Awkarin Adalah Korban, Karena Itu Harus Diberi Dukungan - Jurnal Darul Azis

Awkarin Adalah Korban, Karena Itu Harus Diberi Dukungan

Awkarin Adalah Korban, Karena Itu Harus Diberi Dukungan

Foto Awkarin
Foto via +Karin Novilda 

Sosok Awkarin kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Selebgram yang konon digemari oleh banyak remaja Indonesia ini baru saja merilis videoklip perdananya, hasil dari kolaborasi bersama rapper asal Indonesia, Young Lex. BAD, demikianlah tajuk videoklip perdananya itu, yang sampai tulisan ini dipublikasikan sudah tayang sebanyak 1,5 juta kali sejak diunggah dua hari lalu.  

Namun ternyata videoklip tersebut justru beroleh banyak respon negatif dari para penontonnya. Pasalnya lirik video tersebut dinilai menyesatkan. Jika disimpulkan, isi videoklip tersebut berisi pembelaan diri Awkarin atas penilaian para pembencinya (haters) yang sering kali menyebut dirinya sebagai sosok perempuan nakal, sering berkata-kata kotor dan kasar, glamor, tak berbakat, tak punya prestasi dan tak bermasa depan.

Melalui videoklip tersebut, ia mengakui ‘kenakalannya’ dan memang demikianlah dirinya. Tapi ia hanya ingin menjadi dirinya yang apa adanya  (Ya tentu saja dirinya yang sekarang), daripada disukai tapi munafik aslinya. Ia mempersilakan orang lain (yang merasa suci) menghina dirinya yang penuh dosa. Ia juga mempersilakan orang lebih menyukai mereka yang berlagak baik di depan kamera.

Sampai di sini, saya merasa kasihan dengan Dik Awkarin (Boleh ‘kan Dik selanjutnya dalam tulisan ini saya manggilnya gitu?). Karena itu, tulisan ini tidak akan membully Dik Awkarin. Jadi jika kedatangan Anda ke sini hanya untuk membaca bully-an, Anda tidak akan mendapatkannya.Tulisan ini justru akan membela, mengasihani, dan menguatkan Dik Awkarin (Tenang Dik, ada abang di sini). Sebab saya melihat, ia adalah korban -yang-terjerumuskan-yang-harus kita tolong. Dan sayangnya, Dik Awkarin belum menyadari itu, hingga sampai lahirlah vidioklip pembenaran dan curcolan berjudul BAD.
 

Loh, memangnya Awkarin itu korban apa?
 

Begini man-women, Dik Awkarin kita itu sebenarnya adalah korban gaya hidup yang diciptakan sistem kapitalis. Sistem yang sedang menggiring kita menjadi lebih konsumtif dan materialistis. Sistem yang mengusung pola hidup hedonis, terutama bagi masyarakat urban. Pada era sekarang ini, gaya hidup seperti itu kian jamak menjangkiti sebagian di antara kita karena akses untuk itu memang sangat mudah sekali. Tanpa sadar kita terpengaruh untuk berlaku hedon dan hura-hura setelah membaca informasi-informasi yang tersebar di internet atau menonton tayangan di tivi dan yutub. Gaya hidup hedonisme ini mengusung gaya hidup yang penuh kesenangan, seperti pesta pora, mabuk-mabukan, pesta/penyimpangan seks, perjudian dan memamerkan kemewahan, dan itu seolah menjadi hal yang wajar dan normal. 

Mereka yang telah terjangkiti gaya hidup hedonis ini, akan kehilangan kepekaan sosial terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Tak hanya itu, sering kali mereka berpendapat (dan mempertahankan pendapat itu) bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan urusan pribadi sehingga orang lain tidak perlu meributkan/memperdebatkan/turut mengurusinya. Karena toh mereka seperti itu karena kelebihan yang dimilikinya sendiri; uangnya sendiri yang diperoleh melalui kerja kerasnya sendiri. Puncaknya, gaya hidup hedon ini sering kali mengakibatkan seseorang semakin jauh dari nilai-nilai agama, norma, dan etika sosial. Dan satu hal lagi, kebanyakan yang menjadi sasaran korban gaya hidup hedonis memang kaum perempuan, salahsatunya adalah Dik Awkarin.
 

Tak hanya sebagai korban sistem kapitalisme, Dik Awkarin mungkin sebenarnya juga merupakan korban propaganda televisi yang selalu mengekspos hal-hal yang berbau hedonisme. Ia adalah korban tayangan yang selalu mengampanyekan bahwa cantik itu melulu soal fisik.

Dik Awkarin mungkin juga merupakan korban sistem pendidikan kita yang selalu mengajarkan bahwa kesuksesan itu hanyalah soal ‘berapa uang yang bisa kita dapatkan?’.
 
Dik Awkarin mungkin juga merupakan korban dari ketidakpedulian atau kekurangperhatian para orangtua karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan demi memenuhi keinginan hidup yang memang sulit dikendalikan.
 

Dik Awkarin mungkin juga merupakan korban dari ‘contoh kelakuan’ para politikus negeri ini yang lebih sering melakukan pencitraan ketimbang memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Barangkali Dik Awkarin terlalu muak dengan para politikus dan pejabat publik kita di atas sana yang diam-diam korupsi. Di belakang kursi melobi sana-sini untuk beroleh fee.
 

Dik Awkarin mungkin juga merupakan korban para artis yang minim prestasi dan hanya menebar sensasi sebagaimana yang tayang di televisi saban hari.
 

Selain itu, Dik Awkarin mungkin belum sepenuhnya menyelami indahnya budaya kita : budaya timur yang ramah, lembut, dan berkelompok. Karena selama ini ia hanya telanjur sibuk berkiblat pada kehidupan budaya masyarakat Barat; kehidupan yang bebas, maju, dan supra-modern. Ia mungkin belum sepenuhnya memahami betapa indahnya kehidupan masyarakat desa dengan segenap budaya, kearifan lokal, dan keagungan norma sosialnya. Andai ia tahu betapa besar manfaat norma sosial masyarakat di Indonesia, pasti ia akan mengindahkannya, membanggakannya, dan mempraktikkannya. Sebab norma sosial bisa menjadi kontrol bagi diri kita untuk tidak terjerumus ke hal-hal yang berakibat negatif. Norma sosial menjadi semacam rem bagi diri seseorang.
 

Dik Awkarin mungkin juga belum sepenuhnya sadar bahwa dengan menjadi tokoh publik dan terkenal seperti sekarang ini, adalah kesempatan emas baginya untuk memberikan inspirasi bagi jutaan anak-anak muda di Indonesia. Melalui karya-karya yang lebih nyata. Ia mungkin belum merasakan betapa nikmatnya berbagi kebahagiaan, inspirasi, dan semangat untuk saudara-saudaranya yang masih sangat membutuhkan hal itu. 
 

Dik Awkarin mungkin belum sepenuhnya paham, bahwa ternyata hidup ini bukan melulu soal dirinya. Ada orang lain di sekelilingnya, yang setiap saat mengamati, melihat, dan menilainya. Dik Awkarin mungkin belum paham, bahwa penilaian orang itu, jika direspon secara lebih positif, dapat menjadi cambuk dan motivasi untuk membuatnya menjadi lebih hebat lagi. 
 

Dik Awkarin mungkin belum sepenuh mengenal dirinya sendiri, belum terlalu banyak mengenal orang lain. Mungkin ia belum sepenuhnya menyadari bahwa orang sukses seperti dirinya sangat dirindukan banyak orang untuk berbagi kebermanfaatan.
 

Dik Awkarin mungkin belum sepenuhnya mengerti arti menjadi diri sendiri. Arti menjadi dirinya yang apa adanya. Dik Awkarin mungkin belum membaca tulisan ini sehingga belum pernah bertanya pada dirinya, sambil berkaca dan merunung, benarkah itu adalah dirinya? Jika itu dilakukannya, pasti ia akan segera sadar bahwa dirinya yang sekarang adalah bukan dirinya. Melainkan bentukan orang lain, sistem, pergaulan, dan hal-hal di luar dirinya yang tak selayaknya ia bangga-banggakan. Ia agung-agungkan.  Ia bela.

 
Jadi man-women, mari kita sadar bersama-sama (eaaaaa) bahwa sejatinya Dik Awkarin adalah korban-yang berpotensi akan mengorbankan orang lain (fansnya). Kita harus menolongnya. 

 
Tapi bagaimana caranya? Sampai saat ini, saya masih belum menemukan caranya!
 

Hanya saja saya masih sangat meyakini, bahwa masih ada sisi baik dari sosok Dik Awkarin yang belum kita ketahui. Masih ada potensi prestasi yang bisa diukir Dik Awkarin untuk mengharumkan namanya, keluarganya, atau bahkan bangsanya. Masih ada hal-hal baik yang bisa diperbuat Dik Awkarin yang akan membuat kita bangga karena telah mempunya dirinya. Kita harus mendukungnya. 


Demi DKI Jakarta yang lebih maju, bebas macet, bebas banjir, anti-reklamasi, dan pro rakyat kecil. Maju terus Dik Awkarin. Abang mendukungmu.
 
Akhir kata, semoga kamu sehat selalu, Dik. Salam sayang selalu dariku, dan Tuhanmu. 


Jogja, 21 September 2016
Please write your comments