Lurah Ngadi, Pemimpin Desa yang Tak Lelah Melayani Rakyatnya/Foto via Youtube |
Tahun 2007 cerita ini bermula.
Namanya Ngadi, baru berusia 38 tahun. Sehari-hari ia bertugas sebagai kepala desa Jipang kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Warga biasa memanggilnya lurah Ngadi. Belajar dari nenek moyang, ia pantang menjadi pemimpin yang bersembunyi di balik meja. Sampai-sampai warganya memberi julukan kantor lurah berjalan. Tinggal panggil, pelayanan darinya pun datang.
Layaknya pemuda lain di desa, dulu ia sempat bekerja di Jakarta selepas lulus sekolah menengah kejuruan (SMK), mencari rumput hijau istilahnya. Jabatan sebagai kepala teknisi sebuah perusahaan properti telah ia dapatkan. Tapi, semua ia lepaskan sembilan tahun silam. Ia kemudian pulang kampung dan bergabung menjadi relawan organisasi kemanusiaan global bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kiprah sosial ini pula yang kemudian mengantarkannya menjadi kepala desa. Dan kini sudah hampir enam tahun ia menjadi kepala desa.
Desa Jipang berada di ujung Jawa Tengah. Bertetangga langsung dengan kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Untuk menuju Cepu dari ibukota Provinsi Jawa Tengah harus menempuh jarak sekitar 154 km. Tak lekang dari ingatan riwayat penguasa terakhir kerajaan Demak, Arya Penangsang atau Arya Jipang. Setelah pertempuran, ia tewas di tepi sungai Bengawan Solo yang mengaliri desa. Di sini pula ia bersemayam. Ya, bagi Ngadi dan masyarakat Jipang, Bengawan Solo menjadi anugerah sampai suatu ketika ia membawa air bah.
Seketika datang, seketika itu pula air pergi. Saat musim kemarau, sawah pun kering kerontang tak menghasilkan karena hanya mengandalkan tadah hujan. Yah..kegagalan demi kegagalan pertanian melanda sehingga kami pun harus memutar otak dan tenaga. Demi menjaga priuk nasi keluarga.
Ngadi selalu percaya pada pepatah lama, "siapa yang menabur benih akan memanen hasilnya". Kegiatan berternak yang menjadi sampingan para petani kini justru lebih menjanjikan. Sejak dua tahun lalu, petani dari berbagai desa dan kecamatan berkumpul serta bermitra dengan ACT. Mereka membentuk paguyuban Lumbung Ternak Masyarakat (LTM). Ngadi sendiri dipercaya menjadi koordinatornya.
Kegiatan berternak tersebut tak hanya memelihara, tetapi juga menggemukkan. Hingga siap menjadi hewan qurban. Paguyuban LTM juga menyiapkan bibit kambing hingga pakan. Semua bahan-bahan berasal dari limbah tanaman dan makanan. Baru setahun formula itu mereka dapatkan dan tentu saja sangat ramah lingkungan.
Belajar dan ikhtiar, itulah prinsip mereka. Rezeki halal bisa datang dari mana saja asal bisa melepaskan rasa gengsi dalam diri.
Sebagai informasi, di Cepu potensi minyak bumi di sini sudah ditemukan sejak dari zaman kolonial Belanda. Sumur minyak pertama dibuat pada tahun 1882. Sumur-sumur telah dikelola warga dan perusahaan negara. Hingga kini produksi minyak blok Cepu menyumbang 160 ribu barep perhari. Tujuh puluh satu sudah Indonesia lepas dari penjajah. Meski demikian, melimpahnya kekayaan perut bumi masih saja dibayangi isu pemerataan dan keadilan bagi warga lokal.
Sementara itu, Ngadi dan warga desa Jipang harus berkompromi dengan cuaca kering dan cadangan air tanah yang semakin minim. Karena itulah, petani harus merogoh kocek yang cukup dalam untuk mengairi sawah. Hal itu pula yang membuat banyak petani berpindah profesi pada penghasilan yang lebih pasti.
Ya, menjadi petani memang tak mudah. Pada setiap bulir padi yang mereka panen tersimpan harapan untuk masa depan anak-anak mereka.
Desa Jipang bisa dibilang lebih beruntung, masih ada sungai yang mengalir sepanjang waktu. Hadirnya teknologi irigasi mini membuat petani masih tetap pada jati diri mereka. Pasalnya, tak perlu lagi menanti hujan datang. Ada air yang terus mengalir sepanjang dibutuhkan selama 24 jam. Mereka bergotong royong dana demi membeli mesin pengairan sawah. Total 36o juta sudah mereka gelontorkan untuk semua itu. Dananya mereka dapatkan dari keikhlasan warga menggadai sertifikat tanah dan rumah. Mereka tak pernah bermimpi muluk-muluk, selain hanya ingin sesuap nasi dan gizi keluarga tercukupi.
Dalam meniti perjuangannya, Ngadi tak pernah sendiri. Selalu ada istri yang senantiasa siap membantu melayani warga. Mereka bertemu saat sama-sama kerja di Jakarta dulu. Saat itu ia bekerja sebagai koki di restoran Jepang. Keyakinan Ngadi ternyata tak keliru, meski hanya mengantongi ijazah SD sang istri tak henti berinovasi agar desa yang dipimpin suaminya semakin maju.
Tiga tahun lalu sang istri berhasil menggerakkan ibu-ibu desa untuk bertanam sayuran. Media yang digunakan adalah plastik limbah rumah tangga dan sekam. Pahit manis perjuangan telah mereka jalani bersama. Ngadi dan istri percaya, doa dan usaha tak pernah sia-sia. Demi tumbuh kembang dua buah hatinya dan generasi penerus desa.
Berkat kegigihan sang istri, desa Jipang akhirnya berhasil menjadi juara lomba pemanfaatan pekarangan rumah. Ibu-ibu rumah tangga pun semakin semangat menghijaukan halaman. Rata-rata mereka menanam sayuran dan bumbu dapur. Selain bisa dijual sayuran juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan gizi keluarga.
Ya..tanah desa Jipang ternyata menyimpan potensi. Petani pun kini berhasil panen setahun tiga kali. Kabar ini pun kemudian menarik ACT untuk mengembangkan lumbung pangan masyarakat desa Jipang.
Usaha petani mengembangkan lumbung ternah masyarakat bisa dikatakan berhasil. Berawal dari memelihara 60 kambing, kini kandang pak Wage mampu menampung hingga 126 ekor.
Ngadi mengaku, ternyata menggemukkan kambing itu susah-susah gampang. Seperti hewan lainnya, selain memberi makan mereka juga harus memberinya perhatian. Namun keberadaan kambing-kambing tersebut kini telah berhasil membawa berkah bagi Pak Wage dan keluarga. Pak Wage bisa mengantarkan anaknya sampai ke bangku perguruan tinggi dan berangkat ke mekkah untuk melaksanakan ibadah Umrah.
Namanya Ngadi, baru berusia 38 tahun. Sehari-hari ia bertugas sebagai kepala desa Jipang kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Warga biasa memanggilnya lurah Ngadi. Belajar dari nenek moyang, ia pantang menjadi pemimpin yang bersembunyi di balik meja. Sampai-sampai warganya memberi julukan kantor lurah berjalan. Tinggal panggil, pelayanan darinya pun datang.
Layaknya pemuda lain di desa, dulu ia sempat bekerja di Jakarta selepas lulus sekolah menengah kejuruan (SMK), mencari rumput hijau istilahnya. Jabatan sebagai kepala teknisi sebuah perusahaan properti telah ia dapatkan. Tapi, semua ia lepaskan sembilan tahun silam. Ia kemudian pulang kampung dan bergabung menjadi relawan organisasi kemanusiaan global bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kiprah sosial ini pula yang kemudian mengantarkannya menjadi kepala desa. Dan kini sudah hampir enam tahun ia menjadi kepala desa.
Perjalanan hidup tak pernah ada yang tahu. Entah sampai di mana Tuhan akan membawa langkahnya.
Desa Jipang berada di ujung Jawa Tengah. Bertetangga langsung dengan kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Untuk menuju Cepu dari ibukota Provinsi Jawa Tengah harus menempuh jarak sekitar 154 km. Tak lekang dari ingatan riwayat penguasa terakhir kerajaan Demak, Arya Penangsang atau Arya Jipang. Setelah pertempuran, ia tewas di tepi sungai Bengawan Solo yang mengaliri desa. Di sini pula ia bersemayam. Ya, bagi Ngadi dan masyarakat Jipang, Bengawan Solo menjadi anugerah sampai suatu ketika ia membawa air bah.
Seketika datang, seketika itu pula air pergi. Saat musim kemarau, sawah pun kering kerontang tak menghasilkan karena hanya mengandalkan tadah hujan. Yah..kegagalan demi kegagalan pertanian melanda sehingga kami pun harus memutar otak dan tenaga. Demi menjaga priuk nasi keluarga.
Ngadi selalu percaya pada pepatah lama, "siapa yang menabur benih akan memanen hasilnya". Kegiatan berternak yang menjadi sampingan para petani kini justru lebih menjanjikan. Sejak dua tahun lalu, petani dari berbagai desa dan kecamatan berkumpul serta bermitra dengan ACT. Mereka membentuk paguyuban Lumbung Ternak Masyarakat (LTM). Ngadi sendiri dipercaya menjadi koordinatornya.
Kegiatan berternak tersebut tak hanya memelihara, tetapi juga menggemukkan. Hingga siap menjadi hewan qurban. Paguyuban LTM juga menyiapkan bibit kambing hingga pakan. Semua bahan-bahan berasal dari limbah tanaman dan makanan. Baru setahun formula itu mereka dapatkan dan tentu saja sangat ramah lingkungan.
Belajar dan ikhtiar, itulah prinsip mereka. Rezeki halal bisa datang dari mana saja asal bisa melepaskan rasa gengsi dalam diri.
Sebagai informasi, di Cepu potensi minyak bumi di sini sudah ditemukan sejak dari zaman kolonial Belanda. Sumur minyak pertama dibuat pada tahun 1882. Sumur-sumur telah dikelola warga dan perusahaan negara. Hingga kini produksi minyak blok Cepu menyumbang 160 ribu barep perhari. Tujuh puluh satu sudah Indonesia lepas dari penjajah. Meski demikian, melimpahnya kekayaan perut bumi masih saja dibayangi isu pemerataan dan keadilan bagi warga lokal.
Sementara itu, Ngadi dan warga desa Jipang harus berkompromi dengan cuaca kering dan cadangan air tanah yang semakin minim. Karena itulah, petani harus merogoh kocek yang cukup dalam untuk mengairi sawah. Hal itu pula yang membuat banyak petani berpindah profesi pada penghasilan yang lebih pasti.
Ya, menjadi petani memang tak mudah. Pada setiap bulir padi yang mereka panen tersimpan harapan untuk masa depan anak-anak mereka.
Desa Jipang bisa dibilang lebih beruntung, masih ada sungai yang mengalir sepanjang waktu. Hadirnya teknologi irigasi mini membuat petani masih tetap pada jati diri mereka. Pasalnya, tak perlu lagi menanti hujan datang. Ada air yang terus mengalir sepanjang dibutuhkan selama 24 jam. Mereka bergotong royong dana demi membeli mesin pengairan sawah. Total 36o juta sudah mereka gelontorkan untuk semua itu. Dananya mereka dapatkan dari keikhlasan warga menggadai sertifikat tanah dan rumah. Mereka tak pernah bermimpi muluk-muluk, selain hanya ingin sesuap nasi dan gizi keluarga tercukupi.
Dalam meniti perjuangannya, Ngadi tak pernah sendiri. Selalu ada istri yang senantiasa siap membantu melayani warga. Mereka bertemu saat sama-sama kerja di Jakarta dulu. Saat itu ia bekerja sebagai koki di restoran Jepang. Keyakinan Ngadi ternyata tak keliru, meski hanya mengantongi ijazah SD sang istri tak henti berinovasi agar desa yang dipimpin suaminya semakin maju.
Tiga tahun lalu sang istri berhasil menggerakkan ibu-ibu desa untuk bertanam sayuran. Media yang digunakan adalah plastik limbah rumah tangga dan sekam. Pahit manis perjuangan telah mereka jalani bersama. Ngadi dan istri percaya, doa dan usaha tak pernah sia-sia. Demi tumbuh kembang dua buah hatinya dan generasi penerus desa.
Berkat kegigihan sang istri, desa Jipang akhirnya berhasil menjadi juara lomba pemanfaatan pekarangan rumah. Ibu-ibu rumah tangga pun semakin semangat menghijaukan halaman. Rata-rata mereka menanam sayuran dan bumbu dapur. Selain bisa dijual sayuran juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan gizi keluarga.
Ya..tanah desa Jipang ternyata menyimpan potensi. Petani pun kini berhasil panen setahun tiga kali. Kabar ini pun kemudian menarik ACT untuk mengembangkan lumbung pangan masyarakat desa Jipang.
Usaha petani mengembangkan lumbung ternah masyarakat bisa dikatakan berhasil. Berawal dari memelihara 60 kambing, kini kandang pak Wage mampu menampung hingga 126 ekor.
Ngadi mengaku, ternyata menggemukkan kambing itu susah-susah gampang. Seperti hewan lainnya, selain memberi makan mereka juga harus memberinya perhatian. Namun keberadaan kambing-kambing tersebut kini telah berhasil membawa berkah bagi Pak Wage dan keluarga. Pak Wage bisa mengantarkan anaknya sampai ke bangku perguruan tinggi dan berangkat ke mekkah untuk melaksanakan ibadah Umrah.
Lurah Ngadi/Foto via youtube.com |
Tak ada kesabaran tanpa sebuah cobaan. Tekun adalah satu-satunya jawaban. Di mana pun rezeki, Tuhan akan membuka rencana.
Masih terngiang dalam ingatan dongeng orangtua Ngadi tentang keberanian Arya Penangsang, Meski terluka ia tetap mampu tegap berdiri. Hingga titik darah penghabisan.
Ngadi punya prinsip, menjadi pemimpin itu melayani, bukan dilayani. Menjadi pemimpin itu melayani masyarakat, bukan mencari kekuasaan. Menjadi pemimpin itu memperjuangkan kemakmuran.
Masih terngiang dalam ingatan dongeng orangtua Ngadi tentang keberanian Arya Penangsang, Meski terluka ia tetap mampu tegap berdiri. Hingga titik darah penghabisan.
Ngadi punya prinsip, menjadi pemimpin itu melayani, bukan dilayani. Menjadi pemimpin itu melayani masyarakat, bukan mencari kekuasaan. Menjadi pemimpin itu memperjuangkan kemakmuran.
Catatan : tulisan di atas merupakan transkripsi narasi video dokumenter Lentera Indonesia Net TV tentang Lurah Ngadi, dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.