Pendopo rumah tua berarsitektur Jawa Solo yang telah berusia ratusan tahun itu telah tampak ramai oleh pengunjung ketika aku datang. Acara belum mulai, namun teman-temanku yang lain dari prodi Ketahanan Nasional UGM sudah berada di sana lebih dulu.
Malam itu, Kamis (2/11) di Rumah Budaya nDalem Natan, Kotagede, Persatuan Penulis Indonesia (Satu Pena) mengadakan acara jumpa dengan penulis buku “Krakatoa: The Day the World Exploded” Simon Winchester. Acara tersebut merupakan rangkaian tambahan dari Ubud Writer and Reader Festival 2017 yang digelar beberapa hari sebelumnya di Bali. Suatu kehormatan bagi kami karena mendapatkan undangan khusus dari ketua Satu Pena Bapak Nasir Tamara.
Pelbagai kudapan dan minuman telah terhidang di meja. Karena hari itu aku belum menyesap kopi, maka segera kuputuskan untuk mengambil segelas kopi panas dan kudapan khas Kotagede bernama “Keepo”, yang konon penyebutan kue tersebut terinspirasi dari pertanyaan Sri Sultan. Pada saat melihat kue tersebut, Sri Sultan bertanya “Iki opo?” (ini kue apa?), namun karena yang ditanya pun tidak tahu namanya, maka kemudian kudapan itu kemudian diberi nama “Keepo”.
Dalam acara tersebut, Winchester membagikan pengalamannya selama menjadi penulis buku, setelah ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang geolog di sebuah perusahaan tambang asal Kanada yang beroperasi di Uganda. Keputusannya untuk kemudian berhenti dari profesi geolog dan banting stir menjadi jurnalis muncul tiba-tiba. Namun justru itulah yang kemudian membawanya berkeliling dunia, dengan pena. Sesuai dengan yang dicita-citakannya.
Penulis lulusan Oxford University tersebut mengaku sangat terpengaruh oleh buku “Coronation Everest” karya James Morris, seorang koresponden London Times yang kemudian berganti nama menjadi Jan Morris usai memutuskan menjadi transgender.
Membaca buku itu, membuat haluan dan jalan hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Tak lama usai membaca buku itu, dari Afrika, dia kembali ke Inggris pada 1967 dan memilih menjadi reporter koran lokal. Kariernya menanjak usai bergabung dengan the Guardian hingga bertugas meliput skandal Watergate di era 1970-an.
Kepada pengunjung yang hadir, Winchester menyarankan agar setiap penulis harus dapat menghadirkan rasa kagum dalam dirinya terhadap apa pun dan siapa pun yang mereka temui. Untuk dapat menjadi penulis yang produktif, seseorang harus mampu melihat sesuatu yang tampak biasa menjadi luar biasa.
“Kita harus melihat dunia dari kaca mata anak usia 10 tahun, yang selalu kagum saat melihat semua hal dan selalu ingin,” ujarnya.
Proses Kreatif Penulisan Buku Krakatoa
Penulisan buku “Krakatoa”, bermula ketika ia mengunjungi Indonesia pada 1975. Pada saat itu ia bekerja untuk media Inggris the Guardian dan melakukan pemotretan terhadap anak gunung Krakatau dari Pantai Anyer. Pada 1986, ia kembali ke Anyer dan memotret obyek yang sama.
Memiliki latar belakang keilmuan di bidang geologi membuat Winchester begitu peka terhadap perkembangan anak gunung Krakatau. Dua hasil pemotretan anak gunung Krakatau pada 1975 dan 1986, setelah ia amati, ternyata memiliki perbedaan ukuran yang sangat mencolok, sehingga kemudian ia mengambil kesimpulan bahwa gunung tersebut sangat aktif dan mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam catatannya, selama 11 tahun itu, tubuh anak gunung Krakatau terlihat membesar sekitar 500 kaki.
Hal itu ternyata semakin menarik minatnya pada anak gunung Krakatau dan membawanya pada sebuah keinginan untuk meneliti lebih jauh letusan hebat ibu dari gunung tersebut, yakni gunung Krakatau. Gunung tersebut meletus pada 27 Agustus 1883 dan telah mengguncang dunia.
Ia kemudian melakukan Riset literatur untuk penyusunan buku dan banyak melakukan penelusuran sumber sampai pada era pemerintah kolonial Hindia Belanda di Amsterdam. Namun sayangnya, sebagian besar arsip yang ia temukan di sana sudah banyak yang lapuk.
Beruntung, ia kemudian memperoleh data yang sangat akurat dan kaya tentang letusan Gunung Krakatau dari seorang geolog di Rhode Island, Amerika Serikat. Buku tersebut akhirnya selesai dan terbit pada 2003 setelah satu setengah tahun pengerjaan.
Proses penulisan buku Krakatoa menjadi menarik karena didukung oleh kemampuan Winchester dalam menggali data-data primer melalui kenalan-kenalannya di banyak negara. Terkait hal ini Winchester juga berpesan agar hendaknya seorang penulis itu selalu berkomitmen untuk secara benar dan akurat.
Selain itu, menyajikan data-data saintifik ke dalam bahasa yang enak dibaca juga menjadi perhatiannya agar kemudian buku tersebut tidak terkesan membosankan. Dia merasa beruntung karena proses penulisan buku Krakatoa sangat dipengaruhi oleh pengalaman panjangnya sebagai jurnalis sekaligus mantan geolog. Bekal itu membuat ia cukup piawai dalam menyajikan data-data ilmiah dengan kisah-kisah manusiawi yang menyertai peristiwa letusan gunung Krakatau.
Dalam pandangan Winchester, letusan Krakatau sangat menarik karena sangat berdampak terhadap dunia. Letusan Krakatau 1883 bukanlah bencana alam biasa, tetapi merupakan fenomena yang memicu perubahan sosial, politis, ekonomis, teknologis secara drastis. Secara sosial peristiwa tersebut sampai menelan korban sebanyak 36.000 jiwa dan tentu saja menyisakan rasa trauma yang begitu mendalam.
Secara politis, letusan gunung Krakatau juga sangat berpengaruh terhadap pemerintahan penjajah Belanda pada saat itu, di mana gejolak masyarakat Indonesia mulai timbul karena menganggap peristiwa tersebut sebagai pertanda ketidaksukaan alam terhadap penjajah Belanda. Masyarakat Indonesia merasa terlegitimasi oleh letusan gunung Krakatau untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Secara ekonomis, tentu saja letusan gunung Krakatau juga melumpuhkan aktivitas ekonomi, baik yang disebabkan oleh tsunami maupun abu vulkanik.
Namun di samping itu semua, erupsi yang sampai memicu tsunami di Prancis, getaran keras yang terdengar pada kecepatan suara kira-kira 1.085 dan 1.168 km/jam dan terdengar di 1/3 permukaan bumi, serta menyebabkan pendinginan global itu, menurut Winchester, juga menjadi penanda awal revolusi komunikasi.
Karena berita letusan Krakatau sudah bisa sampai ke London empat menit usai kejadian berkat kabel telegraf bawah laut, yang pada saat itu sudah digunakan terutama untuk kepentingan perdagangan. Peristiwa letusan gunung Krakatau sekaligus menjadi penanda bahwa saat itu sudah terbentuk apa yang saat ini populer disebut sebagai kampung global (global village).
Kekayaan riset data dan pengumpulan kisah-kisah unik menjadi senjata Winchester dalam menulis buku-bukunya. Dia terbiasa melahap semua judul buku, jurnal dan laporan riset tentang topik ulasannya sebelum menulis. Wawancara dengan para peneliti hingga berkunjung ke lokasi-lokasi obyek ulasan juga menjadi tahap penting selanjutnya.
Dalam buku tersebut, kata Winchester, ia juga menceritakan tentang seekor anak gajah yang mengamuk di sebuah hotel di Batavia saat Krakatau meletus.
Pada saat itu ada grup sirkus asal San Francisco yang sedang pentas di Batavia dan seorang perempuan anggota grup sirkus punya anak gajah. Menariknya, anak gajah tersebut justru diajak masuk ke kamar hotel dan pihak hotel pun, gilanya, mengizinkannya. Peristiwa menjadi dramatis karena ternyata si perempuan meninggalkan gajah itu di dalam kamar semalaman sehingga tak ayal gajah pun mengamuk.
Selama menekuni profesi sebagai penulis, Winchester telah menelurkan berbagai macam buku. Buku Krakatoa merupakan buku paling fenomenal dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa negara di dunia. Karya-karya non-fiksinya mencakup banyak sekali bidang, mulai dari bencana besar, zona perang, arkeologi kuno, geopolitik hingga teknologi modern.
Selain menulis buku tentang Krakatau, dalam pertemuan tersebut diketahui bahwa Winchester juga pernah menulis buku “The Professor and the Madman” tentang kisah penyusunan kamus Oxford.
Menurut pengakuannya, buku yang terbit pada tahun 1998 itu ditulisnya hanya dalam waktu enam pekan saja. Kini, Winchester mengaku sedang menyusun buku tentang presisi dan perfeksionisme di perkembangan teknologi mekanik.