juga dipenuhi oleh pelajar dan mahasiswa bermobilitas tinggi, yang di antara mereka juga banyak yang tidak punya kendaran sendiri.

Tapi itu kan menurut manajemen Go-Jek. Berbeda dengan pandangan dan analisis sederhana saya. Ya....walaupun tidak ada seorang pun yang meminta saya berpendapat maupun menganalisis potensi kesuksesan GO-JEK di Jogja sih, namun saya kok tergelitik untuk menuliskan ulasan di blog saya ini, kali aja bisa menambah rating, hehe.

Dalam dunia bisnis, manajemen GO-JEK memang pantas optimis dan demikianlah seharusnya, namun di balik itu manajemen GO-JEK perlu memerhatikan beberapa hal berikut ini.

1.      Brand Wisata Jogja

Jogja memang terkenal dengan destinasi wisatanya. Namun ini tidak serta-merta dapat dijadikan jaminan bahwa ojek akan menjadi pilihan moda transportasi utama bagi para wisatawan, baik wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Brand Jogja sebagai destinasi wisata sudah terlanjur lekat dengan becak dan andong. Maka kemungkinan besar para pelancong akan tetap memilih becak dan andong ketika hendak berkeliling Jogja.

Cobalah ingat kembali, tidak ada satu FTV, film, maupun sinetron pun yang pernah memisahkan Jogja dari andong dan becak. Semua orang (mungkin) juga telah paham, romantisme berlibur di Jogja bukan ketika naik ojek, melainkan ketika naik andong, becak, atau bahkan ketika jalan kaki.

Dari sini, kalau pihak manajemen GO-JEK akan membidik wisatawan sebagai calon pelanggannya, jelas sudah gugur. Kecuali kalau pihak manajemen GO-JEK membuat iklan di tipi atau di Yutub tentang romantisme liburan di Jogja bersama pengendara GO-JEK. Eh...tapi kayaknya kalau romantis itu terlalu dipaksakan deh, coba saja buat iklan bagaimana asyiknya berwisata di Jogja bersama Mas-Mas pengendara GO-JEK ---yang kriterianya akan saya sebutkan di akhir tulisan ini. Kali aja melalui  iklan tersebut, brand Jogja sebagai destinasi wisata juga bakalan lekat dengan GO-JEK. 


2.      Jogja Bukan Kawasan Industri

Jogja itu kota pelajar, bukan kawasan industri. Di kota-kota besar macam Jakarta dan Surabaya GO-JEK memang laris, karena di sana banyak sekali buruh-buruh yang butuh jasa ojek, karena kalau mau naik busway akan memakan waktu yang cukup lama sementara mereka harus datang ke kantor tepat waktu. Dengan naik motor (atau ngojek), mereka akan lebih cepat sampai—setidaknya dibadingkan dengan naik transportasi umum.

Dari sini, kalau pihak manajemen GO-JEK akan membidik para buruh, jelas sudah gugur kemungkinannya. Karena Jogja itu didominasi oleh para pelajar dan mahasiswa. Sedangkan para pelajar dan mahasiswa di Jogja lebih banyak yang punya motor sendiri. Ya...pertumbuhan kendaran bermotor di Jogja yang terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan  itu sebagian besar karena kepemilikan para pelajar dan mahasiswa.


3.      UMR di Jogja Relatif Rendah

UMR di Jogja ini berapa sih, di tahun 2016 nanti aja baru sekitar 1,5 juta. Karena ya itu tadi, Jogja bukanlah kawasan industri. Dengan tingkat penghasilan segitu, saya rasa akan berpengaruh terhadap daya ojek masyarakat Jogja.

Bukan hanya bagi mereka yang sudah bekerja saja, bagi pelajar dan mahasiswa pun berapa sih rata-rata uang kiriman mereka per bulan? Katakanlah antara 1-2 juta per bulan. Dengan uang segitu, rasanya kok sayang banget ya kalau harus digunakan untuk ngojek juga. Tidak efisien, iya kan?



4.      Masyarakat Jogja Itu Selo

Berbeda dengan masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya, masyarakat Jogja itu selo. Selo di sini bukan hanya aktivitasnya, melainkan juga sikapnya, terutama masyarakat kelas menengah.

Di Jogja ini hanya mamah-mamah kantoran atau mamah-mamah pebisnislah yang memiliki kesibukan tinggi. Mereka sering tidak punya waktu untuk menjemput anak-anaknya di sekolah atau sekedar mengantarkan anaknya les. Jadi menurut saya, manajemen GO-JEK harus membidik pasar ini, yakni para kelas menengah ke atas.

Selain selo, masyarakat Jogja juga cukup efisien serta punya rasa solidaritas yang tinggi. Selama masih ada teman, gebetan, pacar, atau bahkan pembantu yang bisa jemput, kenapa harus naik ojek? Kenapa harus ngeluarin duit? Bahkan nih ya, di terminal saja para tukang ojek dan sopir taksi sering merasa tobit  (tobat banget) dengan para pendatang di Jogja karena sebagian di antara mereka banyak yang sudah dijemput temannya ketika sampai di terminal ataupun stasiun.


5.      Jogja itu Muda

Jogja itu unik dan berkebutuhan khusus. Maksudnya, Jogja tidak bisa disamakan dengan kota-kota besar lainnya, jadi harus diperlakukan secara khusus. Karena hal inilah, manajemen GO-JEK harus bisa lebih inovatif dan kreatif.

Ingat loh ya, Jogja itu dipenuhi oleh anak-anak muda yang kritis, alay,  aktif, dan kreatif. Pihak manajemen GO-JEK harus mampu mengimbangi mereka dalam hal kreatifitas dan kealay-an. Karena di sinilah potensi pasar terbesar bagi GO-JEK, yakni dengan membidik anak-anak muda.

Salah satu contohnya misal, selama ini di Jogja masih umum ditemui motor CB, pitung, dan vespa. Anak-anak muda kekinian, narsis, alay, hobi selfi, eksploitatif, dan social-mediaholic, biasanya seneng banget tuh kalau diboncengin pake motor CB, pitung, maupun vespa. Romantis, unik, berkesan, dan photoable katanya.

Kalau boleh berandai-andai, seandainya saya ada di pihak manajemen GO-JEK, maka saya akan membuka lowongan yang bunyinya kurang lebih begini :


Dibutuhkan! Pengemudi GO-JEK untuk area Jogja

Syarat :

a.      Pria/wanita

b.      Berpenampilan menarik

c.       Usia 17-30 tahun.

d.      Masih mahasiswa/fresh graduate

e.      Berambut gondrong/gimbal/bertato

f.        Punya motor CB/Pitung/Vespa

g.      Mengerti area Jogja

h.      Fotogenik

i.        Tidak keberatan jika diajak foto selfie (dieksploitasi) oleh pelanggan


Saya yakin, kalau ada pengemudi GO-JEK dengan kriteria seperti di atas, GO-JEK bakalan laris tak terkira, booming tak terhingga. Melebihi di kota-kota sebelumnya. Melebihi boomingnya hamparan bunga Amarilis yang kini telah rusak dan layu itu.

Karena apa? Karena berfoto dengan alam (baca : mengeksploitasi alam) itu sudah sangat mainstream. Foto dengan pengemudi GO-JEK dong yang anti-mainstream.


(Isi tulisan ini dilindungi Tuhan Yang Maha Esa dan Undang-Undang)



Please write your comments

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)