Bulan April lalu, dana desa tahun anggaran 2016 kembali dicairkan. Tidak main-main, anggaran dana desa tahun ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada 2015 lalu anggaran dana desa hanya Rp20,7 triliun, pada 2016 ini meningkat menjadi Rp46,98 triliun atau naik 125 persen dari anggaran awal. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, rata-rata setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dasar sebesar 565 juta rupiah dan dicairkan dalam dua tahap.
Banyak pihak kemudian merasa khawatir, pengelolaan dana sebesar itu jika tidak disertai adanya kontrol yang kuat para pemangku kepentingan, justru menimbulkan celah korupsi bagi para elite desa. Sebagaimana pandangan Klitgaard (1998), jika penyelenggaraan pemerintahan kurang disertai pengawasan yang memadai dari stakeholder lain (minus accountability), maka dorongan untuk melakukan tindak pidana korupsi bagi para penyelenggara pemerintahan akan semakin besar.
Walaupun dalam lingkup pemerintahan desa ini sudah terdapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang memiliki fungsi pengawasan, namun hal tersebut tidak serta-merta menafikkan peran kita untuk turut mengawal proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Karena dalam praktik hubungan antara pemerintah desa dengan BPD ini, masih kerap diwarnai banyak masalah, mulai dari tingkat kapabilitas, profesionalisme, nepotisme, hingga kolusi.
Ilustrasi/Kredit gambar |
Peran pers sebagai lembaga kontrol
Sejauh ini, penulis menilai perhatian pers terhadap otonomi desa masih belum sepenuhnya optimal, terutama menyangkut proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa berikut evaluasi-evaluasinya, baik kaitannya dengan progam negara (makro) maupun program desa itu sendiri (mikro). Padahal ini penting sekali, karena bersinggungan dengan hak-hak masyarakat desa.
Pertama, soal hak atas informasi publik. Setiap warga negara, berhak atas informasi publik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi publik merupakan sarana penting bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosial (masyarakat desa); perwujudan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan; dan upaya untuk mendorong terwujudnya masyarakat informasi. Oleh karena itu, informasi publik --terutama yang berkaitan dengan proses pembangunan desa-- harus dapat benar-benar diakses oleh masyarakat karena merupakan hak dasar yang memang harus mereka dapatkan sebagai warga negara.
Kedua, masih sebangun dengan poin pertama, adalah tentang transparansi penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan desa. Selama ini motivasi transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan hanya beriorientasi pada kepuasan masyarakat semata. Paradigma inilah yang menurut penulis harus mulai diubah. Transparansi harus kita orientasikan lebih daripada itu, yakni demi terciptanya keharmonisan hubungan antara masyarakat dan pemerintah dalam proses pembangunan desa. Tanpa transparansi, masyarakat desa akan ‘terjebak’ pada syak wasangka terhadap pemerintahnya yang berakibat pada hilangnya dukungan dalam kegiatan pembangunan dan masyarakat menjadi acuh (apatis) karenanya. Itulah alasan kuat mengapa informasi proses, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan desa harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat desa.
Ketiga, soal akuntabilitas dan pemberdayaan. Dengan adanya transparansi, maka pemerintah maupun masyarakat desa mampu menakar kemampuannya dalam membangun desa. Inilah yang kemudian akan mendorong atau menyuburkan semangat gotong-royong dan persatuan dalam proses pembangunan desa. Pemerintah desa, karena telah mendapat kepercayaan yang tinggi, akan dapat dengan mudah mendorong masyarakatnya untuk secara bersama-sama merealisasikan program pembangunan desa. Bisa dikatakan, pemberdayaan hanya akan berhasil jika kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya tinggi, yang sebagai prasyaratnya adalah adanya keterbukaan informasi tadi.
Selain karena ketiga alasan di atas, meneguhkan fungsi pers dalam memberikan edukasi terhadap masyarakat desa juga tak kalah penting adanya. Ini dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di pedesaan (baik pemerintah maupun masyarakat), yang diwujudkan melalui penyebaran informasi, inovasi, dan motivasi pembangunan desa secara lebih luas. Tujuannya agar semangat pemerintah maupun masyarakat dalam membangun desanya dapat terus terawat dengan baik.
Media alternatif
Namun bagaimana jika kemudian media massa masih tetap ‘enggan’ mengawal otonomi desa?
Terlepas dari harapan besar penulis kepada perusahaan media untuk lebih intens lagi dalam mengawal otonomi desa, jika memang ‘pahit-pahitnya’ hal tersebut tersebut tidak terwujud(kan), aktivis pendamping pembangunan desa, masyarakat, maupun para pemangku kepentingan lain di tingkat desa harus tetap jeli melihat peluang yang ada saat ini.
Ada beberapa media alternatif yang bisa digunakan, seperti melalui radio komunitas yang bagi masyarakat pedesaan penulis yakin masih menjadi media efektif untuk memberikan informasi dan berkomunikasi. Atau bisa juga melalui media sosial, koran desa, dan forum-forum sosial seperti arisan RT, tahlilan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tergantung pada potensi dan karakteristik sosial masing-masing desa.
Yang terpenting adalah ke depan diharapkan setiap desa memiliki media yang bisa digunakan sebagai sarana komunikasi antara masyarakat desa dengan pemerintahnya. Karena substansi dari semua keinginan dan upaya tersebut adalah untuk mendorong agar proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dapat berjalan secara transparan, terkontrol, akuntabel, partisipatif, dan efektif. (Darul Azis)