Dulu Aku Ingin Jadi Politisi, Sekarang Aku Ingin Jadi Petani - Jurnal Darul Azis

Dulu Aku Ingin Jadi Politisi, Sekarang Aku Ingin Jadi Petani

Dulu Aku Ingin Jadi Politisi, Sekarang Aku Ingin Jadi Petani

Dulu Aku Ingin Jadi Politisi, Sekarang Aku Ingin Jadi Petani/Ilustrasi

Bukan karena aku adalah anak seorang petani tulen. Juga bukan karena aku kecewa dengan para politisi -yang banyak dikata orang tak pernah berbuat apa-apa selain untuk dirinya sendiri- itu. Tapi ini lebih karena masalahku sendiri. Dulu aku ingin jadi politisi karena kupikir jadi politisi itu enak. Seserannya banyak. Bisa ingkar janji. Bisa berbohong. Bisa punya kenalan orang-orang penting di negeri ini yang barangkali suatu hari aku membutuhkan pertolongan mereka.

****
Semalam sebelum aku berangkat merantau kuliah, di beranda rumah cita-cita itu kuutarakan pada bapak. Setelah termenung sejenak, ia lalu berkomentar,

"Jadi politisi itu seberat-berat ibadah. Kalau niat dan ilmu belum lurus benar, lebih baik tidak usah. Kamu juga harus punya keberanian dan prinsip yang teguh. Tapi jika memang itu keinginanmu dan menjadi satu alasan terkuat untukmu berkuliah, usahakanlah." Kata Bapak seraya menepuk bahuku. Menandakan ia percaya dan menaruh sebuah harap--yang sampai sekarang aku tak tahu itu apa.

Bapak dan ibu cuma bisa bisa mendoakanmu dari rumah, tutupnya kemudian. 

Jadilah keesokan harinya aku pergi merantau untuk berkuliah. Di tempat inilah, pikirku ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah tujuan, aku akan menempa diri. Dari sinilah aku akan meniti karir menjadi politisi.


Hari itu juga, aku mendapatkan pelajaran pertama menjadi seorang politisi. Sebuah baliho raksasa terpampang di perempatan kota dengan gambar seorang laki-laki berjas dan berdasi di dalamnya. Lengkap dengan visi dan slogan jika kelak ia dipilih jadi Bupati. Untuk jadi seorang politisi, aku harus pandai dan sering berjanji agar bisa meyakinkan banyak orang. Kalimat itu kucatat baik-baik dalam hati. Dan kusimpan di sana dengan sangat rapi.


“Jadi politisi itu tak boleh mengingkari janji, karena semestalah yang menjadi pertaruhannya.” Kata salah seorang seniorku di sebuah organisasi kemahasiswaan yang kuikuti di kampus tiga bulan kemudian sejak hari pertamaku masuk kuliah.
Saat itu juga aku ingat dengan perbuatanku selama ini yang terlalu banyak berjanji namun minim realisasi. Ah, jangankan kepada orang lain, kepada diriku sendiri saja janji itu sering kuingkari.


"Bagaimana denganmu selama ini?Apakah kamu sering menepati janji?" Tanyanya kemudian.

 Dengan sedikit ragu, aku menjawab,


"Ya, selama ini aku selalu menepati janjiku."

"Bagus kalau begitu. Lanjut dan berjuanglah!" Ia berpesan.
Seorang politisi itu tidak boleh berbohong, demikian seorang ustadz berpesan dalam kuliah tujuh menitnya pada suatu subuh. Waktu itu aku sedang nginap di rumah temanku Budi dan ikut salat ke masjid bersamanya. Selain tak enak dengannya, aku juga tak enak hati dengan bapaknya yang konon sangat rajin salat ke masjid. Pagi hari adalah waktu yang cukup baik bagiku untuk menerima sesuatu pesan. Dulu sejak kecil aku selalu dilatih untuk belajar setiap pagi setelah adzan subuh berkumandang. Alhasil, pesan itu tertanam begitu kuat di relung hati.

”Kalau politisi berbohong, nanti kuwalat. Perutnya jadi buncit sebesar gentong.” Lanjut sang ustadz yang berlagak mirip seorang pendongeng.

Sejak pagi itu, dengan sekuat tenaga aku mengurangi untuk tidak berkata bohong. Bukan karena takut perut menjadi buncit sebesar gentong, namun aku sadar kebohongan itu akan melahirkan ketidakpercayaan orang. Aku tak ingin itu terjadi sebab aku ingin jadi politisi. Aku ingin menjadi seorang kaya karenanya, seperti orangtua teman Budi yang sudah dua kali periode menjadi wakil rakyat di provinsi.


Hingga pada suatu kesempatan mudik lebaran, aku berkunjung ke rumah salah seorang guru  SD-ku dan membicarakan banyak hal di sana. Termasuk soal cita-citaku yang ingin menjadi seorang politisi.


"Kalau kamu ingin jadi politisi, apa kamu sanggup untuk tidak memperkaya diri? 

Karena biasanya, kalau sudah kaya orang jadi jarang lapar dan dahaga. Nah itu bahaya, katanya. Sebagai seorang politisi, kamu harus sering merasakan lapar dan dahaga, agar senantiasa waspada serta terjaga. Kalau kamu tidak sanggup, kamu bisa celaka. Lebih baik tak usah saja. Ia melanjutkan petuahnya.


Setelah pertemuan itu aku tersadarkan oleh satu hal, aku telah salah niat di awal. Dan itu berpotensi akan menyulitkan langkahku untuk mencapai tujuan : menjadi politisi. Padahal jika aku sedikit saja berpegang pada ajaran agama yang kupeluk, niat yang salah tak akan diijabah oleh Tuhan. Aku harus membenahi niat dulu, agar Ia mengabulkan hajatku. Tuhan pasti ingin melihat keseriusan dalam diriku, hingga Ia membantuku untuk mewujudkan cita-cita itu.


Dan benar memang, sekembalinya aku ke kota tempatku menempuh pendidikan, semua jalan seakan telah dibukakan oleh Tuhan. Aku dipertemukan dengan orang-orang yang kemudian membawaku ke gelanggang yang selama ini kuidam-idamkan, panggung politik. Sambil terus berkuliah, aku kian aktif di organisasi politik sebagai batu loncatan untuk aku naik ke tangga karir politik berikutnya. Jalan dan kemudahan terus-menerus kudapatkan, begitu juga dengan kenalan dan jaringan di berbagai daerah. Sehingga dengan sendirinya pengalaman dan kemampuanku pun bertambah.


Aku bersyukur dengan capaian itu. Andai dulu aku tak membenahi niatku, barangkali Tuhan akan menggagalkan cita-cita besarku. Terimakasih Tuhan.


Keberuntungan dan kemudahan lain tak henti-hentinya menghujani hidupku. Di usia kuliahku yang keempat tahun, aku sudah berhasil menyelesaikan semuanya tanpa hambatan yang berarti. Aku merasa sudah semakin dekat dengan karir impianku. Karena tak lama berselang, begitu melihat kiprahku di organisasi politik yang selama ini kugiati, salah seorang pejabat partai mengamanahiku sebuah jabatan di pusat. Sebuah posisi yang sangat jarang didapatkan orang lain, sebab biasanya untuk sampai ke pusat seseorang harus berkiprah di daerah dalam waktu yang cukup lama. Sementara tidak dengan apa yang terjadi padaku. Tuhan benar-benar memudahkan jalanku. Cita-citaku tercapai. Dua setengah tahun berselang, aku kemudian didaulat menjadi wakil ketua umum partai karena beberapa wakil ketua menduduki kursi menteri. Waktu itu memang partai yang kuikutilah yang berkuasa, sehingga pos jabatan lebih banyak kami yang mengisi. Dan aku, walaupun hanya menjadi pengurus partai dan belum terjun ke tampuk legislatif maupun eksekutif, namun aku merasa saat itu sudah sangat berkecukupan. Ada banyak proyek yang kutangani dari kader-kader partai yang duduk di kursi pemerintahan. Tak cuma dari sana, aku juga banyak mendapatkan imbalan atas kerjaku, yang bersumber dari iuran wajib para kader.


Kini aku benar-benar menjadi seorang politisi, yang jaya lagi kaya.


************


Hari itu masih pagi. Aku belum sempat bangkit dari tempat tidur walau sudah cukup lama membuka mata. Setelah berolahbadan sesaat, aku membuka beberapa pesan masuk satu per satu.

"Sepertinya kita tidak bisa mengelak lagi. Bapak memilih kamu. Karena biar bagaimanapun Bapak dan kader lain yang duduk di kursi pemerintahan harus menjadi prioritas untuk diamankan."

Pesan agak panjang itu membuatku terperanjat. Pagi itu aku seperti mendengar suara gemuruh yang begitu mengerikan, langit menjadi gelap. Ditambah dengan suara jeritan dan tangisan orang-orang yang begitu kukenal dan selama ini tak banyak kutemui. Ibu, bapak, dan saudara-saudaraku. Badanku pun menjadi lemas karenanya. 



******

Dari balik jeruji besi ini, aku banyak melakukan perenungan-perenungan. Tentang arti sebuah kemerdekaan. Tentang nilai setetes keringat. Tentang rupa sumbang kertas berupa uang. Aku sudah menjalani separuh hukuman yang ditimpakan. Kini mentalku sudah cukup pulih dan aku sudah punya beberapa rencana ke depan untuk kembali melanjutkan kehidupan.


Setelah nanti aku keluar dari penjara, aku ingin jadi petani saja. Seperti bapak. Petani yang tekun merawat tanaman sampai ia berbuah. Petani yang senantiasa merawat kesabaran ketika didapatinya nasib tak sedang tak berpihak padanya. Petani yang selalu bersahabat dan rajin berkomunikasi dengan semesta alam. Petani yang riang bekerja dengan sesama. Petani yang punya waktu luang untuk keluarganya. Petani yang dalam setiap tetes keringatnya, ada nilai yang sangat berharga yang ia dapatkan dan ia ajarkan kepada anak cucunya. Petani yang hidup merdeka dan bersahaja. Dan petani yang tabah ketika ia menjadi korban dan bulan-bulanan orang-orang yang berkuasa.


Kurasa, berbekal pengalamanku selama menjadi politisi dan perenunganku selama di penjara, aku akan bisa menjalaninya. Menjadi petani. Ya, seorang petani.  (Darul Azis)

                                                                                                                         Jogja, 12 Agustus 2016

1 comment